Dilema Kebijakan Kartu Prakerja
Sejak pintu pendaftaran dibuka, 11 April lalu, kartu prakerja tak pernah sepi dari kontroversi. Kritik langsung menghambur, ketika proses pendaftaran tak mulus akibat peserta yang membludak.
Dalam waktu kurang dari 20 jam, sebanyak 1,2 juta orang mendaftar. Padahal, target sampai akhir tahun hanya dipatok 5,6 juta peserta. Jumlahnya kini bahkan telah membengkak, menjadi sekitar 9 juta pendaftar!
Kontroversi kian riuh dan kusut ketika merembet ke berbagai isu lainnya. Salah satunya soal manfaat program kartu prakerja. Formulanya dianggap tidak cocok untuk diterapkan di masa pandemi corona.
Ketika banyak karyawan terkena PHK, kok malah diberi pelatihan. Yang lebih dibutuhkan adalah dana tunai untuk penopang hidup. Kira-kira begitu kritiknya. Program ini pun dinilai hanya menguntungkan delapan perusahaan platform digital, mitra pemerintah dalam pengadaan training online.
(Baca: Pengusaha Pilih Karyawan Berpengalaman Dibanding Alumni Kartu Prakerja)
Perlu diingat, kartu prakerja bukanlah ide baru. Program ini merupakan janji Jokowi dalam kampanye Presiden pada Maret 2019 lalu.
Ide awalnya adalah untuk memberikan pelatihan tenaga kerja agar lebih sesuai dengan kebutuhan industri. Yang disasar adalah para tenaga kerja muda yang belum mendapat pekerjaan, termasuk yang terkena PHK. Pelatihan didesain dalam bentuk online dan offline.
Ketika ide ini dilontarkan, serangan langsung menghambur. “Pengangguran kok digaji,” kata lawan-lawan politik Jokowi saat kampanye. Yang dimaksud pastinya adalah komponen insentif. Sebab, setiap pemegang kartu prakerja rencananya akan mendapat biaya pelatihan online Rp 1 juta, pelatihan offline Rp 4 juta, plus insentif Rp 550 ribu.
Kini, setahun kemudian ketika wabah Covid-19 datang, arah angin berubah. Program kartu prakerja justru dikritik, karena insentif yang dibagi ‘hanya’ Rp 2,4 juta—meski sudah empat kali lebih besar dari rencana awal. Sebab, di luar itu, masih ada alokasi dana Rp 1 juta untuk pelatihan online, sedangkan pelatihan offline ditiadakan.
Menurut para pengritik, pelatihan bukan solusi yang tepat di masa susah seperti sekarang ini. Karena itu, pemerintah diminta membagikan seluruh dana kartu prakerja secara tunai kepada para korban PHK dan pengangguran. Pertanyaannya, seberapa mungkin hal itu dilakukan?
(Baca: Buruh Minta Anggaran Pelatihan Kartu Prakerja untuk Bantuan Langsung)
Skema hybrid
Sebelum menjawabnya, saya membayangkan pemerintah semestinya juga telah mengkalkulasi tiga skenario dalam menentukan nasib kartu prakerja, ketika dihadapkan dengan situasi pandemi.
Opsi pertama, program kartu prakerja dijalankan as is, sesuai rencana awal. Kita tentu sepakat, opsi ini tidak mungkin direalisasikan, berhubung pelatihan offline di masa pandemi musykil dilakukan.
Pilihan kedua, tunda atau batalkan saja program kartu prakerja. Jika ini dilakukan, mungkin keributan yang sekarang terjadi, tidak akan ada. Tapi, problem lain muncul. Insentif dana tunai yang kini akan disalurkan via kartu prakerja tidak lagi tersedia. Padahal, dana ini amat dibutuhkan oleh mereka yang terkena PHK.
Perlu diketahui bahwa mereka yang menjadi target kartu prakerja ini, tidak termasuk dalam skema bantuan sosial (bansos) untuk kelompok 40% keluarga termiskin.
Kelompok termiskin ini hanya mencakup 20 juta keluarga penerima bansos melalui program Kartu Sembako (Rp 43,6 triliun) dan Program Keluarga Harapan (Rp 37,4 triliun). Selain itu, akan ada tambahan sekitar 9 juta keluarga untuk menerima dana Bantuan Langsung Tunai (Rp 16,2 triliun) sebesar Rp 600 ribu per bulan selama tiga bulan.
(Baca: Jokowi Minta Korban PHK Diprioritaskan Menerima Kartu Prakerja)
Dengan kondisi itu, maka tampaknya pilihan ketiga yang harus diambil, yaitu skema hybrid sebagai jalan tengah. Dalam skema baru kartu prakerja ini, masih terdapat pelatihan, namun hanya training online senilai Rp 1 juta, plus pembagian Rp 150 ribu untuk tiga kali survei.
Alokasi dana terbesar kartu prakerja diubah menjadi insentif, yakni Rp 2,4 juta (Rp 600 ribu selama empat bulan) sebagai bagian dari jaring pengaman sosial. Ini yang membedakannya dari opsi pertama dan kedua.
Jumlah penerima kartu prakerja pun ditambah. Dari semula 2 juta orang, menjadi 5,6 juta orang pada tahun ini. Sehingga, bujet kartu prakerja membengkak. Dari semula hanya dipatok Rp 10 triliun, kini naik dua kali lipat menjadi Rp 20 triliun.
Dipilihnya opsi ketiga atau skema hybrid ini, tampaknya didasari oleh unsur keterdesakan, sehubungan dengan kian membesarnya gelombang PHK di masa pandemi. Akibatnya, kartu prakerja yang semula didesain untuk pelatihan tenaga kerja, tiba-tiba harus menanggung beban bansos.
Keterdesakan ini pun membuat kelahiran kartu prakerja ibarat bayi prematur. Program ini telah diluncurkan secara resmi oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada 20 Maret 2020. Padahal, Tim Manajemen Pelaksana kartu prakerja baru dibentuk tiga hari sebelumnya, yakni pada 17 Maret 2020.
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 yang menjadi payung regulasinya pun baru diterbitkan pada 26 Februari 2020. Ketergesaan ini dilakukan, tampaknya menyusul pengumuman pemerintah tentang pasien pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020.
Bagi tim Manajemen Pelaksana yang dipimpin Denni Purbasari, ini jelas bukan pekerjaan mudah. Sebab, pendaftaran tahap pertama ditargetkan sudah dimulai pada April. Apalagi, desain kartu prakerja tiba-tiba diubah menjadi bagian dari jaring pengaman sosial.
(Baca: Payung Hukum Belum Disahkan DPR, Kartu Prakerja Rawan Bermasalah)
Pertanyaannya kemudian, jika begitu mengapa program kartu prakerja harus dipaksakan lahir? Jawabannya jelas, yaitu untuk menjadi instrumen penyaluran dana bansos kepada para pekerja yang terdampak Covid-19. Sebab, mereka belum memiliki ‘bantalan’ bansos, seperti kelompok 40% keluarga termiskin.
Ini berarti, dengan target 5,6 juta peserta kartu prakerja di tahun ini, akan ada tambahan 15% keluarga penerima bansos. Berhubung setiap peserta mendapat insentif Rp 2,4 juta, maka dana bansos tunai yang akan dikucurkan via program ini mencapai Rp 13,4 triliun.
Selanjutnya: Beban Berlebih
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.