Menjawab Tantangan Sawit Berkelanjutan pada COP26 dengan Jangka Benah

Arofatin Maulina Ulfa
Oleh Arofatin Maulina Ulfa - Tim Publikasi Katadata
5 November 2021, 20:05
Menjawab Tantangan Sawit Berkelanjutan pada COP26 dengan Jangka Benah
123rf.com/asnida marwani
Ilustrasi lahan kelapa sawit, CPO

Indonesia menjadi sorotan dunia dalam penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terkait iklim (COP26) di Glasgow. Pasalnya, sebagai pengekspor minyak sawit terbesar, Indonesia menghadapi persoalan deforestasi hingga rusaknya ekosistem hutan akibat perluasan areal perkebunan.

Tak pelak, komitmen Presiden Joko Widodo bersama lebih dari seratus pemimpin dunia di COP26 untuk mengakhiri deforestasi dan mengembalikan fungsi hutan juga akan mempengaruhi perkembangan industri sawit di Tanah Air.

Salah satu akar persoalan rusaknya ekosistem adalah adanya perkebunan sawit monokultur yang terlanjur berada di kawasan hutan. Berdasarkan investigasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2019, luas tutupan sawit di kawasan hutan di seluruh Indonesia mencapai 3,4 juta hektare (ha) yang tersebar di berbagai fungsi kawasan.

Artikel_Menjawab Tantangan Sawit Berkelanjutan pada COP26 dengan Jangka Benah

Tak hanya dilakukan oleh perkebunan besar swasta, perkebunan skala rakyat juga banyak yang tidak memiliki perizinan usaha perkebunan kelapa sawit di area ini. Meskipun belum ada data yang menunjukkan perbandingan luasan perkebunan swasta dan sawit rakyat dalam kawasan hutan, namun besarannya dapat diperkirakan dari pengajuan pelepasan kawasan hutan yang telah diajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Hingga 2019, KLHK telah menerima permohonan pelepasan dan tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit seluas 1,6 juta ha. Sementara data terbaru dari Yayasan KEHATI memperkirakan sebanyak 1,8 juta ha perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Indonesia tidak memiliki izin.

Erna Rosdiana, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK dalam dalam webinar Katadata bertajuk “Strategi Jangka Benah, Solusi Bagi Kesejahteraan Rakyat dan Kawasan Hutan”, Selasa (26/10), mengatakan meskipun sektor sawit memiliki kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian nasional, namun jika merambah kawasan hutan, akan berdampak buruk bagi lingkungan.

“Perlu kebijakan untuk mempertemukan kepentingan antara ekonomi dan penyelamatan lingkungan,” tuturnya.

Pada tataran teknis, SPOS Indonesia, Yayasan KEHATI Indonesia dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengusulkan penerapan Strategi Jangka Benah (SJB).

Mengutip dari situs jangkabenah.org, SJB merupakan periode waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi struktur hutan dan fungsi ekosistem yang diinginkan melalui penjadwalan tindakan silvikultur dan perlakuan lainnya. Strategi ini bertujuan memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang terganggu atau rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur.

Menurut Erna, berdasarkan peraturan, dalam periode Jangka Benah, hutan akan terlindungi selama 15 tahun untuk hutan lindung dan konservasi, dan 25 tahun untuk hutan produksi. Namun demikian ia menekankan kawasan hutan tidak bisa terus menerus menjadi kebun sawit.

“Harus ada pengembalian menjadi hutan alam untuk mengembalikan biodiversitas,” katanya.

Ari Susanti, selaku Tim Strategi Jangka Benah (SJB) Fakultas Kehutanan UGM dalam webinar yang sama menyatakan bahwa Jangka Benah sebenarnya bukan sebuah konsep yang baru.

“Sejak tahun 1960-an konsep ini sudah ada. SJB ini merupakan upaya sosial, teknis, hingga kebijakan untuk memperbaiki struktur ekosistem hutan yang terganggu, secara bertahap dengan penguatan kelembagaan dan aturan yang mendukung,” paparnya.

Selain memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan, SJB juga memberi dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat, terutama bagi petani kelapa sawit skala kecil. Di sisi lain, SJB juga dapat mendorong upaya percepatan pencapaian program Perhutanan Sosial. 

“Saya kira di dalam kebijakan Jangka Benah yang ditetapkan dalam Perhutanan Sosial khususnya, dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan perlindungan lingkungan.” imbuh Erna.

Dalam mekanisme SJB, terdapat 2 tahapan untuk mencapai kondisi ideal hutan alam. Pertama, perbaikan struktur hutan dengan metode agroforestri dengan mencampur tanaman sawit dengan komoditas lain.

Tahap kedua, memasuki tahap pemulihan fungsi ekosistem di mana kondisi tutupan lahan berupa kebun sawit campur akan berubah menjadi tutupan lahan yang menyerupai hutan alam, seperti sebelum lahan hutan dikonversi menjadi kebun sawit monokultur.

“Karena SJB ini dikaitkan dengan program Perhutsos, maka diharapkan SJB juga bisa berkontribusi untuk mempercepat program Perhutsos yang ditargetkan pemerintah,” sambung Ari.

Praktik Kebun Sawit Campur di Indonesia

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...