INFOGRAFIK: Alarm Ekonomi Indonesia di Awal Tahun
Kementerian Keuangan melaporkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami kenaikan defisit pada dua bulan pertama tahun ini. Dari Rp23,45 triliun pada Januari menjadi Rp31,2 triliun atau 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Februari. Terakhir kali, Indonesia mengalami defisit pada awal tahun terjadi pada 2021 saat Pandemi Covid-19.
Pemicunya adalah anjloknya penerimaan negara, mulai dari penerimaan pajak yang anjlok menjadi Rp187,8 triliun atau turun 30,2% yoy dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)hanya Rp76,4 triliun atau 4,1%. Sedangkan belanja pemerintah pusat turun menjadi Rp211,5 triliun atau turun 11,7% yoy.
“Defisit APBN 2025 didesain Rp616,2 triliun atau 2,53% terhadap PDB. Jadi defisit Rp31,2 triliun masih dalam target APBN,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kamis, 13 Februari.
Sejumlah indikator ekonomi makro Indonesia lainnya juga mengalami penurunan. Mulai dari pelemahan rupiah hingga badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melebihi jumlah pada periode yang sama tahun lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan deflasi mencapai 0,09% dan impor barang konsumsi turun 21,05% yoy pada Februari 2025. Begitu pula dengan Indeks Keyakinan Konsumen yang turun. Hal ini menunjukkan daya beli masyarakat masih tertekan.
Penarikan utang baru di awal tahun sendiri sudah mencapai Rp224,3 triliun atau 28,9% dari target tahun 2025 yang sebesar Rp775,86 triliun. Cadangan devisa dilaporkan menurun, dari US$156,08 miliar pada Januari 2025 menjadi US$154,5 miliar pada Februari 2025.
Survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) terhadap sejumlah ekonom menunjukkan mayoritas responden (55%) memang melihat perekonomian negara memburuk dalam tiga bulan terakhir. Mayoritas juga menyebut kebijakan keuangan negara saat ini tidak berdampak apapun pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.