Beratnya Tekanan Impor BBM terhadap Nilai Tukar Rupiah
Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akhirnya naik pada Sabtu (3/9). Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10 ribu per liternya, Biosolar pun naik dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter, sementara Pertamax kini dihargai Rp 14.500 dari sebelumnya Rp 12.500 per liter.
Bantuan sosial senilai Rp 24,17 triliun pun mulai disalurkan kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat.
Indonesia, sebagai negara importir minyak dan gas (migas), kenaikan harga BBM bisa berdampak terhadap nilai tukar rupiah. Pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tergolong sensitif terhadap kenaikan harga BBM.
Pada perdagangan Senin (5/9), nilai mata uang Garuda terhadap dolar AS di pasar spot ditutup melemah 11,05 poin atau 0,08 persen, ke level Rp 14.907/US$. Rupiah bergerak pada rentang Rp 14.889-14.935 per dolar AS.
Senada, pada kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah juga melemah ke level Rp 14.920/US$. Melemah dari posisi Jumat (2/9) sebesar Rp 14.900/US$.
Data menunjukkan, peristiwa penaikan harga BBM biasanya berpengaruh terhadap tekanan kurs. Sebelum kenaikan BBM yang terjadi pada September 2022, kenaikan BBM terakhir kali dialami Indonesia pada 17 November 2014.
Kala itu, pasca harga BBM dinaikkan, rupiah sempat tertekan. Dari Rp 12.260/US$ pada 17 November 2014, menjadi Rp 12.766/US$ pada 16 Desember 2014, hanya dalam waktu satu bulan.
Rupiah bahkan sempat menyentuh titik terendahnya ke level Rp 12.952/US$ pada 15 Desember 2014, di pasar spot. Nyaris menembus level psikologis Rp 13.000/US$.
Pada 21 Juni 2013, saat pemerintah menaikkan harga BBM, rupiah yang berada di kisaran Rp 9.922/US$ terus melorot hingga ke kisaran level Rp 10.000/US$. Hal itu terjadi hanya dalam beberapa pekan, bahkan sebelum genap satu bulan pasca penetapan harga baru BBM.
Selain faktor BBM, faktor lain yang membuat dolar AS menguat kala itu adalah tapering oleh The Fed.
Faktor Geopolitik dan Eksptektasi Inflasi
Di sisi lain, impor migas terus melonjak. Pada semester I-2022 nilai impor migas mencapai US$ 19,46 miliar. Nilai tersebut melonjak 68,98% dibanding semester I-2021.
Melonjaknya nilai impor migas ini tidak terlepas dari naiknya harga minyak mentah dunia sebesar 44,74% sejak awal tahun, ke level US$ 114,81 per barel per akhir Juni 2022.Besaran nilai impor ini dipengaruhi berbagai faktor. Selain karena konsumsi BBM dalam negeri yang terus meningkat, nilai tukar the Greenback pun terus menguat akibat kenaikan suku bunga The Fed.
Di samping itu, ada pula faktor invasi Rusia ke Ukraina. Serangan di Eropa ini bahkan membuat banyak negara mengalihkan pembelian minyak ke Rusia.
Di Asia Tenggara, sejauh ini baru Malaysia yang membeli minyak dari negara yang dipimpin Vladimir Putin itu. Sementara negara-negara North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan sekutunya telah lebih dulu bersikeras membeli minyak dari Rusia, meski sudah ada embargo impor oleh Europian Union (EU).
Di tengah kondisi tersebut, neraca perdagangan migas Indonesia mengalami defisit US$ 11,7 miliar pada semester I-2022. Neraca perdagangan migas selalu mengalami defisit sejak Maret 2015.
Defisit tersebut mencapai level terdalamnya pada April 2022, yakni mencapai US$ 2,38 miliar.Secara umum, neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 24,89 miliar pada paruh pertama tahun ini. Jika neraca perdagangan migas mengalami defisit US$ 11,7 miliar, maka neraca perdagangan nonmigas masih surplus US$ 36,59 miliar.
Neraca transaksi berjalan pada kuartal II-2022 tercatat surplus sebesar US$ 3,9 miliar atau setara 1,1% dari produk domestik bruto (PDB).
Surplus ini jauh lebih besar dibandingkan kuartal sebelumnya yang hanya US$ 0,4 miliar atau 0,1% PDB. Surplus tersebut didorong oleh kenaikan ekspor nonmigas dan neraca perdagangan nonmigas secara keseluruhan.
Sementara itu, defisit neraca migas melebar dari US$ 5,7 miliar pada kuartal I-2022 menjadi US$ 7,2 miliar pada kuartal II-2022.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono dalam pemberitaan Katadata.co.id pada Jumat (19/8) menjelaskan, kenaikan impor migas terjadi akibat peningkatan permintaan, seiring aktifnya mobilitas masyarakat dan tingginya harga minyak dunia.
Dengan kondisi surplus neraca transaksi berjalan yang makin besar, maka neraca pembayaran juga mencatat surplus sebesar US$ 2,4 miliar. Surplus itu meningkat dari kuartal sebelumnya yang masih defisit US$ 1,8 miliar.
Di tengah kondisi itu, BI terus menjaga cadangan devisa yang pada akhir Juli 2022 tercatat sebesar US$ 132,2 miliar. Jumlah tersebut berkurang sekitar US$ 4,2 miliar, dari posisi akhir Juni 2022 yang besarnya sejumlah US$ 136,4 miliar.Upaya stabilisasi nilai tukar oleh BI pun akan terus dilakukan. “Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional,” tulis bank sentral dalam laporannya, Jumat (5/8).
Namun, dunia masih dibayangi kondisi geopolitik yang masih memanas akibat serangan terhadap Ukraina, serta sinyal kenaikan suku bunga oleh The Fed.
Masing-masing negara, termasuk Indonesia, sedang mengarahkan pengetatan kebijakan moneter. Di sisi lain, lonjakan inflasi juga terus membayangi.
Dalam konferensi pers pada Selasa (23/8), Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan kenaikan bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,75% pada Agustus 2022 dilakukan atas berbagai faktor.
Salah satunya, ekspektasi inflasi akibat sinyal kenaikan harga BBM. Di sisi lain, inflasi bahan pangan dan inflasi inti juga ikut meningkat.
“Kebijakan ini untuk memperkuat stabilitas rupiah dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat,” ujarnya.
Dengan penggunaan BBM di dalam negeri yang terus meningkat, kondisi geopolitik Rusia vs Ukraina, serta kenaikan suku bunga The Fed, maka impor BBM yang tinggi dapat menekan kurs rupiah.
Sebagai net importer yang neraca perdagangan migasnya terus melebar, Indonesia harus berusaha mengontrol angka impor migasnya, sembari tetap melakukan stabilisasi nilai tukar.
Dalam tulisan berjudul Kebijakan Subsidi BBM: Menegakkan Disiplin Anggaran di situs web pribadinya, ekonom Faisal Basri menilai subsidi BBM menimbulkan efficiency cost karena mengaburkan sinyal harga.
Penetapan harga yang lebih rendah dibanding opportunity cost menimbulkan distorsi pada konsumsi dan keputusan investasi.
Salah satu dampak yang muncul darinya adalah konsumsi BBM yang berlebihan di dalam negeri. “Konsumsi berlebih menyebabkan peningkatan permintaan: mengurangi ekspor dan menambah impor.
Dengan demikian, subsidi dapat menekan akun lancar (current account) dalam neraca pembayaran, sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah,” tulis Faisal.
Ia pun menyarankan agar harga jual eceran BBM ditetapkan berdasarkan formula perhitungan harga patokan yang sederhana dan mencerminkan keadaan sebenarnya.
Jika pun masih perlu subsidi BBM, maka seyogianya pemerintah dapat mendorong rakyat melakukan perubahan pola konsumsi BBM. Di sisi lain, pemerintah juga perlu melakukan restrukturisasi industri perminyakan.
(Tim Riset Katadata)