Sejarah Dukuh Atas, dari Segitiga Emas Jadi Lapak Unjuk Fesyen

Amelia Yesidora
22 Juli 2022, 08:20
Sejarah Dukuh Atas, Dukuh Atas, ekonomi, bisnis, educate me
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.
Warga berbincang di kawasan Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (14/7/2022). Pemprov DKI Jakarta akan menertibkan masyarakat yang duduk-duduk dan berkumpul di kawasan tersebut diatas pukul 22.00 WIB, sesuai ketentuan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1.

Remaja tanggung usia belasan tahun akhir-akhir ini terlihat meramaikan kawasan Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Dukuh Atas. Berbekal selera fesyen yang unik dengan dandanan mencolok, mereka berhasil menyulap kawasan yang dikenal elite lantaran dikelilingi gedung-gedung pencakar langit, menjadi panggung catwalk.

Seiring perkembangan, warganet kemudian menyebut tren fesyen tersebut sebagai “Citayam Fashion Week”. Padahal, jika menilik sejarah Dukuh Atas enam dekade silam, kawasan tersebut identik dengan "dunia malam".

Selain tren fesyen, abreviasi SCBD yang sebelumnya dikenal sebagai Sudirman Central Business District, berubah menjadi Sudirman Citayam Bojonggede Depok. Bukan tanpa alasan, remaja yang meramaikan kawasan Dukuh Atas tersebut, umumnya berasal dari tiga daerah pinggir Jakarta tersebut.

Pemanfaatan Dukuh Atas sebagai lapak pamer fesyen turut didukung kemudahan akses transportasi ke lokasi. Pasalnya, untuk bisa sampai ke Dukuh Atas, para remaja asal Bojonggede, Depok, dan Citayam cukup mengandalkan kereta rel listrik atau KRL. Apalagi tarif transportasi yang ditawarkan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) selaku perusahaan penyedia jasa angkutan kereta api Jabodetabek tersebut, cukup terjangkau. 

Di samping itu, Stasiun Bojong Gede dan Stasiun Citayam merupakan dua dari lima stasiun tersibuk pada 2019. Sepanjang periode tersebut, terdapat 12,47 juta pengguna KRL yang dilayani Stasiun Bojong Gede dan 12,42 juta pengguna dan Stasiun Citayam.

Gemerlap Dunia Malam Dukuh Atas Tempo Dulu

PEMBATASAN PERGERAKAN MASYARAKAT DI IBU KOTA
PEMBATASAN PERGERAKAN MASYARAKAT DI IBU KOTA (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/wsj.)

Bila ditilik ke masa lalu, kawasan Dukuh Atas tidak diperuntukkan bagi perkantoran seperti sekarang. Mengutip laman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, sejak 1960 kawasan ini terkenal berkat gemerlap kehidupan malamnya.

Ketika itu, Gubernur DKI Jakarta pertama, Ali Sadikin berkuasa, berbagai bar dan klub malam menghiasi kawasan Dukuh Atas. Peminat kawasan tersebut, umumnya berasal dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas. Tak jarang pula ditemui panti pijat di sekitaran Jalan Blora.

Sebagai informasi, Dukuh Atas dulunya merupakan sebuah perkampungan yang terletak di sisi barat daya Kecamatan Menteng. Dari berbagai sumber diketahui kampung ini sudah berusia ratusan tahun, dan mempunyai nama awal Kampung Dukuh.

Seiring waktu berjalan, Kampung Dukuh dibagi menjadi dua, pertama Kampung Dukuh Atas yang berada di sebelah timur SMA 3 Setiabudi dan Kampung Dukuh Bawah yang berbatasan dengan Jalan Halimun dan Jalan Kawi, Kelurahan Guntur.

Jalan Halimun dan Jalan Guntur pun tak luput dari pamor dunia malam yang disematkan pada Dukuh Atas. Sepanjang 1950 hingga 1960, dua jalan ini dikenal sebagai kawasan pelacuran kelas bawah di Jakarta. Dalam penuturan budayawan Irwan Syafe’i pada Republika disebutkan hingga 2019 masih ada pelacur yang menetap hingga subuh di sekitar Jalan Sultan Agung dan di pinggir rel kereta api Jalan Latuharhari. 

Tak hanya dikenal dengan dunia malamnya, warga di sekitar Dukuh Atas pun banyak yang berwirausaha. Sebut saja warga daerah tetangga seperti Kuningan, Sudirman, dan Gatot Subroto yang menjadi perajin batik, sepatu, hingga tahu. Namun yang terbanyak adalah pengusaha sapi, hingga pada pagi hari banyak warga Karet yang mengendarai sepeda untuk menjajakan susu segar dalam botol kepada pelanggannya di sekelilinga Jakarta.

Nama Dukuh berasal dari nama buah duku, yang dulu banyak dibiakkan dalam perkebunan di daerah tersebut. Adapun Stasiun Sudirman yang berdiri di daerah ini dulunya bernama Stasiun Dukuh Atas. 

Kini, kawasan Dukuh Atas masuk dalam area Segitiga Emas Jakarta, yaitu tiga titik imajiner yang ditarik dari Patung Pemuda Membangun di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Patung Kuda Arjuna Wijaya di kawasan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, dan Patung Dirgantara di Pancoran, Jakarta Selatan.

Ide tersebut digagas Presiden Soekarno, dengan tujuan untuk mengembangkan distrik bisnis pusat, alias central business district (CBD) yang terdiri dari perkantoran di area tersebut. Proyek itu dimulai sejak 1960, dengan membangun jalan raya lebar yaitu Jalan M. H. Thamrin, Jalan Gatot Subroto, dan Jembatan Semanggi. Formasi itu kemudian dilengkapi Jalan HR. Rasuna Said yang dibangun pada 1970-an. Akhirnya istilah Segitiga Emas tersebut mulai populer di kalangan masyarakat pada 1990-an.

Hampir tiga dekade berlalu, pemerintah DKI Jakarta kemudian mengembangkan TOD Dukuh Atas untuk mempermudah mobilitas warga, terutama kaum pekerja di Segitiga Emas. Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 107 tahun 2020, TOD Dukuh Atas memiliki luas 146 hektare, berdiri di atas Kecamatan Tanah Abang dan Kecamatan Menteng, Kota Administrasi Jakarta Pusat, dan Kecamatan Setiabudi. 

TOD Dukuh Atas resmi berdiri sejak 30 April 2019, sebagai kawasan TOD pertama di Indonesia. Sesuai namanya, kawasan ini menghubungkan tujuh jenis transportasi umum, mulai dari bus Transjakarta, Moda Raya Terpadu (MRT), KRL commuter line, kereta bandara, bus dalam kota, hingga kelak Light Rail Transit (LRT) Jakarta serta LRT Jabodebek. 

Reporter: Amelia Yesidora

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...