Mengkritisi RUPTL 2019-2028 terhadap Perkembangan Energi Terbarukan

Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA
Oleh Elrika Hamdi
17 Maret 2019, 11:55
Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA

Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028 telah disahkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 20 Februari lalu. Dokumen yang disusun BUMN setrum PT PLN Persero ini dianggap oleh pengambil kebijakan, pelaku industri dan masyarakat umum sebagai acuan pengembangan sektor ketenagalistrikan di Indonesia.

Menteri ESDM Ignasius Jonan mengumumkan bahwa RUPTL kali ini merupakan RUPTL yang memihak pada energi terbarukan. Namun suatu dokumen teknis setebal 600 halaman ini sarat akan informasi yang dapat menghasilkan penafsiran yang beragam. Terkait hal tersebut, setidaknya ada empat poin dalam RUPTL 2019-2028 yang perlu mendapatkan sorotan:

Pertama, RUPTL menyebutkan bahwa asumsi tingkat pertumbuhan permintaan listrik telah disesuaikan dari 6.8% menjadi 6.4%. Kendati demikian angka tersebut masih bersifat ambisius.

(Baca: RUPTL 2019-2028: Porsi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Batal Dikurangi)

Asumsi tingkat pertumbuhan permintaan listrik yang digunakan di RUPTL ini masih lebih tinggi dari angka realisasi pertumbuhan permintaan listrik di 2018 yang hanya mencapai 5,1%. Bahkan sebenarnya angka rata-rata pertumbuhan listrik dalam lima tahun terakhir hanya mencapai 4,6%.

Kondisi itu menjadi pertanyaan, mengapa asumsi yang sangat ambisius ini secara konsisten dipertahankan oleh PLN? Padahal telah banyak peringatan dan analisis dari para pakar yang menyebutkan ambisi tersebut bisa memperburuk kondisi keuangan PLN.

Ketimpangan yang terlalu jauh antara proyeksi dengan realitas pertumbuhan permintaan listrik dapat berujung pada kondisi oversupply listrik, di mana kapasitas yang mengganggur (tapi tetap harus dibayar) hanya akan menjadi beban bagi PLN dan keuangan negara. Kondisi ini terjadi pada sistem Pembangkit Jawa-Bali yang akhirnya mengakibatkan oversupply listrik.

Kedua, tidak terlihat adanya perubahan signifikan khususnya terkait sumber energi pembangkit. Bauran energi kita masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap batubara (PLTU) yang akan terus dibangun dalam 10 tahun ke depan. Penambahan PLTU batubara termasuk PLTU mulut tambang sampai dengan 2028 berjumlah sebanyak 27 gigawatt atau hampir setengah dari semua rencana penambahan kapasitas pembangkit untuk sepuluh tahun ke depan.

Hal ini dapat menimbulkan banyak permasalahan. Skema Take or Pay dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) yang berlaku pada pembangkit PLTU batubara ini menyebabkan PLN “terkunci” pada posisi harus mendahulukan pengambilan listrik dari pembangkit tersebut.

Hal ini menyebabkan sistem ketenagalistrikan menjadi tidak fleksibel, tidak menyisakan ruang bagi opsi sumber ketenagalistrikan yang lebih ekonomis.

Padahal biaya energi terbarukan dari tenaga matahari dan angin saat ini sudah jatuh bebas di seluruh dunia. Bila perencanaan RUPTL ini dilanjutkan, maka sistem ketenagalistrikan Indonesia akan terlanjur “terkunci” pada PLTU batubara yang umumnya berumur 30 tahun, sementara harga bahan bakarnya akan terus naik.

PLTU batubara terakhir dalam RUPTL diperkirakan akan pensiun tahun 2060, di saat Indonesia akan kehabisan batubara dan kemungkinan besar harus menjadi pengimpor batubara untuk mendukung sistem ketenagalistrikannya.

(Baca: Pariwisata Menggeliat, Kebutuhan Listrik di NTB Diproyeksi Naik 9%)

Ketiga, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengumumkan bahwa RUPTL kali ini merupakan RUPTL yang memihak pada energi terbarukan. Hal ini ditandai dengan bertambahnya porsi energi terbarukan sebanyak 1.800 Megawatt (MW).

Pembangkit energi terbarukan sendiri masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) skala besar. Kendati demikian, yang patut diapresiasi adalah adanya lonjakan alokasi yang cukup tajam untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) dari 811 MW menjadi 1.534 MW.

Namun sayangnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang teknologinya semakin murah dan kompetitif serta menjadi andalan utama sumber energi terbarukan di banyak negara lain, malah seperti dipandang sebelah mata. Hanya sekitar 908 MW yang dialokasikan untuk PLTS (diluar pembangkit listrik tenaga surya atap) untuk 10 tahun mendatang, atau turun 13% dari alokasi tahun lalu.

Bandingkan dengan rencana Vietnam untuk membangun 3.000 MW PLTS hingga tahun 2020. Sepertinya ambisi Indonesia untuk membangun pembangkit tenaga surya ini ketinggalan jauh dari negara-negara tetangga.

(Baca: RUPTL 2019-2028: Kontribusi Gas Bumi untuk Pembangkit Berkurang

Keempat, dengan berkurangnya alokasi investasi untuk sistem jaringan transmisi dan distribusi (T&D), sulit rasanya menemukan korelasi antara perencanaan jaringan T&D PLN dengan rencana pembangunan pembangkit energi terbarukan. Karena, energi terbarukan memerlukan sistem T&D yang kuat dan fleksibel agar dapat diserap secara baik.

Untuk mencapai tingkat fleksibilitas tersebut, infrastruktur sistem jaringan dan cara mengatur jaringan (grid management) perlu diperbaharui. Hal ini tidak tercerminkan di dalam dokumen RUPTL yang baru.

Terakhir, Menteri ESDM mengumumkan suatu terobosan kebijakan dengan diperbolehkannya proyek energi terbarukan berkapasitas di bawah 10 MW untuk diusulkan kepada PLN tanpa harus masuk ke dalam RUPTL terlebih dahulu. Hal ini sebenarnya dapat melemahkan tata kelola perencanaan dan pengembangan energi terbarukan.

Perlu diingat bahwa RUPTL adalah dokumen teknis yang harus memiliki sifat terukur karena merefleksikan target pemerintah. Pentingnya perencanaan proyek energi terbarukan agar terukur dalam RUPTL adalah untuk mengantisipasi adanya perbedaan signifikan antara permintaan listrik dengan kesediaan jaringan listrik.

Narasi yang diberikan oleh Menteri ESDM untuk mendukung pembangkit energi terbarukan tentu sangat dihargai oleh banyak kalangan. Namun, narasi tersebut tidak sepenuhnya tercermin dalam angka-angka yang tertera di dokumen RUPTL 2019-2028 ini. Sepertinya para penggiat energi terbarukan masih harus menunggu revisi di tahun depan untuk dapat melihat apakah Indonesia mampu mengejar ketertinggalannya di bidang energi terbarukan.

Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA
Elrika Hamdi
Analis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEFA)
Editor: Yuliawati

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...