Pemerintah mendapat tuntutan dua sisi terkait pembayaran tunjangan hari raya atau THR untuk perusahaan swasta. Di satu sisi, pengusaha sejak jauh hari menyatakan tak sanggup membayarkan THR akibat omzet yang lesu terpukul pandemi corona. Di sisi lain, buruh dan pekerja tetap menuntut hak tersebut yang telah diatur dalam perundang-undangan.

Keluhan dari pengusaha terkait pembayaran THR disampaikan Direktur Esksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana pada 20 April lalu. Banyak pengusaha yang terancam tak bisa membayar THR tepat waktu sesuai peraturan, yakni paling telat tujuh hari sebelum Idul Fitri.

Hal ini, kata Danang, menimbang tanggungan biaya masih banyak seperti sewa gedung. Tapi dari aspek penghasilan menurun drastis, terutama di sektor yang berkaitan dengan pariwisata seperti hotel dan restoran.

Saat itu Apindo berencana mengirimkan surat ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk meminta kebijakan khusus. Setidaknya pembayaran THR bisa ditunda atau dilakukan secara bertahap. “Terutama untuk perusahaan-perusahaan yang beroperasi dengan jumlah sumber daya manusia banyak dan mengandalkan arus kas,” kata Danang.

(Baca: Industri Terpukul Pandemi, KSPI Tuntut THR Tetap Dibayar Penuh)

Kebijakan pelonggaran THR ini, kata Danang, perlu dilakukan demi menghindari meningkatnya angka PHK. Sampai akhir April lalu, Kementerian Tenaga Kerja mencatat 1,7 juta pekerja dan buruh dipecat dan dirumahkan akibat pandemi corona. Sementara sekitar 1,2 juta pekerja dan buruh terancam PHK dan dirumahkan tengah divalidasi datanya.

Kendati mengeluh banyak perusahaan terbebani THR, Danang menyatakan perusahaan yang memiliki arus kas cukup akan tetap membayar hak buruh itu. Namun ia tak mau membuka berapa jumlah pengusaha di bawah Apindo yang mampu membayar THR.

Di sisi pekerja, tuntutan agar THR dibayarkan penuh dan tepat waktu mulai menggema pada peringatan Hari Buruh 1 Mei. Saat itu serikat-serikat buruh kompak meminta pemerintah memastikan pengusaha tak abai pada kewajibannya, di samping meminta PHK dihentikan dan Omnibus Law dibatalkan.

Salah satu yang menyampaikan tuntutan ini adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Melalui keterangan resminya saat itu, Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan THR penting bagi para buruh untuk menyambung hidup di tengah pandemi corona. Terlebih selama pandemi mereka sangat rentan terjangkiti virus corona, lantaran masih banyak perusahaan yang memaksakan bekerja seperti masa normal dan tak menyediakan perlindungan. “Corona jangan menjadi alasan pengusaha tidak memenuhi hak pekerja,” kata Iqbal.

Jalan Tengah THR ala Pemerintah

Pada 6 Mei, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah akhirnya mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri bernomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Covid-19. Surat ini ditujukan untuk menjembatani kepentingan pengusaha dan buruh terkait pembayaran THR.  

Terdapat empat poin besar di dalamnya. Pertama, memastikan perusahaan membayar THR kepada pekerja atau buruh sesuai ketentuan perundang-undangan. Kedua, bagi perusahaan yang tak mampu membayar THR diminta mencari solusi melalui dialog dengan para pekerja/buruh secara kekeluargaan dan transparan. Transparansi di sini berlandaskan laporan keuangan perusahaan.

Poin kedua memiliki tiga poin (huruf) turunan terkait kesepakatan yang bisa dicapai antara perusahaan dan pekerja/buruh: a) bila perusahaan tak mampu membayar penuh THR pada waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan, dapat dilakukan bertahap; b) bila perusahaan tak mampu bayar sama sekali, maka THR dapat ditunda sampai jangka waktu yang disepakati; c) kesepatakan waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaraan THR.

Poin ketiga, kesepakatan buruh dan pengusaha yang diperoleh dilaporkan kepada Disnaker setempat. Keempat, kesepakatan mengenai waktu dan cara pembayaran tak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar THR dan denda kepada buruh sesuai peraturan perundang-undangan dan dibayarkan pada 2020.

Catatan lain dalam SE ini yaitu pembentukan Posko THR Keagamaan 2020 di tiap provinsi dengan memperhatikan protokol covid-19 dan menyampaikan surat ini kepada pemangku kebijakan di wilayah.

(Baca: Buruh Nilai SE Menaker Bentuk Negara Lepas Tangan Soal THR)

RAKER KOMISI IX DENGAN MENAKER
Menaker Ida Fauziyah dalam rapat dengan DPR. Belakangan ia menerbitkan surat edaran THR .(ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Semakin Memicu Polemik

Alih-alih berhasil menengahi tuntutan pengusaha dan buruh, SE THR justru memicu polemik baru. Kelompok buruh menilai kebijakan tersebut hanya berpihak kepada pengusaha. Mereka khawatir pengusaha bisa menjadikannya alasan untuk mengabaikan hak buruh.

“Dari tahun ke tahun, di masa enggak ada pandemi saja banyak perusahaan enggak bayar THR, apalagi sekarang,” kata Ketua Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah alias Boing kepada Katadata.co.id, Jumat (8/5).

Boing mencontohkan di sektor tranpsortasi dan pelabuhan yang setiap tahun tak pernah membayar THR. Mereka hanya mengenal istilah uang ketupat yang besarnya dipukul rata Rp 300 - 500 ribu per orang.

Tak sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Permenaker Nomor 6 tahun 2016 yang menyatakan besaran THR adalah satu bulan upah bagi buruh dengan masa kerja 12 bulan secara terus-menerus. Sementara bagi yang masa kerjanya di bawah 12 bulan, THR dibayar secara proporsional.

“Setiap tahun kami juga melaporkan perusahaan-perusahaan yang tidak membayar THR ke Kemenaker, tapi tidak pernah diproses,” kata Boing.

Padahal, kata Boing, saat ini banyak perusahaan yang sebenarnya masih mampu membayar THR. Seperti perusahaan manufaktur yang operasinya terus berjalan. Perusahaan semacam ini lah yang dikhawatirkan lari dari kewajiban dengan berlindung di balik umumnya poin-poin dalam SE THR Menaker.

Selain itu, Boing menilai klausul dialog antara pengusaha dan buruh tak bisa menjadi jalan tengah. Sebab, secara relasi, kuasa buruh selalu dalam posisi kalah dari pengusaha. Sangat mudah bagi pengusaha untuk mengancam PHK dan sanksi lain dalam proses tersebut kepada buruh yang tetap memperjuangkan haknya. Terlebih saat ini berlaku sistem outsourcing yang membuat perusahaan lebih leluasa memutus kontrak kerja.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement