Amien Sunaryadi: Strategi Pemberantasan Korupsi Harus Diubah, Fokus pada Suap

Ameidyo Daud Nasution
5 Agustus 2024, 10:08
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi
Arief Kamaluddin | Katadata
Wakil Ketua KPK 2003-2004 Amien Sunaryadi
Button AI Summarize

Pemberantasan korupsi di Tanah Air masih menjadi sorotan. Kali ini, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amien Sunaryadi mengkritik model penanganan korupsi sepanjang era Reformasi.

Menurut Amien, penegak hukum, termasuk KPK yang dipimpinnya dulu, belum banyak fokus kepada pidana suap. Hal ini dianggapnya membuat aktor korupsi Tanah Air luput dari penegakan hukum.

"Sebagai orang yang pernah menyiapkan strategi (pemberantasan korupsi), saya berpikir, mungkin ada yang perlu diganti. Saya simpulkan tidak cocok," kata Amien saat berbincang dengan Wahyu Muryadi alias Om Why dalam Siniar Gultik belum lama ini.

Amien mengatakan penegak hukum terlalu fokus dengan frasa merugikan keuangan negara sebagai pintu masuk penanganan korupsi. Indikator ini dianggapnya tak jelas untuk menindak korupsi, bahkan bisa membuat pidana meleset.

Ia mencontohkan, kasus yang menimpa eks Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan. Karen, yang sempat tersandung kasus investasi di Blok Busker, Manta, Gummy, akhirnya diputuskan bebas oleh Mahkamah Agung karena dianggap kerugian terkait keputusan bisnis.

"Tapi masa publik harus menunggu (prosesnya) sampai MA dulu," kata Amien.

Mantan Kepala SKK Migas ini lalu memberikan sejumlah masukan untuk membenahi penanganan korupsi suap, hingga harapannya kepada Prabowo Subianto untuk memberantas korupsi. Berikut petikan wawancaranya:

Apa kesibukan anda sekarang?
Saya sekarang ditunjuk jadi Komisaris Utama PT PGN Tbk. Di samping itu jadi ketua komite pengawas perpajakan di Kementerian Keuangan. Tapi saya tertarik urusan pemberantasan korupsi

Kenapa masih tertarik pemberantasan korupsi?
Penasaran. Karena dulu waktu masih muda, tahun 1999, masih menjadi PNS BPKP, saya menyelesaikan Buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Jadi saya mempelajari korupsi, sampai menemukan strategi (pemberantasan) yang cocok. Sekarang sudah tahun 2024, sudah 25 tahun, tapi korupsi kok masih begini.

Seperti apa maksudnya?
Korupsinya masih banyak. Kalau merujuk Pak Mahfud (Mahfud MD), lebih banyak dibandingkan Orde Baru. Sudah 25 tahun, (tapi) kok sepertinya tidak hilang-hilang. Sebagai orang yang pernah mempelajari dan menyiapkan strategi, saya berpikir, mungkin strateginya ada yang perlu diganti. Saya simpulkan tidak cocok, harus diganti.

Seperti apa kalau harus diganti?
Kalau dulu, ada strategi preventif, detektif, dan represif. Jadi ada entry point (pintu masuk)-nya. Menurut buku tersebut, ada lima entry point untuk  pemberantasan korupsi: Pertama, harus ada badan anti korupsi, itu sudah ada. Kedua, ada koruptor besar ditangkap. Ketiga, ada perbaikan signifikan terhadap DPR. Itu belum terjadi. Keempat, perbaikan signifikan di MA dan pengadilan di bawahnya. Itu sudah ada tapi belum seluruhnya. Kelima, ada strategi pemberantasan korupsi nasional. Ini belum ada. Kita punya rencana strategi dan Perpres, tapi sulit untuk dibilang rencana strategis karena terlalu luas prioritasnya. Karena itu, perlu ada perubahan strategi.

Dari kesimpulan buku itu, perlu perubahan strategi?
Yang saya lihat selama 25 tahun, prioritas penegakan hukum adalah "perbuatan yang merugikan keuangan negara", "menguntungkan diri sendiri" dan "melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang". Makanya korupsi tidak hilang-hilang.

Kenapa tidak hilang?
Bentuk korupsi yang (paling sering) ditemui apa? Suap. Saya melakukan survei dari 2015-2017 pakai kertas, 2018 sampai awal 2024 pakai software. Saya tanya mungkin lebih dari 8.000 orang responden. Jawaban mereka: suap atau sogok. Kalau (selama ini) yang disidik, dituntut, dipenjarakan itu yang hanya merugikan keuangan negara, maka yang (pelaku) suap apakah hilang?

Maksudnya, kalau hanya masuk lewat kerugian negara, maka pidana suapnya tidak ketemu?
(Suapnya) Tidak diurus. (Padahal) Suap itu banyak di mana-mana, di perizinan, pengadaan, bahkan di penegak hukum. (Bahkan) ada Anggota BPK terima suap Rp 40 miliar. Ini banyak di mana-mana dan harus diberantas. Kenapa penegak hukum (hanya) banyak mengejar yang merugikan keuangan negara.

Kan tidak salah kalau fokus masuknya dari kerugian keuangan negara?
(Pidana) suap itu diatur UU Tipikor. Waktu saya masuk KPK, saya baru tahu bahwa mayoritas orang di KPK seperti tidak membaca UU Tipikor. Jadi di kepala mereka soal korupsi itu adalah merugikan keuangan negara, menguntungkan diri sendiri dan orang lain, melawan hukum, menyalahgunakan wewenang. Padahal di dalam UU itu ada 30 jenis korupsi. Dua itu merugikan keuangan negara. 12 itu (soal) suap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, benturan kepentingan dalam pengadaan, perbuatan curang dalam konstruksi, serta gratifikasi.

Karena mereka (KPK) hanya paham merugikan keuangan negara, maka saya bikin buku sosialisasi. Tujuannya menjelaskan kepada masyarakat, terutama penegak hukum, bahwa ada banyak jenis korupsi, dibagi tujuh kelompok. Jadi kalau mau memberantas korupsi, harus dipilih mana yang menjadi prioritas. Tapi ternyata sosialisasi tidak mempan. Sampai hari ini mayoritas orang kalau ditanya maksud korupsi: merugikan keuangan negara, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, serta menyalahgunakan kewenangan, cuma itu.

Padahal di lapangan yang paling banyak suap?
Dari pengamatan saya, kalau ada korupsi yang sifatnya merugikan keuangan negara, ada mens rea (niat)-nya. (Padahal) Kalau digali lebih dalam, ada bagi-bagi duit, itu adalah suap. Makanya, yang disikat harusnya suapnya.

Kalau pintu masuknya pada frasa kerugian negara, apa kerugiannya?
Suap yang terjadi di mana-mana jadi tak tersentuh. Akibatnya yang dikejar-kejar yang punya peluang keputusan merugikan keuangan negara, yaitu birokrat, manajemen BUMN, itu-itu saja. Yang terlibat suap tidak dikejar. Contohnya, waktu penegak hukum kejar Djoko Chandra, dalam prosesnya dua jenderal dipenjara karena terbukti (menerima) suap. Satu jaksa senior juga kena juga kena suap. Jadi sambil kejar kerugian keuangan negara, (cari yang) terima suap. Kalau suap tidak diberantas, maka tidak hilang-hilang.

Bukannya bagus kalau semua dikejar ?
Faktanya tidak. Selama 25 tahun suap jalan terus.

Bukannya bisa sekaligus?
Kalau memang dicari (suapnya), bisa. Faktanya kan tidak dicari, selesai di kerugian keuangan negara.

Apa dampak jangka panjang kalau suap tidak diberantas?
Ada dampak berat lain, indeks persepsi korupsi Indonesia tidak membaik. Kalau dilihat seluruh parameter yang dinilai, ada 10 yang utama. Urutan pertama adalah suap, bribery. Menurut saya, kalau mau memperbaiki indeks persepsi korupsi, maka yang (harus) diberantas suap.

Gratifikasi termasuk di dalamnya?
Di negara lain, gratifikasi bagian dari suap. Kalau baca pasal UU (Tipikor) kita, gratifikasi akan dianggap suap kalau tak dilaporkan ke KPK dalam 30 hari. KPK akan menilai seperti apa kejadiannya. Akan diputuskan KPK, suap atau bukan suap.

Kalau masuknya lewat suap, susah mengejarnya dibandingkan kerugian negara?
Tidak susah bagi yang tahu cara menyidik. Kita belajar dari negara lain, semua negara, kecuali Indonesia, yang diberantas itu suap. (Mereka) melakukan investigasi forensik, follow the money. Di kita tidak.

Kalau ketemu transaksi mencurigakan bisa pembuktian terbalik?
Follow the money, siapapun yang terima uang akan dievaluasi. Bagi yang terima hasil, kena. Contohnya, kasus Bank Bali, akhirnya diaudit BPK. Tapi karena BPK belum bisa audit, maka mereka menggandeng PriceWaterhouseCoopers (PWC). Tidak lama, ketemu. PWC kan bisa menggambar (aliran) uangnya ke sana kemari. Begitu gambarnya keluar, semua yang menerima uang langsung mengembalikan karena takut.

Dengan kebutuhan alat bukti, akan sulit membongkar suap?
Bagi yang paham (cara) menyidik, tidak. Ini tidak debatable. Pokoknya kalau terima, kena. Kalau (frasa) merugikan keuangan negara itu debatable.

Kenapa frasa merugikan keuangan negara itu debatable?
Misalnya, saya manajemen BUMN, mengambil keputusan, ternyata rugi. Ruginya BUMN ini merugikan keuangan negara. Penegak hukum langsung bilang merugikan keuangan negara, (dinyatakan) korupsi, atau prosedur salah. Padahal sudah diperhitungkan, namun setelah eksekusi ada environment business yang beda atau ekspektasi tidak sesuai. Itu risiko bisnis. (Tapi) oleh penegak hukum dianggap kejahatan. Ini debatable.

Menurut anda, ini tidak bisa dipidana?
Yang saya pahami, tindak pidana harus memenuhi dua unsur utama. Pertama general element of crimes, kedua statutory element of crimes. Kebanyakan penegakan hukum hanya melihat statutory, unsur tindak pidana yang tertulis di UU: ”Setiap kerugian keuangan negara” dan ”menguntungkan diri sendiri”. Padahal, general element ini yang lebih penting. General element ini adalah: pertama, actus reus, ada perbuatan salah fisik. Kedua, mens rea, niat jahat. Ini yang sering tidak dilihat. Mungkin karena tidak mengerti, atau tidak bisa mendapatkan alat bukti. Ketiga, concurrency antara mens rea dengan actus reus. Keempat, causation, kerusakan yang diciptakan dari actus reus dan mens rea.

Kalau saya mau menuduh orang melakukan kejahatan, saya harus buktikan niat jahat itu ada. Kalau tidak, orang yang merasa ini keputusan bisnis lalu terkena pasal tanpa memperhatian mens rea, jadi dipidana. Jadi ini debatable. Lalu publik akan lihat, ternyata bukan kejahatan tapi ada kekeliruan dan kerugian. Tapi kok dianggap penjahat. Penegakan hukum seperti ini tidak efektif untuk memberi pesan ke masyarakat. Tapi kalau yang dipidana adalah orang yang dilihat punya niat jahat oleh publik, maka akan memberikan efek yang bagus. Yang jahat masuk penjara, tidak debatable.

Banyak keputusan yang sebenarnya risiko bisnis malah berakhir dipidana?
Misalnya kasus Ibu Karen (Agustiawan, mantan Dirut Pertamina) dalam Blok Busker, Manta Gummy (BMG). Itu (Karen) disidik, didakwa, dituntut karena (dinilai) merugikan keuangan negara. Di tingkat pertama dipidana, tingkat banding dipidana, (tapi) tingkat kasasi dibebaskan. Ini karena menurut MA, yang dilakukan Ibu Karen bukan pidana. Tidak ada konflik kepentingan, tak ada suap, keputusan (bisnis dilakukan) lewat review.

Sidang putusan Karen Agustiawan
Sidang putusan Karen Agustiawan (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Spt.)

Maksudnya, yang dilakukan Karen sudah sesuai good corporate governance (GCG)?
Lebih tepatnya, mengikuti business judgement Ibu Karen. Ini makanya MA putuskan bebas. Tapi masa publik harus menunggu (prosesnya) sampai MA dulu. Makanya sebaiknya strategi ke depan, pemidanaan jangan menggunakan pasal meragukan yang debatable. Karena itu menurut saya ke depan pakai pasal suap saja, sama seperti negara lain.

Kalau tidak ketemu bukti suap, jangan dipaksakan?
Kalau ketemu bukti, sudah pasti ada kejahatannya. Sepanjang (sejarah) Indonesia, dari Orde Lama sampai Orde Baru, pasal merugikan keuangan negara sudah ada. Tetapi, saat Orde Lama, banyak yang dipenjarakan karena menggunakan pasal suap. Sedangkan selama Orba, hampir semua yang dipakai itu pasal merugikan keuangan negara. Jadi kalau ditanya apakah korupsi berhasil diberantas pada akhir Orba? Belum. Ini diulang lagi selama 25 tahun era Reformasi. Hampir semua menggunakan pasal merugikan keuangan negara, kecuali KPK. Makanya (sebaiknya) strateginya diubah.

Memangnya saat ini KPK memakai pasal apa?
Mayoritas pasal suap. Tapi KPK punya kelemahan karena mereka membongkar suap sebatas lewat OTT, itu keliru. Paling mudah membongkar suap dengan investigasi forensik, pendekatan accounting, digital review, analisis data. Ada bermacam-macam investigasi moden untuk membongkar serah terima uang. Makanya (Pemerintah) Amerika Serikat, FBI pakai investigasi forensik. Dulu, saya mengajari KPK, (tetapi baru) sampai tangkap tangan. Yang investigasi forensik belum sempat. (Padahal) yang dignifikan itu (menggunakan) investigasi forensik, tetapi masa bakti saya sudah habis.

Berarti KPK saat ini belum menggunakan investigasi forensik?
Belum, baru OTT. Padahal kalau mau investigas forensik (bisa) lebih besar (kasus dibongkar).

Itu makanya Pak Luhut (Binsar Pandjaitan) mengkritik soal OTT?
Pak Luhut itu orang baik dan pintar, tapi pemberantasan korupsi bukan bidang beliau, jadi barangkali pernyataannya keliru. KPK juga keliru karena fokus OTT. OTT itu hanya untuk membuka pintu. Setelah dibuka, masuk ke yang lain.

Tapi OTT tetap perlu?
Harus dilanjutkan dengan perbaikan. Makanya harus ada strategi. Kalau OTT sana sini buat apa. Misalnya OTT bupati atau wali kota, setelah itu apa yang perlu dilakukan. Penyebabnya harus dicari, sistemnya diperbaiki, pola pikir orangnya harus diubah. Makanya KPK waktu merancang (sistem), ada pencegahan, ada supervisi, ada monitoring. (Ini untuk) membereskan mindset, sistem, menangkap. KPK bukan penegak hukum biasa, tugasnya memberantas korupsi, (makanya) yang (harus) dipikirkan (bagaimana) korupsinya menurun. Bukan (hanya) menangkap atau menyidik. (Karena) polisi atau jaksa mungkin tidak sempat berpikir ke situ. Yang dipikirkan adalah kewenangan menyidik dan menuntut.

Ini kritik untuk KPK?
Untuk semua, karena (pemberantasan) korupsi di Indonesia mau dibuat seperti apa lima tahun lagi. Waktu (saya) bikin (buku strategi pemberantasan korupsi) pada 1999 itu 10 tahun inginnya seperti ini (ideal). Tahu-tahu, (sudah) 25 tahun tidak berubah.

Jadi penangkapan koruptor besar terjadi, tapi perilaku korup masih marak?
Suapnya diberantas? Kan tidak. Kalau tidak, maka jalan terus suapnya.

Kalau hanya mengandalkan frasa kerugian keuangan negara, apakah nantinya seperti pasal karet?
Yang saya lihat, selama kita melakukan itu 25 tahun terakhir, (hasilnya) korupsi masih banyak. Masa, 25 tahun ke depan mau begitu juga, diganti lah caranya.

Seperti apa konkretnya? Dengan mengubah UU Tipikor?
Betul, fokus ke depan jangan merugian keuangan negara, tapi suap. Pasti banyak (pihak) yang tidak mau, tapi tetap fokus suap. (Makanya) Buat saya, untungnya yang terpilih jadi Presiden Pak Prabowo (Subianto).

Kenapa?
Menurut saya, Pak Prabowo bisa ambil keputusan yang decisive. Kedua, Nama lengkap Pak Prabowo itu Prabowo Subianto Djojohadikusumo, beliau punya DNA pemberantasan korupsi.

Karena faktor ayahnya?
(Amien membuka klip berita soal Sumitro Djojohadikusumo soal tenaga akuntan negeri untuk pemberantasan korupsi). Jadi bayangkan, Pak Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Keuangan pada 1955 itu berani memberantas korupsi. Apalagi Pak Prabowo (jadi) Presiden, pasti lebih berani. DNA pemberantasnya bukan di Pak Prabowo saja, tapi di saudara, keponakannya, semua Djojohadikusumo mengikuti Pak Sumitro. Makanya saya optimis. Mudah-mudahan Pak Prabowo merealisasikan DNA pemberantasan korupsi.

Caranya seperti apa?
Ke depan, jangan (hanya) kejar-kejar kerugian keuangan negara, kejar suap. Kalau suap jalan terus, nanti investor mau masuk dimintai uang, (mau) pembebasan lahan diminta uang, urus izin diminta uang, akibatnya ekonomi biaya tinggi.

Dampaknya secara keseluruhan?
Kalau suap marak akan bikin ekonomi biaya tinggi. Secara makro, Indonesia nanti jadi tidak produktif, jadi tidak kompetitif, rasio pajak jadi tidak bisa naik. Karena kalau uang saya keluar uang, bagi yang terima suap tidak akan melaporkan pajaknya. Transaksi suap tercatat di PDB, tapi tidak tercatat di income tax. Makanya tax ratio tidak bisa naik. Pelaku bisnis internasional paham, country risk Indonesia tinggi karena banyak suapnya, (mereka) selalu complain seperti itu. Nanti dampaknya pelan-pelan kurs dolar AS akan meninggi terus terhadap rupiah.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...