Sejarah Kasus BLBI dan Mega Skandal di Belakangnya

Intan Nirmala Sari
24 September 2021, 11:55
BLBI, perbankan, bank Indonesia
ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.
Menko Polhukam Mahfud MD (kiri) tiba didampingi Ketua Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rionald Silaban dalam pelantikan tim satgas tersebut di Kemenkeu, Jakarta, Jumat (4/6/2021).

Heboh dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI kembali menyita perhatian publik setelah lebih dari dua puluh tahun kasus ini terpendam. Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana BLBI alias Satgas BLBI, atas perintah Presiden Joko Widodo- hanya memiliki tenggat hingga Desember 2023 untuk memburu 48 obligor dan debitur dana BLBI.

Upaya pemerintah untuk menyelesaikan skandal tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden  Nomor 6 Tahun 2021 mengenai Satgas Penanganan Hak Tagih BLBI yang disahkan pada 6 April 2021. Dalam dua tahun mendatang, Satgas mesti bisa mengeksekusi utang Rp 110,45 triliun dari para obligor tersebut. 

Rinciannya, Rp 84,8 triliun diselewengkan dari dana yang disalurkan Bank Indonesia kepada perbankan. Pada tahap penggunaan rekening 502 (untuk tambahan BLBI dan blank guarantee) yang merupakan rekening pemerintah, diselewengkan Rp 17,76 triliun. Selanjutnya penyelewengan pada tahap penyuntikan obligasi rekap kepada pihak perbankan sebanyak Rp 431,6 triliun, dan pembayaran bunga Rp 600 triliun.

Inilah yang dalam buku “Bantuan Likuiditas Bank Indonesia” karya Agus Pandoman dihitung sebagai potensi total kerugian negara. Dampaknya, beban utang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN setiap tahunnya mencapai Rp 40 triliun, dan Rp 50 triliun harus dilakukan hingga 2021. 

Berawal dari Upaya Penyelamatan

Kasus BLBI lahir dari dampak krisis moneter yang terjadi pada 1998. Bermula dari upaya pemerintah menyelamatkan perekonomian Tanah Air dari melemahnya rupiah ke level 15.000 per dolar Amerika kala itu. Pelemahan mata uang Garuda terhadap greenback secara signifikan menyebabkan aksi penarikan uang berjamaah di bank-bank Tanah Air pada 1997.

Alhasil, tidak butuh waktu lama likuiditas di perbankan Tanah Air ikut terkuras dan berujung pada kredit perbankan macet. Untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sepakat menanggung beban bersama lewat skema bantuan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI.

Dana Moneter Internasional (IMF) juga meminta Indonesia untuk menyuntikkan dana bantuan kepada sejumlah bank yang mengalami krisis. Kemudian, pada Desember 1998, BI mengguyur bantuan kepada 48 bank di Indonesia melalui skema BLBI dengan besaran mencapai Rp 144,53 triliun.

Namun, pada 2000, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebanyak Rp 138,7 triliun dari penyaluran dana BLBI. Selain itu, hasil temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperlihatkan penyimpangan dana hingga Rp 54,5 triliun oleh 28 bank penerima dana BLBI tersebut.

Berbuntut Aksi Penyelewengan Massal

Kasus semakin memanas pada 2002, saat Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Instruksi tersebut mengenai pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menuntaskan kewajiban maupun yang mangkir dari kewajibannya.

Berdasarkan kebijakan tersebut, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga ditugaskan menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk bank yang membereskan utangnya. Sedangkan mereka yang belum membayarkan kewajibannya akan dikenakan sanksi. Ada 12 debitur yang menerima SKL di masa pemerintahan Megawati.

Lahirnya Inpres menyimpan banyak kejanggalan dengan indikasi personal approach oleh para debitor terhadap pemerintahan masa itu. Para debitor tersebut di antaranya Hendra Liem (Bank Budi Internasional), The Nin King (Bank Danahutama), dan Ibrahim Risjad (Bank RSI).

Lalu ada Sudwikatmono (Bank Surya), Siti Hardijanti Rukmana (Bank Yakin Makmur), Anthony Salim (Bank BCA), Suparno Adijanto (Bank Bumi Raya), dan Mulianto Tanaga dan Hadi Wijaya Tanaga (Bank Indotrade). Pengusaha selanjutnya ykani Philip S. Widjaja (Bank Mashill), Ganda Eka Handria (Bank Sanho), serta Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...