Pasca Covid-19, Politik Irasional Tak Akan Didukung
Dari sisi investor, apakah ini waktu yang tepat untuk berinvestasi atau menghindar dulu?
Ini masa-masa yang sulit. Pada awal Februari, karena saya sudah meninggalkan dunia investasi hampir lima tahun, the first call i made adalah menelepon teman-teman CEO dari portofolio perusahaan yang pernah saya dirikan. Saya minta mereka melakukan stress test. Setelah seminggu, mereka bilang worse case (penurunannya) 50-70%. Ada yang 100% jebolnya karena di sektor retail. Mal tutup, penjualannya akan terjun bebas.
Kemudian kita kelompokkan dulu, ada yang Covid- 19 cyclical dan Covid defensive. Yang defensif adalah sektor yang punya daya tahan kuat di tengah gempuran Covid-19. Sektor itu adalah kesehatan dan sektor teknologi, misalnya komunikasi dan ICT. Sedangkan Covid Cyclical adalah pasti sumber daya alam karena permintaannya turun, seperti minyak dan gas bumi. Selain itu, yang berkaitan dengan infrastruktur pasti akan kesulitan.
Saya melihat kondisi ini akan masuk ke dalam satu fase new normal, yakni ada tata posisi baru ekonomi ke depan. Setidaknya dalam 2-3 tahun ke depan, ekonomi akan bergerak menjadi need based, ekonomi berbasis kebutuhan, keselamatan. keamanan atau kesehatan. Inilah yang berpeluang tumbuh dan berkembang. Jadi sektor-sektor yang misalnya tidak terpikir dulu, jamu. Saya pikir akan menarik ke depan karena merupakan kearifan lokal. Kita tidak perlu impor dan terbukti bisa meningkatkan imunitas. Saatnya pengusaha di bidang jamu atau Indonesian herbal medicine untuk booming.
Apa lagi sektor investasi lainnya?
Tentu di bidang e-commerce mengalami kenaikan. Berdasarkan data pada akhir Maret itu trafiknya meningkat. Bukan hanya itu, number of active account juga meningkat. Apakah ini waktu yang tepat untuk melakukan investasi? Menurut saya selectively.
Di sisi lain, negara-negara akan melakukan realignment (menata ulang kerja sama). Indonesia bisa menjadi potential winner, karena bakal ada debat antara AS dan Tiongkok. Ada rearrangement pada rantai pasokan dunia. Dulu supply chain ini berbasis biaya, yaitu biaya terendah. Tapi sekarang harus ada elemen risiko dan ketangguhan, resilient. Indonesia bisa mengambil peluang ini. Tapi secara fundamental, jangan cuma main gimmick di media. Benar-benar fundamental yang terlibat UMKM untuk naik kelas. Saya pikir ini sangat potensial, very-very good attractive years untuk investasi setidaknya dalam 3 tahun ke depan.
Bicara mengenai investasi di Indonesia, sejauh ini iklimnya belum terlalu kondusif dan selalu dikaitkan dengan UU Ketenagakerjaan. Bagaimana Anda melihat persoalan tersebut?
It's very political. Kita tahu sebuah undang-undang yang awalnya sangat bagus, saya dengar pertama kali di inagurasi Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019, yaitu omnibus law. Kebetulan saya dari dunia investasi dan sektor keuangan, kalau ngomong omnibus itu selalu terbayangnya omnibus account. Ini dalam semua perusahaan investasi itu kita campur adukkan di situ. Omnibus itu dinamakan Cipta Lapangan Kerja. Jadi it's started baik sekali.
Untuk meningkatkan investasi harus ada perubahan di sektor ketenagakerjaan. Ini sudah lama sekali. Tahun 2006, waktu saya jadi Ketua HIPMI, kita hampir bisa merevisi UU Ketenagakerjaan. UU itu sangat tidak didukung oleh teman-teman di sektor ketenagakerjaan, dan APINDO serta Kadin. Pemerintah waktu itu hampir bisa (merevisi uu tersebut). Namun satu dan lain hal, jadi tidak bisa. Kali ini (dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja), juga sudah ditarik (pembahasan) sektor ketenagakerjaan.
Buat saya kalau ngomong ketenagakerjaan, 97% itu di UMKM. Jadi kalau kita mau lapangan kerja baik, maka UMKM yang menjadi leading sector-nya. Selain faktor tenaga kerja, salah satu yang mengakibatkan iklim investasi kita tidak baik adalah regulasi yang membingungkan, yang tumpang tindih. Ada juga korupsi dan lain sebagainya. Jadi ini lah yang harus kita benahi bersama untuk menarik investasi dan kebetulan waktunya sangat tepat. Kita harus benahi, harus bikin deregulasi agar investasi masuk, bukan hanya menopang dari segi ketenagakerjaan, tapi juga menopang kemandirian ekonomi kita.
Ada yang bilang, hanya di Indonesia penanganan Covid-19 diwarnai persaingan politik yang kental. Bagaimana Anda melihat new normal berdampak terhadap kondisi politik?
Pertama, kita urut dari global dulu. Secara global kita kehilangan great leaders seperti Winston Churchill. Sebelum Perang Dunia II terjadi, dia terbang ke Moskow untuk menemui Joseph Stalin. Walaupun secara ideologi Inggris dan Uni Soviet itu berbeda, akhirnya mereka sepakat karena ada common enemy. Mereka bisa mengatasi krisis akibat Perang Dunia II.
Saat ini common enemy-nya Covid-19. Sayangnya global leadership seperti Winston Churchill tidak tampak. Kita tidak usah menyalahkan siapa-siapa, tapi kita lihat ini akan berdampak terhadap suatu tatanan, seperti perubahan supply chain setelah Covid-19. Saya melihat ke depan, dampak dari politik dunia ini akan lebih localize, lebih customize, dan personalize.
Jadi local leaders dan di sini Indonesia sebagai pemimpin ASEAN, harus membuat rencana ke depan. Kita konsolidasikan kebijakan karena harus berdasarkan data yang valid. Jangan dipolitisasi, jangan partisan. Harus membawa nuansa great example kepada negara lain. Kita sudah melihat beberapa negara yang berhasil keluar, setidaknya pada awal ini sebelum adanya gelombang kedua (Covid-19). Jadi, tidak bisa "politic as usual". Ini waktunya "politic step aside". Yang sekarang harus menjadi panglima adalah sektor kesehatan, yang akan diikuti perbaikan sektor ekonomi.
Politik akan menjadi sangat rasional ke depan. Jadi kalau politik irasional tidak akan mendapat dukungan dari publik. Menurut saya menarik melihat prosesi Pilpres di Amerika Serikat yang tinggal 6 bulan lagi. Selain itu, akan ada pilkada di Indonesia yang tidak tahu kapan waktunya karena tahapannya ditunda. Jadi saya mengingatkan kepada kita semua untuk mengedepankan rasionalitas dalm mengambil sikap politik.
Jadi peran pemimpin lokal sekarang dalam menangani Covid-19 akan berpengaruh ke kontestasi di masa depan?
Sangat. Jadi sekarang masyarakat melihat dan bisa menilai para pemimpin, baik di pusat dan daerah, mengenai cara mereka menangani krisis ini. Karena setiap krisis itu akan memisahkan good leaders dari so so leaders, lalu dari great leaders. Saya berharap yang great leaders ini selalu mengedepankan sisi rasionalitasnya.
Kedua, menurut saya, kita perlu sinkronisasi dan orkestrasi secara kolosal. Ini juga butuh sebuah kerendahan hati dari para pemimpin untuk berkoordinasi. Angkat telepon, apa susahnya sih? Alangkah indahnya kalau setiap pemimpin, baik pemimpin daerah maupun pemerintahan pusat, satu irama dan satu orkestrasi. Tentunya mereka memiliki kearifan masing-masing. Namun kalau ada satu narasi besar akan menyejukkan masyarakat di kalangan bawah.
Dengan memiliki lembaga Sandinomics, apakah Anda sudah firm untuk maju lagi saat Pilpres 2024?
He-he-he... Sandinomics ini grup WhatsApp, yang saya juga menjadi anggotanya. Ada beberapa teman berkumpul di sana, lalu menamakan grup ini "Sandinomics". Ketuanya juga bukan saya. Saya salah satu anggota, pemerhati di grup itu. Jadi, mereka selalu mengeluarkan opsi kebijakan. Dari debat pilpres (tahun 2019), mereka selalu mengeluarkan beberapa kebijakan dan kami analisis berbasiskan data. Karena, saya waktu (Wakil Gubernur) di DKI Jakarta sangat terbantu ketika mempunyai data yang kuat. Jadi, membuat kebijakan itu sangat mudah walau itu tidak populis. Kebijakan itu harus berbasiskan data dan untuk kepentingan rakyat banyak.
Namun, Presiden Jokowi pernah menyatakan Anda merupakan kandidat kuat capres tahun 2024. Apakah itu tidak mendorong Anda untuk maju lagi?
Pertama-tama, Pak Jokowi ini mungkin berusaha menghibur saya karena memutuskan berada di luar pemerintahan. Jadi, saya menganggapnya sebagai guyonan. Proses politik itu tidak bisa terlalu diatur-atur. Sebab, proses ke depan akan sangat sarat dengan proses politik yang akan dikomandoi oleh partai-partai politik. Partai memiliki kesempatan menominasikan calon-calonnya. Tapi saya tidak mau berandai-andai terlalu jauh ke depan.
Buat saya ke depan mau memberikan kontribusi. Kebetulan saya sekarang sibuk di Relawan Indonesia Bersatu Melawan Covid-19. Menurut saya, paling bagus 2 - 3 tahun ke depan dengan adanya Covid ini, setidaknya ada depolitisasi. Nanti ada waktunya sendiri pada tahun 2022 atau awal 2023 atau mendekati proses politik ini, baru secara intens dibicarakan.
Saya melihat proses politik akan berjalan sama seperti tahun 2019. Saat itu, Agustus tahun 2018 yaitu sekitar 3 bulan sebelum nominasi (capres), saya tidak tahu keadaannya seperti apa. Semuanya bergerak cepat sekali, cair sekali. Saya prediksi akan sama kejadiannya pada tahun 2023 nanti. Jadi tidak pernah punya perencanaan sejauh itu.
Di politik saya belajar, ternyata politik dengan bisnis itu ada perbedaannya. Kalau bisnis itu ada business plan. Tapi kalau politik itu mengalir saja dan kita serahkan prosesnya pada Yang Maha Kuasa. Saya akan bekerja terus, berada di tengah masyarakat untuk memberikan solusi yang dibutuhkan.