Harga Minyak Rendah Menguntungkan Negara Net-importir?

Muchamad Nafi
4 Januari 2016, 16:01
No image
Agung Samosir|KATADATA

KATADATA - Memprediksi harga minyak, sungguh pekerjaan sulit, dan kadang sering membuat malu. Profesor James Hamilton, profesor ekonomi dari Universitas California, sangat produktif menulis tentang harga minyak di berbagai jurnal dunia. Salah satu tulisan yang dimuat di IAEE Energy Forum, Q4 2014 berjudul “The Changing Face of Crude Oil Markets”. Kesimpulan Prof Hamilton sebagai berikut: “My conclusion is that (the oil price) hundred dollars is here to stay”. Pada saat beliau menulis di Jurnal ini, harga minyak masih di kisaran US$ 100 per barel. Kita tahu harga terus turun empat bulan kemudian bahkan mencapai US$ 40-an per barel.

Prof Hamilton, menurut saya, tidak perlu berkecil hati. Para investment banker pun lebih sering meleset ketika memprediksi harga minyak, bahkan dalam jangka sangat pendek sekali pun (per kuartal) dan mereka tidak pernah kapok. The Wall Street Journal mengumpulkan prediksi satu kuartal ke depan dari para investment banker kelas dunia ini. Mereka yaitu Standard Chartered, ING bank, Commerzbank, Deutsche Bank, UBS, Barclays, Societe Generale, Bank of America, Merrill Lynch, dan Morgan Stanley. Pada kuartal kedua 2015, mereka diminta menebak harga minyak di kuartal ketiga 2015. Pada saat itu tren harga minyak recover dari US$ 40 per barel ke sekitar US$ 60. Berapa di kuartal ketiga 2015? Range prediksi antara US$ 50 – 75 per barel. Kita tahu di Q3 harga minyak terjun kembali ke level US$ 40 per barel dan tidak berhasil mencapai US$ 50 per barel. Singkatnya: semua prediksi salah.

OPEC memperkirakan harga minyak ke depan naik US$ 5 per barel, tahun depan (2016) diasumsikan US$ 60 dan di 2020 mencapai US$ 80. Pada dasarnya OPEC tidak menggunakan kata prediksi, lebih senang menyebut angka-angka tersebut sebagai asumsi yang mereka buat dalam publikasi world oil outlook yang baru dikeluarkan minggu lalu (23 Desember 2015).

IMF membuat berita, yang banyak diposting di media sosial, bahwa harga minyak bisa drop US$ 5 – 15 per barel dengan tambahan produksi Iran seiring dicabutnya sangsi embargo terhadap minyak Iran oleh Amerika Serikat dan Eropa. Terhadap hal semacam ini, harus dibedakan antara pernyataan “harga minyak pada 2016 dapat turun sampai menyentuh US$ x per barel” dan “harga minyak rata-rata sepanjang tahun akan berada pada kisaran US$ y per barel”. Kedua pernyataan tersebut, meskipun kesannya bertolak belakang, dapat menjadi sama-sama benar. Harga minyak setiap hari berubah, bisa saja jatuh sangat rendah di bawah US$ 30. Pertanyaannya, berapa lama?

Selalu menarik untuk mengetes berapa floor-price ketika harga minyak terjun bebas pertengahan 2014 sampai awal 2015. Semua analis sibuk berkomentar dan menebak. Hampir semua memprediksi floor-price tidak akan menyentuh US$ 40 per barel. Benar harga minyak sedikit mengalami recovery, tetapi kembali turun hingga di bawah US$ 40 per barel. Sehingga, tebakan selanjutnya apakah floor-price US$ 30 per barel akan tembus, atau lebih ekstrim seperti US$ 5 per barel sebagaimana disebut IMF. (Note: IMF sebenarnya tidak bilang harga minyak akan US$ 5 – 15 per barel tahun depan, tapi akan turun US$ 5 - 15 per barel di 2016 dibanding 2015. Namun media sosial di tanah air kadung menterjemahkan menjadi US 5 - 15 per barel).

Ketika harga minyak cenderung naik, secara psikhologis para penebak harga minyak cenderung menerka ke angka yang lebih tinggi. Tidak heran ketika pertengahan 2008 pada saat harga minyak mencapai US$ 140 per barel, banyak forecasters yang terpancing untuk memasang angka US$ 200 per barel, bahkan lebih ekstrim US$ 400. Kita tahu itu tidak terjadi. Situasi yang sama ketika harga minyak terjun bebas, secara psikologis analis akan memasang tebakan harga ke bawah (floor-price).

Fiscal Breakeven Price, Breakeven Price, Shut in Price

Ada beberapa istilah yang perlu dipahami ketika kita bicara harga minyak. Pertama, yang disebut fiscal break-even price (FBP) yaitu berapa besar harga minyak yang menghasilkan keseimbangan dalam anggaran dan pendapatan belanja negara. Hal ini penting karena FBP negara produsen, khususnya OPEC, bervariasi. Ada negara yang memerlukan FBP sangat besar seperti Iran dan Venezuela (di atas US$ 100 per barel), ada juga negara OPEC yang tidak perlu FBP besar seperti Qatar dan Kuwait (sekitar US$ 50 per barel).

Negara-negara dengan FBP tinggi cenderung lebih menyukai harga minyak yang tinggi. Sementara negara anggota OPEC dari Timur Tengah cenderung lebih konservatif dalam urusan harga minyak, hal ini didukung oleh FBP mereka yang relatif rendah. Kesenjangan FBP ini akan mempengaruhi suasana konferensi OPEC.

Dalam konteks pengaruh harga minyak terhadap pasokan minyak global, istilah yang lebih pas dan lebih sering digunakan adalah breakeven price (BEP) dan shut in price (SIP). BEP adalah minimum harga minyak yang diperlukan oleh investor ketika memutuskan untuk menambah kapasitas atau untuk mengembangkan lapangan baru. Jadi kata kuncinya adalah investasi baru. Pada awalnya, BEP shale-oil di Amerika Serikat antara US$ 60 - 80 per barel. Namun belakangan estimasi tersebut menjadi terlalu besar karena ketika harga minyak turun, biaya barang dan jasa sektor migas juga turun, konsekuensinya BEP akan turun.

Pada saat ini, BEP shale-oil bervariasi dan diperkirakan US$ 30 – 70 per barel, tergantung lokasi dan karakteristik sub-surface-nya. Ketika harga minyak turun di bawah BEP, apakah produksi atau pasokan shale-oil akan turun? Dalam jangka menengah, di atas satu tahun, jawabannya “ya”. Dalam jangka pendek, kurang dari satu tahun, jawabnya “tidak atau belum akan turun”.

Ketika sumur minyak sudah produksi maka parameter yang relevan bukan lagi BEP, tetapi shut-in price, yaitu harga minyak di mana operator atau perusahaan minyak sudah tidak dapat menutup biaya variablenya sehingga memilih untuk menutup sumur tersebut. Besarnya SIP untuk shale-oil berada di bawah US$ 40  per barel. Hal yang lebih menambah komplikasi adalah bahwa shale-oil berbeda dengan minyak konvensional. Respons produksi terhadap perubahan harga, khususnya kenaikan harga minyak, relatif lebih cepat dibanding minyak konvensional.

Faktor yang Mempengaruhi Harga Minyak

Seperti halnya komoditas lainnya, paling tidak ada empat faktor yang mempengaruhi harga minyak, yaitu: pasokan (supply), permintaan (demand), pasar (market), dan persediaan (inventory). Pasokan akan dipengaruhi oleh harga minyak, produksi OPEC dan non OPEC, geopolitik, biaya kegiatan hulu, teknologi dan lain-lain. Permintaan utamanya akan dipengaruhi oleh harga minyak, pertumbuhan ekonomi, transportasi, cuaca, efisiensi, energi alternatif, subsidi, dan lain-lain.

Pasar dalam hal ini adalah pasar minyak yang sesungguhnya (physical market) maupun pasar finansial (paper market). Physical market bisa dalam bentuk barter, spot, dan kontrak dengan harga yang telah ditetapkan untuk penyerahan kemudian (forward) serta term contract (kontrak berjangka) yang merupakan mekanisme transaksi perdagangan paling banyak digunakan, mencapai 90 – 95 persen dari perdagangan minyak global.

Sedangkan paper market, terkait dengan penggunaaan komoditas minyak sebagai instrumen derivatif di pasar finansial. Pada awal 1990-an, kegiatan di pasar minyak derivatif lebih banyak didorong untuk keperluan aktivitas lindung nilai (hedging) oleh institusi yang terlibat langsung dengan perdagangan minyak. Dengan semakin banyaknya jenis produk di pasar keuangan ini, ditambah prospek untuk memperoleh imbal-hasil yang lebih besar, maka terjadi peningkatan transaksi “minyak kertas” ini, bahkan muncul pula investor yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan aktivitas yang berhubungan dengan minyak maupun hedging.

Pada dasarnya yang dimaksud spekulan adalah kelompok investor yang tidak ada hubungannya dengan transaksi minyak yang sesungguhnya, seperti yayasan pensiun, yayasan atau perusahaan lain yang mengelola dana (endowment funds), dan lain-lain. Transaksi oleh mereka ini dicatat sebagai transaksi non-commercial oleh commodity futures trading commission. Transaksi non-commercial ini dijadikan pendekatan untuk melihat aktivitas spekulan. Analis berusaha mencari hubungan antara aktivitas spekulan dengan kecenderungan harga minyak.

Minyak telah menjadi aset finansial yang menarik bagi pelaku pasar finansial. Dengan demikian, perilaku harga minyak tidak hanya dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran secara fisik saja. Apa yang terjadi di sektor keuangan, seperti perubahan suku bunga oleh Federal Reserve, perubahan nilai tukar dan lain-lain, juga akan berpengaruh terhadap harga minyak.

Faktor keempat yang mempengaruhi harga minyak adalah persediaan (inventory). Negara-negara maju yang bergabung dalam IEA dalam rangka mengantisipasi terputusnya pasokan minyak mewajibkan anggotanya untuk menumpuk persediaan. Masing-masing anggota diwajibkan menyimpan persediaan minyak dan produk turunannya, seperti bensin dan diesel setara dengan volume yang diperlukan minimal 90 hari dari net-impor minyak.

Halaman:
Muchamad Nafi
Muchamad Nafi
Redaktur Eksekutif
Reporter: Redaksi

    Catatan Redaksi:
    Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

    Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

    Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

    Ikuti kami

    Artikel Terkait

    Video Pilihan
    Loading...