Social Commerce Dianggap Monopoli, Pengamat: Penjual & Pembeli Untung

Alih-alih memonopoli, platform social commerce justru memberikan dampak positif pada perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri.
Umar Qadafi
Oleh Umar Qadafi - Tim Publikasi Katadata
12 September 2023, 14:03
Ilustrasi social commerce.
Dok. Freepik
Ilustrasi social commerce.

Pada kenyataannya, platform social commerce yang ada di Indonesia memfasilitasi beragam metode pembayaran seperti melalui kartu kredit, e-wallet hingga Cash on Delivery (COD).

Begitupun dengan layanan logistik yang menggandeng pihak ketiga untuk membantu proses pengiriman barang ke konsumen, sama seperti platform dagang-el lain yang sudah hadir sebelumnya.

Dasar Wacana Pelarangan

Akibat tudingan monopoli yang dilakukan platform social commerce, muncul wacana untuk melarang penggabungan layanan media sosial dan dagang-el di satu platform yang sama. Hal ini pun ditentang oleh Untung.

Ia menilai wacana pelarangan ini harus didasari oleh hukum yang jelas, sebab larangan yang tidak berdasarkan hukum berisiko memberikan preseden buruk bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.

“Restriksi yang tidak didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas, bertolak belakang dengan prinsip perdagangan yang berkeadilan dan hal ini bisa membuat investor kabur dan enggan berinvestasi di Indonesia,” ujar Untung dalam keterangan tertulis.

Saat ini, izin perdagangan elektronik melalui platform dagang-el diatur dalam Permendag No. 50/2020. Aturan tersebut berlaku bagi seluruh platform dagang-el, termasuk social commerce.

Strategi Gaet Pengguna

Meskipun bukan barang baru di Indonesia, platform social commerce masih belum dikenal luas oleh masyarakat Tanah Air.

Sebagai strategi untuk memikat pengguna, platform social commerce menyajikan promo diskon harga dan ongkos kirim di saat-saat tertentu, seperti momen Kemerdekaan RI ataupun promo tanggal kembar.

Strategi seperti ini pun dilakukan oleh pemain platform dagang-el, terutama di awal kemunculannya sekitar tahun 2014 hingga 2015 lalu untuk menarik minat konsumen.

“Promo seperti ini lumrah dilakukan dan tidak pernah dipermasalahkan di era tersebut. Jadi, agak aneh jika strategi ini dipermasalahkan sekarang dan dianggap sebagai upaya predatory pricing,” imbuh Untung.

Menurutnya, diskon besar-besaran di platform social commerce yang terjadi saat ini tidak bisa dianggap sebagai predatory pricing. Hal ini karena diskon tersebut hanya dilakukan secara terbatas dan dalam jangka waktu tertentu saja.

Sedangkan pada prinsipnya, predatory pricing dilakukan dengan memberikan menjual suatu produk dengan harga sangat murah, dalam jumlah yang besar dan dalam jangka waktu yang lama.

Untung menilai promo diskon yang diberikan oleh platform social commerce merupakan sebuah insentif untuk memikat lebih banyak orang bertransaksi di platform mereka dan bukan merupakan upaya menyingkirkan pemain dagang-el lain.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...