Moratorium Izin Baru Smelter untuk Kendalikan Produksi dan Harga Nikel
Moratorium terhadap izin baru pembangunan smelter nikel semakin relevan untuk mengendalikan produksi dan menjaga keseimbangan harga nikel di pasar global. Langkah ini bertujuan mengatur supply dan demand, memastikan Indonesia mendapatkan nilai tambah optimal dari sumber daya nikel, serta menjaga agar cadangan nikel tidak cepat habis.
Sejak 2016 hingga 2023, industri smelter nikel di Indonesia telah mengalami lonjakan besar, dengan kapasitas smelter meningkat 15 kali lipat dari 200 ribu ton menjadi 3 juta ton dan produksi nikel melonjak sembilan kali lipat dari 199 ribu ton menjadi 1,8 juta ton. Namun, pertumbuhan pesat ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan cadangan nikel dan dampak lingkungan. Selain itu, pembangunan besar-besaran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Captive–berbahan bakar batu bara– yang menyertai smelter kini juga ikut bertumbuh pesat dari 2,5 GW di 2016 menjadi 14,2 GW pada 2023, naik 5,7 kali lipat.
Cadangan nikel Indonesia diperkirakan akan cepat habis, terutama jika konsumsi konsumsi bijih nikel terus meningkat. Dalam skenario konsumsi pirometalurgi, masa cadangan hanya bertahan 6,3 tahun. Adapun hidrometalurgi, masa pakai cadangan sedikit lebih panjang, sekitar 10,3 tahun. Estimasi ini mencakup proyek yang sudah dalam tahap operasional, konstruksi, dan direncanakan. Proyeksi ini semakin mempertegas pentingnya pengelolaan yang hati-hati untuk mencegah terlalu cepatnya deplesi cadangan nikel.
Selain itu, nilai ekspor nikel melonjak dari US$587 juta menjadi US$6,81 miliar selama periode yang sama menunjukkan kontribusi signifikan sektor ini terhadap perekonomian Indonesia. Namun, tanpa pengelolaan yang tepat, risiko deplesi cadangan nikel dan ketidakseimbangan pasar bisa mengancam manfaat jangka panjang bagi negara.