Daftar Emiten Backdoor Listing: Dari Peter Sondakh hingga Salim Group

Image title
17 September 2021, 13:39
Backdoor Listing, Saham, Bursa, Bursa Efek Indonesia
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
Sejumlah pelaku perbankan dan pasar modal mengikuti vaksinasi COVID-19 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (31/3/2021).

Rencana PT Global Digital Niaga, pengelola e-commerce Blibli.com, mengakuisisi 51% saham emiten retail PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC) menghembuskan spekulasi strategi pencatatan melalui jalur belakang di Bursa Efek Indonesia. Siapa saja emiten yang pernah menjalankan backdoor listing?

Backdoor listing merupakan salah satu cara bagi perusahaan swasta untuk menjadi perusahaan publik. Menurut Investopedia, strategi ini dilakukan perusahaan jika tidak memenuhi persyaratan untuk tercatat di bursa saham.

Dalam penjelasan lebih lanjut, skema backdoor listing salah satunya bisa dilakukan melalui akuisisi mayoritas saham. Lalu, pemilik baru ini menggabungkan operasi perusahaan baru dengan perusahaan lama. Alternatif lainnya, pemilik baru ini membuat perusahaan cangkang yang memungkinkan kedua perusahaan melanjutkan operasi secara independen satu sama lain.

Pengamat Pasar Modal dari Asosiasi Analis Efek Indonesia Reza Priyambada mengatakan, pencatatan di pasar modal melalui skema backdoor listing ini membawa sejumlah keuntungan. Salah satunya, perusahaan tertutup ttidak perlu melakukan persiapan IPO dari awal seperti emiten-emiten lain.

"Karena tinggal ambil perusahaan terbuka, buat keterbukaan informasi, dan dimungkinkan untuk rapat umum pemegang saham," katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (16/9).

Praktik backdoor listing bukan barang baru di pasar saham Tanah Air, karena sejumlah emiten sudah melakukannya. Emiten tersebut mulai dari AirAsia, perusahaan milik pebisnis Benny Tjokrosaputro, Grup Rajawali milik Peter Sondakh, hingga Indomaret milik Salim Group.

 PT AirAsia Indonesia Tbk

PT AirAsia Indonesia Tbk masuk ke pasar modal melalui perusahaan terbuka PT Rimau Multi Putra Pratama Tbk. Sebelum berubah menjadi perusahaan penerbangan, emiten berkode saham CMPP ini sebenarnya merupakan perusahaan yang bergerak di sektor tambang.

CMPP menerbitkan 13,65 miliar saham baru dengan harga Rp 250 per saham melalui skema hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue. Rasio delusi dari penerbitan saham baru ini mencapai 97,97%. Kala itu, CMPP dimiliki oleh PT Rimau Multi Investama sebesar 76,24% dan saham masyarakat 23,76%.

Dalam penerbitan saham baru tersebut, Rimau Multi Investama mengalihkan haknya kepada Air Asia Investment Ltd dan PT Fersindo Nusaperkasa sebagai pembeli siaga. Keduanya juga merupakan pemegang saham PT Indonesia AirAsia (IAA).

Setelah proses rights issue selesai, komposisi pemegang saham CMPP menjadi Fersindo Nusaperkasa 49,96%, Air Asia Investment Ltd 48%, Rimau Multi Investama 1,55%, dan masyarakat tersisa 0,48%.

Penerbitan saham baru tersebut membuat CMPP mengantongi dana segar Rp 3,4 triliun. Dari jumlah itu, sekitar 76% digunakan untuk mengambil alih surat berharga sekuritas perpetual milik IAA senilai Rp 2,6 triliun. Sekuritas perpetual tersebut dikonversi menjadi saham IAA.

Akibat konversi tersebut, CMPP memiliki 57,25% saham IAA. Artinya, secara tidak langsung, IAA menjadi perusahaan terbuka melalui CMPP dan nama perusahaan CMPP pun menjadi PT AirAsia Indonesia Tbk.

Namun, saham ini sudah digembok bursa sejak 5 Agustus 2019 atau sudah lewat dari 24 bulan. Sesuai ketentuan BEI, perdagangan saham ini harus dihentikan sementara karena persoalan porsi dan jumlah pihak pemegang saham publik. Saat ini AirAsia Indonesia dimiliki 49,25% oleh AirAsia Investment Ltd dan 49,16% oleh Fersindo Nusaperkasa. Sedangkan masyarakat hanya 1,59%.

 PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO)

Emiten lain yang pernah menjadi target backdoor listing adalah PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO). Pada Maret 2017, Rimo menerbitkan saham baru melalui rights issue senilai Rp 4,2 triliun dengan efek dilusi 99% bagi pemegang saham yang tidak melaksanakan haknya.

Dalam rights issue tersebut, para pemegang saham RIMO tidak mengeksekusi haknya. Hampir seluruh saham baru itu diborong oleh pebisnis Benny Tjokrosaputro selaku pembeli siaga.

Dana hasil rights issue tersebut digunakan senilai Rp 3,94 triliun untuk mengakuisisi PT Hokindo Properti Investama, perusahaan yang juga dimiliki oleh Benny Tjokro. Akuisisi ini, membuat Rimo mengubah haluan bisnisnya dari sektor retail ke properti. Dengan aksi korporasi akuisisi tersebut, maka Hokindo Properti resmi masuk ke Bursa tanpa melalui proses penawaran umum perdana alias initial public offering (IPO).

Halaman:
Editor: Lavinda
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...