Menuju Penemuan Ladang Migas Raksasa
Delapan tahun yang lalu, ketika BP Migas masih mengendalikan dan mengawasi kegiatan hulu minyak dan gas (migas), pencarian cadangan migas sudah ke Indonesia bagian Timur, yaitu daerah Maluku dan Papua. Alasannya, kegiatan eksplorasi migas di Indonesia bagian barat sudah semakin ‘seret’ dan minim dengan temuan cadangan migas. Hampir seluruh daerah potensial telah tereksplorasi dan bilapun ada temuan migas, biasanya relatif kecil.
Pandangan tersebut sejalan dengan survei Badan Geologi Kementerian ESDM. Survei umum geologi migas di 30 cekungan periode tahun 2010-2018, menghasilkan rekomendasi eksplorasi di lima (5) wilayah di Kawasan Timur Indonesia. Lima kawasan tersebut memiliki potensi lapangan migas besar (giant field) yaitu Blok Selaru (Cekungan Aru-Tanimbar), Blok Arafura Selatan (Cekungan Arafura), Blok Boka (Cekungan Akimeugah), Blok Atsy, (Cekungan Sahul) dan Blok Agats Barat (Cekungan Sahul).
(Baca juga: Jatuh Bangun Kontraktor Menemukan Cadangan Migas Raksasa di Indonesia)
Rekomendasi ini semakin diperkuat dengan temuan-temuan lain. Kementerian ESDM dalam siaran pers tanggal 13 September 2018, menyebutkan di Blok Selaru teridentifikasi dua lead pada Mesozoic deltaic play dengan sumberdaya potensi gas kurang lebih sebesar 4.8 Trillion Cubic Feet (TCF) dan minyak bumi 4.060 MMBO.
Sementara , berdasarkan hasil akuisisi seismik 2D yang dilakukan Badan Geologi pada tahun 2017 sepanjang 1600 km di blok Arafura Selatan, teridentifikasi dua lead. Pertama pada Aptian Prograding shoreface play (terbukti terjadi penemuan di Papua New Guinea). Kedua, pada Permian fluvio-deltaic lacustrine pinchout (terbukti terjadi penemuan di Australia bagian utara). Potensi gas bumi sekitar 7.36 TCF dan minyak bumi sekitar 6144.54 MMBO.
Blok Boka dan Blok Atsy teridentifikasi 4 lead di Jurassic sand play dengan potensi gas bumi sebesar 1.1 TCF dan minyak bumi diperkirakan sebesar 930 MMBO. Sedangkan Blok Atsy teridentifikasi 11 lead pada Paleozoic Rift Graben play dengan target reservoir batu gamping Formasi Modio dan batu pasir Formasi Tuaba. Diperkirakan total potensi yang terkandung di dalamnya, gas bumi sebesar 0.9 TCF dan minyak bumi 750 MMBO.
(Baca: Investasi Hulu Migas Bertambah Lebih Rp 4,3 Triliun dari 6 Proyek Baru)
Selanjutnya, berdasarkan survei seismik 2D di tahun 2015 yang mengambil target reservoir batu pasir Neoproterozoic-Cambrian yang seumur dengan formasi Bitter Springs terbukti terjadi temuan reservoir produktif pada Cekungan Amadeus di onshore Australia, teridentifikasi 8 lead pada Neoproterozoic sand play, dengan potensi gas bumi sebesar 0.7 TCF dan untuk skenario minyak bumi sebesar 575 MMBO.
Empat faktor utama dari investor
Semacam iming-iming ‘kue enak’, informasi potensi migas yang disampaikan Badan Geologi semestinya cukup membuat para investor migas ‘kemecer’ menelan ludah. Namun kenapa investor belum juga berpaling ke sana?
Paling tidak ada empat faktor utama yang selayaknya diperhatikan. Pertama, informasi tersebut memang modal penting bagi investor. Namun survei umum hanya menghasilkan indikasi dan potensi. Investor harus mengubah potensi tersebut menjadi realisasi cadangan migas.
Hal itu memerlukan melakukan survei lanjutan, untuk memastikan dan membuktikan keberadaan migas. Untuk itu investor harus menyiapkan modal yang cukup besar untuk kegiatan studi lanjutan, mungkin sampai dengan 3D seismic dan pengeboran sumur eksplorasi.
(Baca juga: Walau Tak Capai Target, Investasi Migas 2018 Meningkat 11,8%)
Kedua, Indonesia wajib menciptakan iklim investasi untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi migas. Fraser Institute dalam Global Petroleum Survei 2017 memasukan Indonesia sebagai 10 negara dengan iklim investasi hulu migas terburuk bersama dengan Venezuela, Bolivia, Ekuador, California, Kamboja, Perancis dan Yaman. Indonesia berada di posisi ke 92 dari 97 Negara.
Salah satu ciri dan ukuran untuk menilai iklim investasi yang baik adalah kenyamanan berinvestasi. Wujudnya adalah kemudahan dalam berinvestasi, perizinan yang tidak berbelit, kepastian hukum, keamanan dan minimal gejolak sosial. Iklim investasi bisnis hulu migas memang meliputi banyak aspek, sehingga tak bisa diserahkan tanggung jawabnya hanya kepada satu kementerian. Hal ini memerlukan kerja sama tim.
Tim yang dimaksud tidak hanya dari dalam kementerian teknis, yaitu Kementerian ESDM, namun beranggotakan kementerian lain. Kementerian yang wajib terlibat, misalnya: Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perindustrian, Badan Pertanahan dan institusi lainnya yang terkait.
(Baca juga: Investor Migas Minta Calon Presiden Bisa Perbaiki Iklim Investasi)
Bak ‘choir’, setiap kementerian mungkin memiliki suara yang berbeda-beda namun diharapkan dengan kolaborasi dan komunikasi akan menghasilkan suara merdu dan harmonis ‘iklim investasi’. Harmonisasi ‘choir’ akan sangat ditentukan peran konduktor atau dirigen. Sehingga penting menentukan ‘pengarah’ suara, misalnya Kementerian ESDM dapat ditunjuk dan bertindak sebagai konduktor.
Ketiga, masalah persaingan antarnegara, yang berkaitan dengan iklim investasi. Investor memiliki kebebasan untuk ‘meletakan’ uangnya di mana saja bergantung preferensi mereka. Keputusan investasi tak hanya tergantung jumlah potensi migas di suatu negara, namun ‘proteksi’ terhadap uang yang akan ditanamkannya. Proteksi ini berbentuk kepastian hukum dan aturan.
Selain itu keberpihakan terhadap perpajakan di industri hulu migas merupakan hal yang penting bagi investor. Dahulu bisnis hulu migas di Indonesia pernah mengalami kejayaannya dengan perlakukan pajak khusus yang tidak mengacu pada aturan umum. Sejak sistem perpajakan khusus sudah tak berlaku, investor memilih memindahkan investasinya dari Indonesia ke negara lain.
Keempat, masalah sosial dan politik, khususnya di Maluku dan Papua. Indonesia bagian timur, terutama Papua, membutuhkan sentuhan yang khusus. Papua memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan daerah lain. Selain itu juga Papua memiliki adat istiadat yang sedemikian kental, yang diakui dengan Undang-undang Otonomi Khusus, meski implementasinya di lapangan tidak semudah yang dibayangkan.
Pendekatan personal dan intensif lebih diperlukan dari pada pendekatan politis formal. Arahnya adalah menciptakan hubungan persaudaraan dan menjadikan OAP (orang asli papua) sebagai subjek dengan mengikutsertakan mereka dalam pembangunan.
Kegiatan sosialisasi menjelang eksplorasi tidaklah cukup. Apalagi cita-cita penemuan giant field yang membutuhkan kegiatan eksplorasi yang ‘masif’. Sejak sebelum rencana eksplorasi, pemerintah pusat dengan berbagai kementerian perlu menciptakan suasana ‘menerima’ perubahan di komunitas adat OAP.
Persiapan meliputi faktor politik dan sosial, sampai dengan psikis supaya secara mentalitas OAP dan pemda setempat welcome terhadap kegiatan hulu migas dan dampak perubahannya.
Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten wajib berkoordinasi dalam menangani masyarakat Papua. Bukan sebaliknya, menuntut perusahaan untuk menuntaskan masalah tersebut. Penanganan masalah ini merupakan ranah kewajiban pemerintah, seperti halnya dalam menangani masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan.
Akan sangat berat bagi perusahaan apabila dalam berbisnis diwajibkan pula menanggung beban mengatasi masalah sosial tersebut. Perusahaan memang memiliki kewajiban berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat di sekitar lapangan. Namun membebankan keseluruhan kepada perusahaan jelas tidak adil dan dapat berdampak pada keengganan berinvestasi di daerah tersebut.
Pemda penghasil migas seperti Sorong, Raja Ampat dan Bintuni hendaknya memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk menangani masalah sosial. Oleh karena itu peraturan daerah khusus DBH Migas untuk Papua sangat dibutuhkan.
Kesimpulan
Krisis hulu migas sudah terjadi. Penurunan produksi migas setiap tahun akan terus berlangsung. Tidak ada acara lain selain mengupayakan penemuan cadangan migas berupa penemuan giant fields. Apalagi impor minyak akan terus membumbung seiring dengan penurunan produksi dalam negeri dan kenaikan konsumsi masyarakat.
Indonesia bagian Timur adalah masa depan hulu migas di Indonesia. Studi Badan Geologi mengarahkan giant field akan terjadi di Papua dan Maluku. Oleh karena itu diperlukan kampaye besar-besaran untuk ekplorasi migas dan penawaran Wilayah Kerja di daerah Papua dan Maluku.
Untuk itu dibutuhkan kerjasama semua pihak untuk mendukung ekplorasi migas, dan menciptakan iklim investasi migas. Penyederhaan peraturan dan sinkronisasi peraturan di tingkat kementerian, pemerintah pusat dan daerah merupakan kebutuhan untuk menciptakan kepastian hukum demi perbaikan iklim investasi.
Seiring proses perbaikan iklim investasi berjalan, sedini mungkin perlu mempersiapkan orang asli daerah terutama di Papua. Penduduk asli diharapkan dapat menerima perubahan sekaligus dapat bersaing dengan para pendatang. Memproteksi mereka supaya tidak ‘kalah’ bersaing itu penting, tetapi memberdayakan mereka untuk menjadi lebih hebat, itu jauh lebih penting.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.