Beda Pendapat Para Menteri Terkait Ancaman Resesi Ekonomi Indonesia

Image title
31 Agustus 2020, 16:01
Ilustrasi. Para menteri sepakat ekonomi sulit bangkit di kuartal ketiga, tapi beda pandangan terkait resesi ekonomi.
123RF.com/alphaspirit
Ilustrasi. Para menteri sepakat ekonomi sulit bangkit di kuartal ketiga, tapi beda pandangan terkait resesi ekonomi.

Para menteri kabinet Presiden Joko Widodo berbeda pandangan tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal ketiga. Sebagian memproyeksikan ekonomi akan minus lagi dan masuk ke jurang resesi. Sebagian lain percaya ekonomi bisa bangkit dan pertumbuhan positif.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia Mahfud MD menilai pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga akan kembali minus. Ia pun menyebut “bulan depan hampir dapat dipastikan 99,9% akan terjadi resesi di Indonesia.”

Advertisement

“Sekarang ini kita akan minus 2,2 sampai 0,5 persen,” kata Mahfud, Sabtu (29/8).

Pendapat Mahfud berdasarkan pada pengamatannya terhadap kondisi ekonomi yang disebutnya “semakin turun” lantaran belum meningkatnya daya beli masyarakat. Tercermin dari tingkat deflasi pada Juli 2020 yang tercatat sebesar 0,10% secara month on month (MOM).

Daya beli masyarakat yang berkelindan dengan tingkat konsumsi rumah tangga memang menjadi faktor utama ekonomi kuartal kedua terkontraksi 5,32%. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menyumbang 57,85% ke Produk Domestik Bruto (PDB) terkontraksi 5,51%.

Meski demikian, Mahfud menilai resesi bukan kondisi berbahaya karena bukan berarti krisis. Ia berpendapat krisis bisa dicegah dengan menormalkan lagi kehidupan ekonomi masyarakat dan memaksimalkan penggunakan bahan dan produk lokal.   

“Pemerintah sudah siap menghadapi resesi dengan mengeluarkan Perpres 82 Tahun 2020 tentang penanggulangan Covid-19 dan PEN,” kata Mahfud di Yogyakarta.  

Proyeksi tersebut mirip dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang tidak menampik pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga sulit bangkit. Ia menyebut pertumbuhan ekonomi kuartal selanjutnya akan minus 2% sampai 0%.

“Untuk bisa masuk ke zona nol persen butuh perjuangan luar biasa berat,” kata Sri Mulyani ketika menyampaikan APBN KiTa secara daring, Selasa (25/8).

Beratnya upaya mengungkit perekonomian Indonesia, kata Sri Mulyani, terlihat dari penerimaan pajak yang masih rendah.  “Ini yang lebih menggambarkan denyut ekonomi kita meski pun beberapa sektor bebas pajak,” katanya.

Sepanjang semester I 2020, realisasi penerimaan pajak Indonesia terkontraksi hingga 12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau year on year. Negara hanya mengantongi Rp 531,7,triliun. Jauh di bawah target awal sebesar Rp 1.198 triliun yang tercatat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 tahun 2020.

Selain itu, kontraksi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% sampai akhir Juli 2020 pun menggambarkan kondisi konsumsi masyarakat masih rapuh. Realisasi PPN masih Rp 219,5 triliun dari target Rp 507,5 triliun atau baru mencapai 43,2%.

Meski demikian, menurut Sri Mulyani, harapan ekonomi tumbuh positif masih ada. Mengingat kontraksi ekonomi kuartal kedua Indonesia masih lebih baik ketimbang negara tetangga. Misalnya, Singapura yang terkontraksi hingga 13%. Lalu, Malaysia dan Thailand yang masing-masing terkontraksi 17% dan 12%.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement