Garuda Raih Kesepakatan Restrukturisasi Utang dari 11 Kreditur
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah melakukan kesepakatan restrukturisasi utang dengan 11 kreditur dalam dua tahun terakhir. Kreditur terdiri dari, tiga bank milik negara, empat bank swasta, dan empat perusahaan pelat merah.
Pada Desember 2020, perusahaan telah menandatangani perjanjian restrukturisasi utang dengan Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, dan Pertamina. Dalam perjanjian tersebut, ketiga perusahaan pelat merah sepakat atas restrukturisasi utang tertunggal selama 2020 yang dibayarkan dengan cicilan keringanan pembayaran di awal atau balloon payment sampai 2023.
"Pada Mei 2021, LPPNPI (Airnav) sepakat atas restrukturisasi utang tertunggal selama 2020 yang dibayarkan dengan cicilan balloon payment sampai 2023," ujar Manajemen Garuda Indonesia dalam penjelasan tertulis kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) dikutip Kamis (2/9).
Pada Juni 2021, sebanyak Garuda Indonesia dan enam bank sepakat menandatangani perjanjian kredit restrukturisasi, berupa perubahan waktu jatuh tempo pembayaran pinjaman.
Bank Mandiri dan Bank Negara Indonesia (BNI) sepakat atas penangguhan pokok dan bunga pinjaman emiten berkode saham GIAA ini sampai 22 Juni 2022. Bank Rakyat Indonesia (BRI) sepakat atas penangguhan pokok dan bunga pinjaman sampai 29 Juni 2022.
Selain itu, Bank Panin sepakat atas penangguhan pokok dan bunga pinjaman sampai 24 Februari 2022. Bank ICBC sepakat atas penangguhan pokok dan bunga pinjaman sampai 31 Maret 2022.
Selanjutnya, Bank Permata dan Garuda juga menandatangani perjanjian perubahan kredit menjadi ombibus revolving loan RL1 dan RL2. Bank Permata sepakat menangguhkan RL1 sampai 1 April 2022, dan RL2 sampai 1 April 2022.
Terakhir pada Agustus 2021, Bank of China sepakat atas perubahan jatuh tempo pembayaran pokok sejak 9 Agustus 2021. Garuda menangguhkan pembayaran pokok dan bunga pinjaman sampai 11 November 2021.
Berdasarkan laporan keuangan semester I 2021, total liabilitas perusahaan meningkat menjadi US$ 12,96 miliar per Juni 2021 dari posisi periode 2020 sebesar US$ 12, 73 miliar. Menurut rinciannya, liabilitas jangka pendek tercatat meningkat menjadi US$ 5,05 miliar dari semula US$ 4,29 miliar. Di sisi lain, liabilitas jangka panjang menyusut menjadi US$ 7,9 miliar dari US$ 8,43 miliar.
Sementara itu, total ekuitas perusahaan tercatat negatif US$ 2,84 miliar. Nilai itu membengkak dari posisi sebelumnya minus US$ 1,94 miliar. Dalam hal ini, Garuda masih memiliki aset sebesar US$ 10,11 miliar, atau menyusut dari semula US$ 10,78 miliar.
Sepanjang semester I 2021, kerugian yang dialami Garuda terus membengkak hingga 26,09% menjadi US$ 898,65 juta atau setara Rp 12,82 triliun (Kurs Rp 14.275/ US$) dari kerugian periode yang sama tahun sebelumnya US$ 712,72 juta atau setara Rp 10,17 triliun.
Bengkaknya kerugian Garuda Indonesia pada semester I-2021 ini sejalan dengan total pendapatan usaha yang sebesar US$ 696.8 juta, atau menurun 24,04% dari periode sama tahun lalu US$ 917,28 juta. Omzet Garuda Indonesia mayoritas masih berasal dari penerbangan berjadwal yang totalnya US$ 556,53 juta atau anjlok 25,82% dari US$ 750,25 juta. Pendapatan dari penerbangan berjadwal ini terdiri dari, penerbangan penumpang dan dari bisnis kargo.
Pada sisi penerbangan penumpang, Garuda hanya mencatatkan pendapatan US$ 375,29 juta atau anjlok 40,5% dari US$ 630,77 juta. Meski begitu, Garuda Indonesia bisa mengantongi pendapatan dari bisnis angkutan kargo dan dokumen senilai US$ 181,24 juta, atau meroket hingga 51,69% dari US$ 119,48 juta saja.
Sumber pendapatan lain Garuda Indonesia berasal dari penerbangan tidak berjadwal (charter). Maskapai mampu membukukan pendapatan US$ 41,63 juta dari charter atau mampu tumbuh signifikan hingga 93,25% dari US$ 21,54 juta saja.
Sementara itu, bisnis lainnya yang terdiri dari pemeliharaan dan perbaikan pesawat, pelayanan terkait penerbangan, fasilitas, jasa boga, dan lainnya mengalami penurunan. Total pendapatan lainnya US$ 98,63 juta atau anjlok hingga 32,2% dari US$ 145,47 juta.
Di tengah penurunan pendapatan usaha, Garuda Indonesia mampu melakukan efisiensi pada beban usaha yang totalnya US$ 1,38 juta atau turun 16% dari US$ 1,643 juta. Penyumbang terbesar beban usaha adalah beban operasional penerbangan senilai US$ 769,35 juta, turun 18,64% dari US$ 945,58 juta.
Di luar beban usaha, Garuda Indonesia juga mesti menanggung beban keuangan mencapai US$ 293,52 juta pada semester I-2021. Nominal beban keuangan ini membengkak hingga 44,77% dibandingkan periode yang sama tahun lalu US$ 202,74 juta.
Meski begitu, Garuda Indonesia mampu membukukan keuntungan dari selisih kurs dengan nilai bersih US$ 50,57 juta pada semester I-2021. Keuntungan ini naik signifikan 149,5% dibandingkan periode sama tahun lalu US$ 20,27 juta.
Manajemen Garuda Indonesia mengatakan, pandemi Covid-19 yang diikuti dengan pembatasan perjalanan, telah menyebabkan penurunan perjalanan udara yang signifikan. "Hal ini memiliki dampak buruk pada operasi dan likuiditas Grup," dikutip dari laporan keuangan perusahaan.
Secara spesifik, Garuda Indonesia belum dapat memenuhi kewajiban keuangannya kepada bank, vendor yang signifikan. Seperti PT Pertamina (Persero) untuk pembelian bahan bakar, PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero) sebagai operator bandara, dan lessor pesawat.
Ketidakmampuan Garuda Indonesia untuk memenuhi kewajibannya kepada lessor mengakibatkan pelarangan penggunaan (grounding) pesawat sewa tertentu Garuda Indonesia. Perjanjian-perjanjian pinjaman Garuda Indonesia memiliki batasan rasio keuangan yang tidak dapat dipenuhi oleh Garuda Indonesia.
Jika Garuda Indonesia tidak dapat memenuhi persyaratan ini, pinjaman-pinjaman ini dapat jatuh tempo segera jika diminta oleh pemberi pinjaman. Perjanjian pinjaman ini umumnya juga memiliki persyaratan cross-default. "Kondisi-kondisi di atas menunjukkan adanya ketidakpastian material yang dapat menimbulkan keraguan signifikan tentang kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya," kata manajemen Garuda Indonesia.
Mempertimbangkan keadaan tersebut, manajemen Garuda Indonesia telah mempertimbangkan dengan cermat likuiditas masa depan, kinerja Garuda Indonesia, dan sumber pembiayaan yang tersedia dalam menilai bahwa Garuda akan memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.