Kunci Mengatasi Pelemahan Rupiah dan Defisit Neraca Pembayaran
Pergerakan nilai tukar rupiah saat ini dipengaruhi oleh defisit neraca pembayaran. Solusi utamanya: menaikkan ekspor dan menurunkan impor. Langkah ini akan memperbaiki neraca transaksi berjalan. Selain itu, mesti memasukkan modal, baik investasi langsung (FDI) maupun investasi di pasar keuangan.
Menaikkan Ekspor
Seharusnya, kalau rupiah melemah, produk ekspor otomatis menjadi lebih kompetitif. Karena, dalam jangka pendek ongkos produksi tetap sehingga eksportir bisa menjual produk dengan harga lebih murah.
Menaikkan ekspor juga berarti mendorong industri manufaktur untuk berproduksi. Pertumbuhan ekspor kita saat ini meningkat dibandingkan 2015 atau 2016. Namun, ada satu karakteristik khusus di Indonesia. Jika manufaktur berproduksi lebih banyak, biasanya perlu impor bahan baku dan barang modal.
Di sini menjadi mbulet. Ketika rupiah melemah, ongkos bahan baku ikut naik, sehingga belum tentu ekspor barang manufaktur lebih murah. Alhasil, ketergantungan terhadap impor barang modal dan bahan baku ini membuat sektor manufaktur tidak bisa memanfaatkan pelemahan rupiah.
Menaikkan ekspor juga berarti mendorong pemasukan devisa dari pariwisata. Ketika rupiah melemah, seharusnya bepergian ke Indonesia lebih murah. Para pengusaha pariwisata bisa mempromosikannya secara besar-besaran. Di sisi lain, pemerintah membangun infrastruktur dan mendorong destinasi-destinasi baru untuk turis. Ini benar-benar harus dimanfaatkan. Jumlah wisatawan mancanegara harus digenjot. Program 10 New Bali harus jadi.
Kalau Indonesia membangun infrastruktur, itu juga supaya ekspor bisa lebih lancar. Infrastruktur harus cukup -listrik, komunikasi, transportasi, dan lainnya- perizinan lancar, ada kepastian hukum, dan pelayanan pajak dijalankan dengan benar. Begitu pula terkait aturan ketenagakerjaan, tidak ada pungli, dan beragam urusan lainnya.
Selain infrastruktur, iklim investasi harus diperbaiki. Kita tahu Indonesia sudah naik peringkat Ease of Doing Business-nya ke ranking 70-an. Tapi, ini belum cukup. Musti dilanjutkan. Kalau online single submission (OSS) sudah dimulai, tetap harus dicari terus terobosan baru mempercepat layanan perizinan. Semua harus bisa dimanfaatkan oleh para eksportir.
Mengurangi Impor
Bagaimana menurunkan impor? Mesti melihat data, apa impor yang tinggi? Apa yang naik cepat? Lalu, perlu dirumuskan yang bisa dilakukan dalam jangka pendek dan panjang.
Peningkatan impor saat ini terjadi hampir untuk semua barang. Pada Januari-Juli 2018, impor barang modal naik 30,1 persen dibandingkan Januari-Juli tahun lalu. Impor barang konsumsi naik 27 persen, dan impor bahan baku naik 23 persen. Angka ini relatif tinggi. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang nominalnya hanya tumbuh 8,5 - 9 persen.
Apa isi impor barang modal? Ada barang-barang mekanik, mesin peralatan listrik, besi baja, dan lain-lain. Hal ini tidak lepas dari impor mesin-mesin pembangkit untuk mewujudkan pembangunan proyek listrik 35 GW dalam beberapa tahun terakhir. Namun untuk proyek-proyek yang belum dimulai akan dijadwal ulang. Lalu, bagaimana proyek yang sudah berjalan? Berlanjut. Tapi perlu di-review untuk memaksimalkan penggunaan produk-produk domestik, kecuali memang yang harus diimpor.
Harus diakui impor minyak relatif meningkat. Indonesia sudah defisit minyak, impor lebih tinggi dari ekspor. Pada semester pertama 2018, defisit minyak tercatat US$ 8,4miliar. Padahal, tahun sebelumnya “hanya” US$ 12,8miliar, bahkan pada 2016 “hanya” US$ 9,7 miliar. Defisit setahun 2018, kalau dibiarkan tanpa kebijakan, hampir pasti lebih besar dari defisit tahun-tahun lalu. Kebutuhan minyak di dalam negeri memang tinggi. Setiap tahun naik karena pertumbuhan ekonomi. Hal itu wajar. Sebagian kenaikan juga karena konsumsi berlebih yang dipicu oleh harga bahan bakar minyak (BBM) yang dipatok pemerintah lebih rendah dari yang seharusnya.
Karena itu, salah satu upaya menurunkan impor minyak adalah Program B20 untuk biosolar. Artinya, 20 persen dari volume solar bersumber dari minyak kelapa sawit (CPO). Kita adalah produsen utama dunia CPO. Karena sudah efektif mulai 1 September lalu, seharusnya impor solar berkurang sehingga mengurangi tekanan di neraca transaksi berjalan (current account).
Impor apa lagi yang juga tinggi? Ternyata barang konsumsi. Ini juga wajar. Kalau pendapatan naik, biasanya semangat membeli barang konsumsi dari luar negeri juga naik. Seperti halnya dalam menangani impor bahan baku, barang modal, dan minyak tadi, pemerintah memutuskan memberi sinyal kebijakan agar mengurangi impor barang konsumsi, dan mengimbau memakai produksi lokal.
Saat ini kebijakan yg dipakai adalah menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 yang dibayar ketika mengimpor barang. Yang membayar PPh ini importir ketika barangnya masuk daerah pabean. Apakah konsumen akhir akan ikut membayar? Bisa iya, bisa tidak. Si importir bisa menaikkan harga jualnya, tapi bisa juga tidak. Kenapa? Karena sifat dari pembayaran PPh Pasal 22 itu adalah pre-payment atau witholding. Artinya, pembayaran pajak tersebut bisa diklaim (dikreditkan) sebagai bagian dari PPh keseluruhan tahun pajak yang bersangkutan. Jadi, pembayaran PPh ketika impor itu tidak hilang. Kalau ada ada utang PPh di akhir tahun pajak, bisa dihitung sebagai pembayaran PPh juga.
Mungkin ada ada yang bertanya, apakah efektif menurunkan impor? Lagi-lagi jawabannya adalah kebijakan ini bukan melarang orang mengimpor. Tapi ingin memberi sinyal dengan cara menaikkan biaya impor yang sifatnya temporary.
Di sini, barang-barang yang terkena kenaikan tarif PPh Pasal 22 ini seperti kategori barang konsumsi sejumlah 1.147 item komoditas. Sebagian adalah kendaraan mobil dan motor mewah. Tarif PPh Pasal 22-nya menjadi 10 persen. Kategori lain ialah barang konsumsi yang sudah ada produksi domestiknya. Ini terkena tarif 10 persen. Kemudian ada sejumlah barang konsumsi yang penggunaannya bermacam-macam, bahkan kadang dipakai di kegiatan produksi seperti barang elektronik naik ke 7,5 persen.
Kebijakan-kebijakan menurunkan impor di atas relatif langkah jangka pendek. Menurunkan impor tidak bisa hanya begitu. Harus ada yang lebih mendasar, yaitu terkait ketergantungan Indonesia kepada barang modal dan bahan baku impor. Di sini, kuncinya adalah membangun industri hulu. Untuk itu perlu membangun infrastruktur, memperbaiki iklim usaha, perizinan, dan lain-lain.
Khusus di bidang pajak, pemerintah memberi insentif fiskal. Saat ini ada fasilitas bebas pajak penghasilan untuk penanaman modal baru di 17 industri hulu (fasilitas tax holiday). Investasi minimal Rp 500miliar akan mendapat bebas PPh 5-20 tahun. Apakah ini mengurangi penerimaan pajak? Tidak. Toh investasi-investasi ini sekarang juga belum ada. Misalnya industri hulu termasuk kilang minyak, petrokimia, farmasi, besi dan baja, turbin pembangkit listrik, komponen mobil, komponen komputer, dan berbagai indutri komponen lainnya. Kalau barang-barang ini tersedia di Indonesia, kita harapkan industri downstream akan mendapat manfaat, tidak usah impor bahan baku. Ujungnya, struktur ekonomi lebih baik dan masyarakat makin sejahtera.
Kalau direnungkan lebih dalam, masih panjang sekali jalan untuk memperbaiki neraca eksternal. Perlu kombinasi kebijakan yang baik supaya neraca pembayaran lebih ajeg dan tidak selalu mendapat tekanan. Kebetulan, situasi global sedang gonjang-ganjing (volatil). Saat ini pula tekanan eksternal lebih terasa di perekonomian sehingga perlu meresponsnya bersama-sama. Negeri ini, kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.