Studi UI: Tiket Kereta Cepat Jakarta Bandung Bisa Rp150 Ribu-350 Ribu
Harga tiket Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) diperkirakan berada di kisaran Rp 150 ribu-Rp 350 ribu. Kereta tersebut juga bisa mengangkut penumpang hingga 601 orang.
Besaran tiket tersebut diperoleh berdasarkan kajian studi kelayakan yang dilakukan Pusat Pengujian, Pengukuran, Pelatihan, Observasi, dan Layanan Rekayasa Universitas Indonesia (POLAR UI).
Harga tiket akan menyesuaikan kelas yang dipilih penumpang hingga jarak tempuh penumpang.
Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan satu rangkaian KCJB dapat mengangkut 601 penumpang.
Mereka akan terbagi menjadi tiga kelas, yakni VIP (18 orang), first class (28 orang), dan second class (555 orang). Satu rangkaian KCJB sendiri akan terdiri dari delapan gerbong dengan total panjang mencapai 208,95 meter.
Jarak tempuh kereta tersebut mencapai 142,3 km dan akan melalui empat stasiun, yakni Halim, Karawang, Padalarang dan Tegal Luar.
Jarak waktu tempuh jika berangkat dari Stasiun Halim langsung ke Stasiun Tegal Luar mencapai selama 36 menit sementara kalau berhenti jadi 43 menit.
"Dipekirakan melayani penumpang 31.125 penumpang per hari dan akan beroperasi 68 kereta cepat dengan 11 rangkaian kereta. Waktu operasional mulai pukul 05.30 sampai 22.00 WIB," tutur Dwiyana, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan komisi V, hari ini, Selasa (7/2).
Dalam proyeksi POLAR UI, pertumbuhan KCIC hingga 5 tahun pertama sejak beroperasi juga akan sangat kecil.
Sebagai informasi, studi kelayakan yang dilakukan POLAR UI merupakan kajian terbaru yang sudah memperhitungkan dampak Covid-19.
Kereta Cepat Jakarta Bandung diharapkan sudah bisa beroperasi pada 2023. Menurut kajian, dengan adanya KCJB, maka ada perpindahan penumpang moda angkutan darat lain ke KCJB sebanyak 27%.
Secara rinci, dari kendaraan pribadi sebanyak 22.703 orang, dari bus sebanyak 19.591 orang, dan dari kereta api biasa 1.311 orang. Dengan kata lain, KCIC menilai potensi pasar KCJB mencapai 43.605 orang.
KCIC telah melakukan beberapa kali studi kelayakan yakni pada Agustus 2015, Desember 2016, Juni 2017, dan pada November 2021.
"Covid-19 akan sangat mempengaruhi demand forecast (proyeksi permintaan) dan kondisi lingkungan lain, sehingga kami menunjuk lagi konsultan untuk melakukan review feasibility studies (studi kelayakan) dan update financial model," kata Dwiyana.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Zulfikri mengatakan hasil terbaru studi kelayakan akan menentukan masa konsesi yang akan diberikan kepada badan usaha.
Saat ini, masa konsesi yang disetujui dari hasil studi kelayakan terakhir adalah 50 tahun sejak izin operasi diberikan.
"Jadi, kita coba lihat secara detail asumsi yang digunakan (dalam pembuatan studi kelayakan). Asumsi (studi kelayakan KCJB) bergerak, termasuk juga cost over-run yang terjadi dari pembangunan molor dan pandemi yang dialami beberapa tahun ini," kata Zulfikri.
Pada studi kelayakan yang dilakukan pada Januari 2017, cost over-run KCJB mencapai US$ 1,75 miliar atau sekitar Rp 24,9 triliun.
Dwiyana menjelaskan pembengkakan terutama terjadi karena ketidaksesuaian studi kelayakan dan kondisi di lapangan.
Dia menjelaskan pengadaan lahan untuk proyek kereta api cepat ada pembengkakan untuk trase, peralatan, termasuk di dalamnya untuk relokasi SUTT (saluran udara tegangan tinggi) PLN.
"Itu (pemindahan SUTT PLN) porsinya hampir 16% (dari total cost over-run)," kata Dwiyana.
Dwiyana menghitung jumlah SUTT PLN yang harus dipindahkan mencapai 126 unit. KCIC telah mendapatkan izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait pemindahan itu
Namun, pemindahan menara itu pun mengalami permasalahan karena masyarakat meminta kompensasi atas pemindahan itu.
Alasannya, pemindahan SUTT PLN akan merusak lahan pertanian masyarakat lantaran kabel listrik tekanan tinggi yang melewati lahan akan merusak lahan pertanian.
Di samping itu, Dwiyana berujar kontrak pekerjaan Engineering-Procurement-Construction (EPC) mengakomodir adanya eskalasi harga di dalam negeri.
Artinya, eskalasi biaya kontruksi EPC yang disetujui diakibatkan oleh inflasi, kenaikan upah pegawai, dan lainnya.
Selain itu, ada perbedaan antara studi kelayakan dengan kondisi riil di lapangan. Dwiyana mencontohkan pada studi kelayakan, rencana jumlah pemindahan pasung lintasan KCJB hingga 200 unit.
Akan tetapi, angka itu melonjak menjadi 600 unit pada proses konstruksi.
"Karena di lapangan membutuhkan itu (lantaran) ada relokasi jalan, jembatan, kantor kelurahan, sekolah, dan lain-lain. Angkanya jauh dari angka perencanaan di feasibility studies (studi kelayakan)," ucap Dwiyana.