Pasca Covid-19, Politik Irasional Tak Akan Didukung

Image title
23 Mei 2020, 18:17
Sandiaga uno
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Sandiaga Uno

It's very political. Kita tahu sebuah undang-undang yang awalnya sangat bagus, saya dengar pertama kali di inagurasi Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019, yaitu omnibus law. Kebetulan saya dari dunia investasi dan sektor keuangan, kalau ngomong omnibus itu selalu terbayangnya omnibus account. Ini dalam semua perusahaan investasi itu kita campur adukkan di situ. Omnibus itu dinamakan Cipta Lapangan Kerja. Jadi it's started baik sekali.

Untuk meningkatkan investasi harus ada perubahan di sektor ketenagakerjaan. Ini sudah lama sekali. Tahun 2006, waktu saya jadi Ketua HIPMI, kita hampir bisa merevisi UU Ketenagakerjaan. UU itu sangat tidak didukung oleh teman-teman di sektor ketenagakerjaan, dan APINDO serta Kadin. Pemerintah waktu itu hampir bisa (merevisi uu tersebut). Namun satu dan lain hal, jadi tidak bisa. Kali ini (dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja), juga sudah ditarik (pembahasan) sektor ketenagakerjaan.

Buat saya kalau ngomong ketenagakerjaan, 97% itu di UMKM. Jadi kalau kita mau lapangan kerja baik, maka UMKM yang menjadi leading sector-nya. Selain faktor tenaga kerja, salah satu yang mengakibatkan iklim investasi kita tidak baik adalah regulasi yang membingungkan, yang tumpang tindih. Ada juga korupsi dan lain sebagainya. Jadi ini lah yang harus kita benahi bersama untuk menarik investasi dan kebetulan waktunya sangat tepat. Kita harus benahi, harus bikin deregulasi agar investasi masuk, bukan hanya menopang dari segi ketenagakerjaan, tapi juga menopang kemandirian ekonomi kita.

Sandiga Uno
(Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Ada yang bilang, hanya di Indonesia penanganan Covid-19 diwarnai persaingan politik yang kental. Bagaimana Anda melihat new normal berdampak terhadap kondisi politik?

Pertama, kita urut dari global dulu. Secara global kita kehilangan great leaders seperti Winston Churchill. Sebelum Perang Dunia II terjadi, dia terbang ke Moskow untuk menemui Joseph Stalin. Walaupun secara ideologi Inggris dan Uni Soviet itu berbeda, akhirnya mereka sepakat karena ada common enemy. Mereka bisa mengatasi krisis akibat Perang Dunia II.

Saat ini common enemy-nya Covid-19. Sayangnya global leadership seperti Winston Churchill tidak tampak. Kita tidak usah menyalahkan siapa-siapa, tapi kita lihat ini akan berdampak terhadap suatu tatanan, seperti perubahan supply chain setelah Covid-19. Saya melihat ke depan, dampak dari politik dunia ini akan lebih localize, lebih customize, dan personalize.

Jadi local leaders dan di sini Indonesia sebagai pemimpin ASEAN, harus membuat rencana ke depan. Kita konsolidasikan kebijakan karena harus berdasarkan data yang valid. Jangan dipolitisasi, jangan partisan. Harus membawa nuansa great example kepada negara lain. Kita sudah melihat beberapa negara yang berhasil keluar, setidaknya pada awal ini sebelum adanya gelombang kedua (Covid-19). Jadi, tidak bisa "politic as usual". Ini waktunya "politic step aside". Yang sekarang harus menjadi panglima adalah sektor kesehatan, yang akan diikuti perbaikan sektor ekonomi.

Politik akan menjadi sangat rasional ke depan. Jadi kalau politik irasional tidak akan mendapat dukungan dari publik. Menurut saya menarik melihat prosesi Pilpres di Amerika Serikat yang tinggal 6 bulan lagi. Selain itu, akan ada pilkada di Indonesia yang tidak tahu kapan waktunya karena tahapannya ditunda. Jadi saya mengingatkan kepada kita semua untuk mengedepankan rasionalitas dalm mengambil sikap politik.

Jadi peran pemimpin lokal sekarang dalam menangani Covid-19 akan berpengaruh ke kontestasi di masa depan?

Sangat. Jadi sekarang masyarakat melihat dan bisa menilai para pemimpin, baik di pusat dan daerah, mengenai cara mereka menangani krisis ini. Karena setiap krisis itu akan memisahkan good leaders dari so so leaders, lalu dari great leaders. Saya berharap yang great leaders ini selalu mengedepankan sisi rasionalitasnya.

Kedua, menurut saya, kita perlu sinkronisasi dan orkestrasi secara kolosal. Ini juga butuh sebuah kerendahan hati dari para pemimpin untuk berkoordinasi. Angkat telepon, apa susahnya sih? Alangkah indahnya kalau setiap pemimpin, baik pemimpin daerah maupun pemerintahan pusat, satu irama dan satu orkestrasi. Tentunya mereka memiliki kearifan masing-masing. Namun kalau ada satu narasi besar akan menyejukkan masyarakat di kalangan bawah.

Dengan memiliki lembaga Sandinomics, apakah Anda sudah firm untuk maju lagi saat Pilpres 2024?

He-he-he... Sandinomics ini grup WhatsApp, yang saya juga menjadi anggotanya. Ada beberapa teman berkumpul di sana, lalu menamakan grup ini "Sandinomics". Ketuanya juga bukan saya. Saya salah satu anggota, pemerhati di grup itu. Jadi, mereka selalu mengeluarkan opsi kebijakan. Dari debat pilpres (tahun 2019), mereka selalu mengeluarkan beberapa kebijakan dan kami analisis berbasiskan data. Karena, saya waktu (Wakil Gubernur) di DKI Jakarta sangat terbantu ketika mempunyai data yang kuat. Jadi, membuat kebijakan itu sangat mudah walau itu tidak populis. Kebijakan itu harus berbasiskan data dan untuk kepentingan rakyat banyak.

Namun, Presiden Jokowi pernah menyatakan Anda merupakan kandidat kuat capres tahun 2024. Apakah itu tidak mendorong Anda untuk maju lagi?

Pertama-tama, Pak Jokowi ini mungkin berusaha menghibur saya karena memutuskan berada di luar pemerintahan. Jadi, saya menganggapnya sebagai guyonan. Proses politik itu tidak bisa terlalu diatur-atur. Sebab, proses ke depan akan sangat sarat dengan proses politik yang akan dikomandoi oleh partai-partai politik. Partai memiliki kesempatan menominasikan calon-calonnya. Tapi saya tidak mau berandai-andai terlalu jauh ke depan.

Buat saya ke depan mau memberikan kontribusi. Kebetulan saya sekarang sibuk di Relawan Indonesia Bersatu Melawan Covid-19. Menurut saya, paling bagus 2 - 3 tahun ke depan dengan adanya Covid ini, setidaknya ada depolitisasi. Nanti ada waktunya sendiri pada tahun 2022 atau awal 2023 atau mendekati proses politik ini, baru secara intens dibicarakan.

Saya melihat proses politik akan berjalan sama seperti tahun 2019. Saat itu, Agustus tahun 2018 yaitu sekitar 3 bulan sebelum nominasi (capres), saya tidak tahu keadaannya seperti apa. Semuanya bergerak cepat sekali, cair sekali. Saya prediksi akan sama kejadiannya pada tahun 2023 nanti. Jadi tidak pernah punya perencanaan sejauh itu.

Di politik saya belajar, ternyata politik dengan bisnis itu ada perbedaannya. Kalau bisnis itu ada business plan. Tapi kalau politik itu mengalir saja dan kita serahkan prosesnya pada Yang Maha Kuasa. Saya akan bekerja terus, berada di tengah masyarakat untuk memberikan solusi yang dibutuhkan.

Komposisi pemilih tahun 2024 nanti, usia produktifnya cukup tinggi. Usia 15-64 tahun mencapai 68%. Bagaimana Anda melihat potensi pemilih milenial ini?

Yang akan menentukan pemimpin ke depan secara demografi adalah isu-isu yang dekat dengan top of mind kaum milenial, kategori usianya di bawah 35 tahun. Jumlah populasi mereka 50-54%. Mayoritas isu yang dekat dengan mereka adalah lapangan pekerjaan. Apalagi, di era "new normal" ini akan ada pergeseran pekerjaan yang tergantikan dengan Revolusi 4.0. Selain itu, ada pekerjaan yang timbul karena adanya industri baru sehingga memberikan peluang baru. Antara lain big economy, teknologi dan sebagainya.

Jadi ini satu rumpun utama yang akan menjadi pemikiran utama para milenial. Entrepreneurship ada di sini juga.

Kedua, biaya hidup yang sekarang mulai terasa. Walaupun ada yang bilang inflasi rendah. Tapi data-data yang saya kumpulkan ketika bertemu masyarakat di Bintaro, Bantargebang, semua mengeluhkan biaya hidup yang semakin tinggi. Biaya hidupnya itu bisa dibagi ke kebutuhan sehari-hari, sembako, gula, biaya sekolah, SPP, biaya kesehatan, BPJS dan sebagainya.

Dua isu utama ini menarik. Harga-harga dan lapangan kerja ini akan mendominasi. Menurut saya, kaum milenial ini mungkin disebutnya sebagai "Generasi Rebahan" atau "Generasi Mager". Tapi data yang saya terima 55% dari mereka ini ingin mandiri. Jadi isu yang nanti akan semakin terfokus ke depan adalah data-data mengenai ekonomi.

(Catatan: Dalam wawancara "Bicara Data Virtual Series" ini, Sandiaga juga menjawab beberapa pertanyaan dari penonton. Berikut ini pertanyaan dan jawabannya.) 

PP Nomor 23 Tahun 2020 tentang bantuan likuiditas pemerintah melalui bank besar ke bank kecil untuk restrukturisasi kredit UMKM. Padahal, kondisi bank saat ini juga sulit. Apakah Anda melihat pemerintah serius ingin membantu UMKM?

PP 23 ini mungkin maksudnya baik. Walaupun proses teknokrasinya terkesan penuh dnamika. Tapi saya melihat ada satu proses tawaran yang tak tersosialisasikan secara baik kepada perbankan dan sektor usaha secara umum.

Kita bicara soal bailout seperti saat menghadapi krisis tahun 1997-1998. Banyak sekali contoh negara lain. Saya melihat reaksi awal dari PP 23 ini cenderung sangat negatif. Mengutip dari temen-temen saya di sektor perbankan, mereka langsung telepon saya. Mereka bilang akan sangat sulit untuk diimplementasikan, terutama dalam keadaan sekarang. Jangankan mengemban ini (tugas sebagai bank jangkar/bank peserta) sekarang, untuk mengurus dirinya saja sekarang sudah berat. Menurut saya, PP ini harus didiskusikan lagi, dengan mengundang semua stakeholders. agar niat baik untuk menyelamatkan UMKM ini bisa dieksekusi secara baik.

Apa jenis perusahaan yang paling cepat bangkit dan bidang UMKM yang memiliki prospek pasca-Covid-19?

Menurut saya UMKM yang cepat beradaptasi dengan "new normal" yaitu cepat merangkul digitalisasi. Bukan hanya di situs jualan online, tapi semua aspek masuk ke dalam satu ekosistem digital sehingga UMKM akan survive di sektor-sektornya.

UMKM sektor konsumsi karena ekonomi kita ditopang oleh konsumi. Kalau dikerucutkan lagi, sektor pangan karena pangan  merupakan bagian ekonomi berbasis kebutuhan. Sektor-sektor ini yang akan cepat rebound. Karena itu, kita mengimbau pemerintah agar kebijakan ke depan bukan hanya untuk memberikan kelonggaran-kelonggaran berupa tagihan, bunga pajak dan sebagainya. Tapi ada bantuan yang saya sebut "Kapera", yaitu Kredit Pemulihan Ekonomi Rakyat.

Banyak UMKM saat ini yang setelah habis tabungannya maka membutuhkan modal kerja. Ini harus dilihat jumlahnya, apakah suku bunganya bersahabat dan bisa diakses secara cepat. Kalau kta mendorong ini maka UMKM akan tumbuh berkembang menjadi unicorn-unicorn baru yang berbasis "new normal".

Bagaimana Anda melihat peluang diversifikasi perdagangan dari Tiongkok ke negara lain pasca-Covid-19?

Kita harus melihat peluang ini dan jangan terpaku kepada satu arus perdagangan. Jangan hanya pada satu negara, entah itu Amerika atau Tiongkok. Kita harus cari mitra-mitra dagang yang membawa manfaat terbaik sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Pada masa awal Covid-19 ketika Wuhan lockdown, perdagangan sempat tersenda. Kita menjadi pontang-panting. Krisis seperti ini mengajarkan kepada kita untuk membangun kekuatan sendiri.

Misalnya industri pengolahan di Indramayu. Sebagai daerah penghasil pangan beras dan produk perikanan, nilai tambahnya masih sangat sedikit. Ini kesempatan untuk membangun ketahanan pangan karena satu protein satu karbo. Indramayu bisa jadi satu bagian dari new normal karena semula bukan menjadi bagian dari investasi.

Bagaimana tenaga kerja mempersiapkan diri agar terhindar dari problem kemiskinan yang meningkat akibat pandemi?

Ini pertanyaan yang berat dan sulit karena angka kami (prediksi jumlah orang miskin) 32,8 juta orang bisa meningkat menjadi 37 juta orang. Ini tantangan yang luar biasa. Saya merupakan produk PHK tahun 1997, dan memulai usaha karena keterpaksaaan. Usaha konsultan keuangan dan akhirnya ketemu dengan Pak Edwin (Edwin Soeryadjaya yang menjadi mitra Sandiaga mendirikan perusahaan investsi Saratoga Capital). Saat ini banyak yang kehlangan pekerjaan dan tidak memiliki penghasilan sehingga tidak bisa juga memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Di sinilah negara harus segera mengorkestrasi "the biggest bailout". Siapa yang di-bailout? People of Indonesia! Kalau tahun 2008 - 2009, perbankan dan korporasi (yang di-bailout), pada 1998 lebih banyak korporasi dan perbankan, maka tahun 2020 ini lebih banyak people  (yang di-bailout). Kita pastikan mereka mendapatkan skill-skill baru yang sesuai dengan new normal.

Walaupun Kartu Prakerja mengundang kontroversi luar biasa, ide dasarnya sudah benar untuk mendidik masyarakat melakukan pivot, transformasi untuk mempersiapkan new normal. Apalagi sektor kesehatan akan booming, terutama sektor preventif promotif yaitu pencegahan penyakit. Menurut saya skill-skill seperti ini yang diperlukan agar tenaga kerja tidak terperosok masuk ke jurang kategori prasejahtera.

Bagaimana peran pemimpin dalam menghadapi new normal dan karakter yang tepat untuk membawa bangsa ke arah lebih baik pasca-Covid-19?

Tanpa ingin mereferensikan pada pemimpin yang sekarang, menurut saya pertanyaan ini sangat relevan. Tapi lebih relevan lagi kalau ditanyakan tahun-tahun berikutnya, 2022 - 2024. Saya melihat pasca-Covid dalam 2 - 3 tahun sebelum vaksin ditemukan, bakal ada satu tatanan baru yakni pemimpin harus mengambil satu karakter yang jelas, yaitu leader must guide.

Leader bukan hanya memimpin, tapi membimbing. Jadi akan ada jalan berliku sehingga pemimpin harus mampu membawa kita melewati masa-masa sulit ini. Pemimpin menunjukkan ketajaman dan mampu menginsprasi, secara konstan tampil memberikan semangat, motivasi serta menjadi contoh kepada masyarakat agar tidak pesimistis menatap masa depan. Saya melihat peluang-peluang terbaik justru akan muncul setelah krisis.

Sudah terbukti krisis menghasilkan produsen-produsen yang luar biasa. Jadi, hari-hari terindah akan didapatkan setelah pandemi berlalu. Indonesia tidak kekurangan stok ide. Pemimpin yang sekarang di pemerintahan punya kesempatan untuk menunjukkan cont

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...