APBN Akan Jebol Bila Harga BBM Tak Dinaikkan

Shabrina Paramacitra
2 September 2022, 18:35
Harga BBM bersubsidi belum juga naik meski wacananya telah menggema sejak beberapa waktu lalu. Namun, penyesuaian harga tetap perlu dilakukan. Apa alasannya?
ANTARA FOTO/Didik Suhartono/aww.
Pengendara motor antre membeli Pertalite di SPBU di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (31/8/2022). Antrean itu terjadi lantaran adanya rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Jika harga Pertalite dan solar tak dinaikkan, anggaran negara berpotensi tak cukup membiayai subsidi energi.

Antrean panjang motor dan mobil mengular di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Rabu malam (31/8). Mendekati tengah malam, pengendara kendaraan bermotor yang mengantre di pom-pom bensin justru semakin bertambah.

Deretan panjang kendaraan tersebut dipicu oleh kabar bahwa pemerintah akan segera menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai Kamis (1/9). Namun, hingga tengah malam berlalu kenaikan harga BBM belum diumumkan pemerintah. 

Dikutip dari situs resmi PT Pertamina, perubahan harga hanya terjadi pada BBM nonsubsidi. Harga Pertamax Turbo misalnya, turun dari Rp17.900 per liter menjadi Rp15.900 per liter.

Kemudian Pertamina Dex, dari Rp18.900 per liter, menjadi Rp17.400 per liter. Sementara Dexlite, menyusut dari Rp17.800 per liter menjadi Rp17.100 per liter. Sementara, harga Pertamax tetap Rp12.500 per liter.

Sementara, bensin bersubsidi seperti Pertalite harganya juga belum berubah, yakni Rp 7.650 per liter, dan solar Rp 5.550 per liter. Harga-harga BBM bersubsidi ini masih menggunakan harga eceran yang diatur pemerintah, sehingga belum mengikuti mekanisme harga pasar.

Dalam beberapa bulan terakhir harga minyak dunia terus melonjak. Kondisi ini mendorong selisih harga minyak dunia dengan harga jual BBM bersubsidi di Indonesia semakin besar.

Akibat lonjakan harga minyak dunia, harga eceran BBM di dalam negeri semakin jauh di bawah harga keekonomian. Untuk solar, harga keekonomiannya −harga riil− yang seharusnya dijual di pasaran adalah Rp13.950 per liter.

Namun, karena disubsidi pemerintah harga jual eceran solar saat ini masih Rp5.150 per liter sehingga selisih harganya mencapai Rp8.800 per liter. Artinya 63,1% harga solar disubsidi pemerintah.

Begitu pula Pertalite. Harga keekonomian bensin ini seharusnya Rp14.450 per liter, tapi harga eceran masih Rp7.650 per liter karena Pertalite disubsidi pemerintah. Selisih harga keekonomian dengan harga eceran mencapai Rp6.800 per liter atau subsidi pemerintah mencapai 47,1%.

Untuk Pertamax, harga riil seharusnya Rp17.300 per liter, tapi harga jual eceran Rp12.500 per liter. Selisih harga Rp4.800 atau 27,7% ditanggung PT Pertamina.

Semakin besar selisih antara harga pasar riil dan harga eceran BBM bersubsidi tentunya membebani anggaran negara. Jika tidak diatasi, maka Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan jebol.  Sampai saat ini, pemerintah menganggarkan subsidi energi Rp502,4 triliun. Jika tidak menaikkan harga BBM –dengan cara mengurangi subsidinya– maka subsidi energi bisa membengkak hampir Rp200 triliun.

Sejumlah menteri di Pemerintahan Presiden Joko Widodo pun telah mengisyaratkan bahwa pemerintah akan segera menaikkan harga BBM dengan cara mengurangi subsidi pada BBM.

Subsidi BBM dinilai tak tepat. Dalam situs pribadinya, ekonom Faisal Basri mengungkap bahwa subsidi energi, termasuk subsidi BBM, menimbulkan biaya ekonomi, fiskal, sosial, dan lingkungan yang signifikan. Hal itu, kata dia, justru bertentangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Konsekuensi dari kebijakan baru tersebut, pemerintah harus menalangi kekurangan apabila harga jual eceran ditetapkan lebih rendah dari harga yang dihitung berdasarkan formula,” kata Faisal, dikutip dari tulisannya berjudul Kebijakan Subsidi BBM: Menegakkan Disiplin Anggaran.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...