Banyak Masalah pada Peleburan Kemenristek dan Kemendikbud
Minggu lalu, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan untuk membubarkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan memasukkan fungsinya ke dalam Kementerian Pendidikan (Kemendikbud). Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) – lembaga payung untuk pelaksanaan riset nasional yang kini melekat pada Kemenristek – akan menjadi badan otonom, dan tinggal menunggu pengumuman resmi presiden.
Sebenarnya, pergantian menteri dan perombakan kabinet adalah hal wajar dalam pemerintahan.
Namun, keputusan yang datang secara tiba-tiba setelah kelembagaan Ristek/BRIN terkatung-katung selama dua tahun, mengindikasikan bahwa pemerintah tidak memikirkan strategi riset nasional secara matang.
Apalagi jika mempertimbangkan paket perombakan ini secara utuh, pembubaran Kemenristek seakan-akan sekadar untuk ‘memberi ruang’ pada Kementerian Investasi yang baru dibentuk.
Apa masalah maupun implikasi dari pembubaran dari Kemenristek? Lalu, setelah fungsinya dilebur ke dalam Kemendikbud dan BRIN menjadi badan otonom, seperti apa haluan negara dalam bidang riset dan inovasi?
Dari Perbedaan Filosofi hingga Potensi Penyelewengan Kekuasaan
Penggabungan sebagian fungsi ristek ke dalam Kemendikbud, bersamaan dengan pemisahan BRIN menjadi lembaga sendiri, membawa tantangan –- bahkan masalah. Dari perspektif kebijakan publik, tata kelola kenegaraan, serta strategi riset nasional, ada setidaknya tiga masalah mendasar.
1. Ada perbedaan besar substansi urusan pendidikan dengan riset.
Fungsi ristek yang melekat ke Kemendikbud membuatnya harus menangani kebijakan riset, ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Padahal, sebelumnya Kemendikbud sudah menangani pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, vokasi, pendidikan tinggi, hingga budaya dan pembentukan karakter.
Dengan kata lain, Kemendikbud-Ristek kini menangani semuanya.
Akibatnya, ada potensi besar kementerian baru ini akan tidak efektif karena mengelola terlalu banyak urusan kebijakan dan bisa membuat peran Kemendikbud-Ristek dan BRIN menjadi tumpang tindih. Hasilnya, kalau tidak setengah-setengah, bisa-bisa malah berantakan.
Padahal, sebelum digabung, keduanya memiliki peran dan fungsi yang jauh berbeda meski sama-sama berada di wilayah pengetahuan.
Filosofi penelitian adalah pendampingan untuk membangun kemampuan berpikir (thinking), menelisik (inquiry), dan membangun penjelasan (reasoning). Artinya, urusan riset, ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi lebih dari sekadar urusan anggaran, laboratorium, dan publikasi di jurnal.
Sementara itu, filosofi pendidikan adalah pendampingan untuk pembentukan selera (taste), hasrat (desire), dan kebiasaan (habit) –- lebih dari sekadar urusan kurikulum, buku, dan guru. Itulah mengapa kebijakan kedua urusan ini harus ditangani oleh lembaga khusus dan terpisah.
2. Ada risiko berbahaya jika urusan kebijakan riset nasional dilemparkan pada BRIN yang kini berdiri sendiri.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.