Pasca Covid-19, Politik Irasional Tak Akan Didukung
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama enam bulan ini menyebabkan krisis kesehatan hingga krisis ekonomi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bahkan, virus yang diramal belum ditemukan vaksinnya hingga 1-2 tahun ke depan ini, bakal mengubah tatanan hidup, interaksi dan aktivitas masyarakat sehari-hari.
Pemerimtah dan pengusaha mewacanakan hidup normal dengan cara baru alias new normal tersebut dijalankan seiring dengan rencana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada bulan Juni nanti. Sandiaga Salahuddin Uno meminta keputusan pelonggaran PSBB dilakukan berbasiskan data penurunan penyebaran virus.
Selain itu, pelonggaran PSBB dan new normal aktivitas ekonomi diterapkan secara bertahap. "Yang dibuka pertama adalah sektor yang manfaat ekonominya besar tapi risiko kesehatannya rendah," kata pengusaha dan politisi Partai Gerindra tersebut dalam wawancara khusus dengan Metta Dharmasaputra dari Katadata.co.id, di acara Bicara Data Virtual Series: The New Normal Ekonomi - Politik Indonesia, Jumat malam (22/5).
Dalam wawancara selama lebih satu jam itu, Sandiaga turut memaparkan sejumlah peluang bisnis dan investasi dari kondisi "new normal" akibat pandemi. Calon wakil presiden RI periode 2019-2024 ini juga menyebutkan potensi perubahan kepemimpinan dan konstelasi politik di era "new normal" hingga pemilihan presiden 2024 mendatang. Berikut petikan wawancara lengkapnya.
Banyak yang melihat kondisi ekonomi sekarang sangat suram dan penuh ketidakpastian. Bagaimana Anda memprediksi kondisi ke depan dan dibandingkan dengan krisis ekonomi tahun 1998, 2008, dan 2015?
Ada dua aspek yang perlu dilihat dari Covid-19. Satu adalah aspek kesehatan, yang harus diutamakan dan diprioritaskan. Kedua, aspek ekonomi dengan beberapa prediksi. Saya melihat, banyak lembaga menyatakan ini kondisi tersulit ekonomi dunia dan Indonesia setelah depresi besar tahun 1930. Keadaan yang kita hadapi sekarang memang sangat menantang, sangat sulit. Terutama untuk sektor-sektor ekonomi keluarga dan UMKM.
Berdasarkan prediksi internal kami dengan menggunakan beberapa model, jika skenariobase case itu maka jumlah lapangan pekerjaan yang hilang berkisar 10-15 juta pada sektor formal dan informal. Jadi, kalau kita lihat ada sekitar 37 juta kelas menengah baru yang kemungkinan anjlok, turun kelas ke kategori prasejahtera.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya sekitar minus 1% sampai 1%. Kita memang menghadapi masa yang sangat sulit. Namun, kita tidak bisa memprediksi telalu banyak karena di balik angka-angka (pertumbuhan ekonomi) itu adalah manusia. Jadi yang harus kita dahulukan adalah manusianya. Kalau manusia, kesehatannya kita dahulukan dan semuanya berbasiskan data.
Namun data yang kita perlukan saat ini adalah data medis, bukan data ekonomi, untuk dijadikan basis pengambilan keputusan ke depan. Saya yakin kalau kita berbasis scientific, menggunakan analisa ahli untuk mengambil satu kebijakan, maka Indonesia akan mampu bangkit dari kondisi sulit ini. Karena kalau kita lihat di ASEAN, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang penurunnya paling sedikit.
Saya ini DNA-nya entrepreneur. Jadi kalau ditanya apakah saya optimistis, saya melihat justru ada sisi peluang di balik new normal ini. Mudah-mudahan kita semua bisa mengkaji peluang tersebut dan dapat meminimalisir dampak negatif terhadap perekonomian dan dampak secara keseluruhan krisis kesehatan akibat Covid-19.
Kita menghadapi dilema kebijakan penanganan Covid-19 dari sisi kesehatan dengan ekonomi. Ekonomi melambat dan tenaga kerja terdampak sudah mencapai 2,8 juta orang. Menurut Anda, apakah PSBB harus dilonggarkan agar dampaknya tidak semakin besar?
Ini buah simalakama bagi yang akan mengambil kebijakan strategis, kebijakan publik ini. Tapi buat saya simpel, semua kebijakan itu harus berbasis data. Data-data itu yang jadi landasan tim medis, tenaga kesehatan, dan juga para dokter serta ahli untuk menyatakan bahwa kita sudah bisa melewati masa-masa kritis atau masa puncak. Dengan begitu, kita bisa mengambil kebijakan secara yakin untuk melakukan relaksasi (PSBB).
Namun, saya ingin berbagai sedikit mengenai bagaimana relaksasi bisa dilakukan. Ini saya bikin waktu di awal pandemi. Kira-kira di tahap pertama atau basket pertama, pada bulan Maret-April ketika banyak perusahaan dan UMKM melakukan pengetatan. Cash is king (dalam kondisi ini), karena banyak melakukan pengetatan dan PSBB sehingga ekonomi turun.
Tahap kedua adalah April-Mei merupakan periode resilient, kita beradaptasi pada new normal. Contohnya event Katadata ini (Bicara Data Virtual Series) luar biasa dikemas secara baik. Ini lah new normal. Kalau pada Januari lalu (event tatap muka secara fisik) dikemas berlama-lama, molor lah waktunya. Tapi sekarang (event virtual) orang terlambat dua menit saja, sudah tidak bisa lagi. Sudah harus gone, walau itu menteri atau siapapun. Karena waktu ini tidak akan bisa terbelikan.
Bagaimana tahap berikutnya?
Nanti kita akan masuk periode Mei-Juni, yaitu periode puncak. Mungkin kita mendekati ini. Mudah-mudahan kita dibimbing bukan dengan data yang disetir (kepentingan) ekonomi atau populis, tapi data tim medis. Bahwa kita sudah siap melakukan pelonggaran, return survive through ecosystem.
Jadi pada saat sekarang saya selalu bilang "be calm in the spot", kita tenang dulu, displin dulu. Jangan mengambil keputusan tanpa berlandaskan data-data dari tim medis.
Saya berbicara sedikit mengenai peluang baru, karena begitu kita membuka (PSBB) maka harus ada panduannya. Panduannya kembali ke risiko kesehatan masyarakat (Sandiaga menunjukkan grafik dengan dua sumbu X dan Y, dimana X adalah manfaat ekonomi dan Y merupakan kondisi kesehatan).
Pertama, kita fokus (membuka sektor usaha) yang risiko kesehatan masyarakatnya paling rendah tapi manfaat ekonominya paling tinggi. Saya menyebutnya sebagai "Go Zone". Ini mestinya harus mulai disosialisasikan. Tapi jangan hanya pemerintah, perlu juga mengajak dunia usaha, dan lain sebagainya.
Kalau saya melihat karena 60% dari ekonomi kita adalah UMKM, maka sektor ini harus dibuka lebih awal. Berdasarkan data, sektor UMKM saat ini menyerap 98% lapangan pekerjaan. Jadi go zone-nya UMKM.
Kedua, Pivot Zone (manfaat ekonomi lebih kecil dan risiko kesehatannya juga rendah). Ketiga, Check Zone yang risiko kesehatan lebih besar namun manfaat ekonominya juga lebih besar. Keempat, Wait Zone yang risiko kesehatan masyarakat tinggi namun dampak ekonominya rendah. Nanti saya bisa cerita sektor-sektor apa saja di masing-masing zona tersebut.
Bagaimana menggerakkan kembali sektor UMKM?
Berbeda dengan krisis tahun 1997-1998 yakni UMKM menjadi juru selamat dan menjadi tulang punggung perekonomian kita. Namun, pada krisis tahun ini, keadaannya berbalik 180 derajat. UMKM terpukul knock down di ronde pertama karena pembatasan mobilitas dan restriksi masyarakat berlalu-lalang.
Saya memiliki data beberapa zona utama: Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, yang sebanyak 80%-85% UMKM terdampak. Omzetnya turun 50% hingga 70%. Jika penurunannya sebesar itu, berarti (mereka) "mantab" saat ini alias makan tabungan. Satu atau dua bulan setelah itu mereka sangat membutuhkan likuiditas.
Jika pemerintah ingin mengambil kebijakan yang tepat, dan itu terlihat dari pembicaraan beberapa pekan terakhir ini, fokusnya harus pada sektor ekonomi keluarga dan UMKM. Karena sektor ekonomi keluarga ini akan membangkitkan konsumsi. Seperti kita ketahui, lebih 50% kontribusi ekonomi kita dari konsumsi. Kemudian, karena UMKM merupakan 60% dari perekonomian kita maka yang kedua harus diselamatkan adalah UMKM.
Menarik data di atas mengenai terus naiknya jumlah UMKM setiap tahun, yang sudah mencapai 64 juta UMKM. Waktu awal saya mengurus UMKM di Kadin pada tahun 2000-an awal, jumlah UMKM masih 25-30 juta. Dengan bangganya para pengambil kebijakan itu menyatakan bahwa, ini menunjukkan UMKM bertumbuh. Saya bilang, itu salah. Yang bertumbuh itu usaha ultramikro. Mereka menjadi UMKM karena keterpaksaan, tidak bisa mendapatkan lapangan pekerjaan di sektor formal. Ini pilihan terakhir, mereka berdagang, memiliki usaha atau kerja di usaha keluarga. Jadi yang naik itu usaha ultramikro, sedangkan yang (UKM) kecil dan menengah (jumlahnya) cenderung stagnan. Ini pekerjaan rumah kita.
Apakah kebijakan pemerintah sejauh ini untuk menangani UMKM yang terdampak Covid-19 sudah mencukupi?
Langkah pertamanya kita perlu apresiasi. Salah satunya adalah pelonggaran pajak. Pajak (UMKM) ditanggung pemerintah. BLT (Bantuan Langsung Tunai) itu juga membantu UMKM. Banyak sekali UMKM skala ultramikro, sehingga langkah pertama pemerintah (stimulus untuk UMKM) sudah berada di rel yang tepat. Namun, dari segi kecepatannya harus ditingkatkan. Yang dibutuhkan sekarang adalah akselerasi dari kecepatan tersebut.
Kalau tidak dieksekusi dengan cepat, misalnya likuiditasnya tidak cepat sampai, maka tabungannya itu habis. Sehingga UMKM akan menjual aset. Kalau itu terjadi maka ada kerusakan temporer dan permanen pada proses bisnis UMKM tersebut. Jadi saya mengimbau paket-paket yang disediakan itu dieksekusi lebih cepat.
Jika mengacu pada zona tadi, yaitu yang pertama adalah Go Zone, saya menyusun prediksi "The Covid-19 Expectations Clock" dengan mengacu panduan dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan olahan dari beberapa institusi di Sandinomics. Jadi, kalau bulan Juni fokus pada UMKM maka yang pertama bisa dibuka (aktivitasnya) adalah shopping. Ini shopping di UMKM, bukan shopping besar seperti mal.
Pada bulan Juni, usaha di sektor kecil dan mikro dibuka dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Jadi, pakai masker, cuci tangan, hand sanitizer, dan disinfektan.
Namun, panglimanya itu (memutuskan pelonggaran PSBB dan aktivitas yang dibuka pertama kali) harus satu, yaitu oleh Jenderal Doni (Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo). Karena akhirnya dia yang memutuskan. Jadi jangan simpang siur. Saya mendorong satu saja. Yang lain-lain jangan, diet komentar dulu. Jadi, pembukaan ini satu pintu dari Jenderal Doni dan Satgas Covid-19 sehingga kita akan mendapat satu kesamaan narasi.
Apa pelonggaran selanjutnya?
Baru kita bicara tentang (pembukaan) work and school. Ini satu ide, yang (bekerja dna beraktivitas) usia di bawah 45 tahun dulu. Silakan saja itu diputuskan Satgas Covid-19. Lalu, pada Juli, layanan kesehatan karena banyak penyakit bukan Covid-19 juga harus ditangani secara baik. Masalah kita sekarang ini Covid-19 atau busung lapar. Nah ini sama, ada penyakit-penyakit lain seperti DBD yang tidak tertangani.
Kemudian bisa membuka restoran, tempat peribadatan, dengan standard social distancing. Baru public transport. Selanjutnya di ujung itu adalah air travel. Kita masih terus melakukan simulasi dengan beberapa permodelan. Jadi (skenario tahapan) ini masih berubah-ubah tergantung dari pertimbangan kesehatan masyarakat dan risikonya. Semakin tinggi risikonya maka semakin mundur (waktu pelonggaran PSBB). Semakin kita dapat mengurangi risiko kesehatan masyarakat maka semakin awal (pelonggaran). Yang akan mengambil tempat lebih dulu adalah yang membawa dampak lebih besar.