OJK Terbitkan Dua Aturan Pendorong Kinerja Kredit dan Kesehatan BPR
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan dua aturan baru bidang perbankan yang bertujuan untuk mendorong penyaluran kredit serta penguatan kesehatan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau BPR Syariah.
Adapun, aturan pertama yang diterbitkan yakni, Peraturan OJK Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menjelaskan, di dalam ketentuan ini, penilaian tingkat kesehatan BPR dan BPRS menggunakan pendekatan risiko dengan cakupan penilaian terhadap faktor profil risiko, tata kelola, rentabilitas, dan permodalan, melalui analisis yang komprehensif dan terstruktur.
OJK berwenang untuk menurunkan peringkat komposit tingkat kesehatan BPR dan BPRS, jika pada hasil identifikasi dan penilaian OJK ditemukan permasalahan yang secara signifikan memengaruhi atau akan memnegaruhi operasional dan/atau kelangsungan usaha BPR dan BPRS.
Adapun, peringkat tingkat kesehatan BPR dan BPRS ditetapkan ke dalam lima peringkat yaitu Peringkat Komposit 1 (PK-1), Peringkat Komposit 2 (PK-2), Peringkat Komposit 3 (PK-3), Peringkat Komposit 4 (PK-4), Peringkat Komposit 5 (PK-5). Urutan peringkat yang lebih kecil mencerminkan kondisi BPR dan BPRS yang lebih baik.
Sementara itu, penilaian tingkat kesehatan dilakukan oleh BPR dan BPRS paling sedikit dilakukan setiap semester dan akan berlaku sejak laporan Desember 2022 untuk tahapan uji coba. Sedangkan, pengenaan sanksi berlaku efektif sejak laporan Desember 2023.
"Penerapan manajemen risiko dan tata kelola diharapkan juga dapat mengurangi surprising event yang negatif, misalnya kejadian fraud dan risiko likuiditas, yang dapat mempengaruhi kinerja BPR dan BPRS," kata Heru, dalam keterangan resminya, Senin (18/4).
Aturan ini diterbitkan untuk mendorong penerapan manajemen risiko dan tata kelola bagi industri BPR dan BPRS yang semakin kompleks. Ini seiring dengan perkembangan industri jasa keuangan, inovasi produk serta layanannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Perkembangan industri BPR dan BPRS yang dinamis harus diiringi dengan penguatan pada aspek manajemen risiko dan tata kelola, agar kelangsungan usahanya dapat tetap terjaga, agile (lincah) dan resilient (elastis)," kata Heru.
Heru menjelaskan, penerapan manajemen risiko dan tata kelola pada BPR dan BPRS juga merupakan bagian dari pilar 1 penguatan struktur dan keunggulan kompetitif peta jalan pengembangan perbankan Indonesia bagi BPR dan BPRS.
Dengan demikian, dapat mendukung pencapaian peningkatan kinerja dan pertumbuhan industri BPR dan BPRS secara berkelanjutan.
Selain itu, guna mendorong penyaluran kredit dan inklusi keuangan melalui pengembangan informasi perkreditan, OJK juga menerbitkan aturan POJK Nomor 05 Tahun 2022 tentang Lembaga Pengelolaan Informasi Perkreditan (LPIP).
Penerbitan aturan baru ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk melakukan penyempurnaan secara signifikan dan komprehensif atas pengaturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu POJK Nomor 42/POJK.03/2019.
Adapun pokok penyempurnaan dalam POJK LPIP yakni, penegasan LPIP sebagai lembaga pemeringkatan di sektor jasa keuangan, peningkatan modal disetor minimun dan pengaturan modal bersih dalam rangka menjamin keberlangsungan bisnis LPIP dalam rentang lima tahun ke depan.
Dalam aturan tersebut, LPIP diwajibkan untuk menjaga nilai modal bersih sebesar 50% dari modal disetor minimum, serta wajib mencadangkan sebagian dari laba perseroan untuk peningkatan teknologi, infrastruktur, dan sumber daya manusia.
Kemudian, pokok penyempurnaan aturan baru ini juga mencakup pengembangan produk dan jasa LPIP, pembatasan akses data Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) untuk LPIP, dan implementasi tata kelola di LPIP.