Regulasi Dituding Jadi Penghambat Digitalisasi Industri Asuransi
Di sektor keuangan, industri asuransi terbilang lebih lambat mengadopsi teknologi ketimbang perbankan. Wakil Ketua Bidang Hubungan Internasional Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Christian Wanandi menyebut, ada beberapa kebijakan yang menghambat digitalisasi asuransi.
Salah satunya adalah kewajiban menyampaikan ikhtisar polis asuransi dalam bentuk cetak. "Kami terus berdiskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) supaya jangan ada kemunduran. Saya rasa akan lebih baik terbuka. Kalau (inovasi) dipagari, susah," kata dia saat diskusi bertajuk 'InsurTech: The Digital Future of Insurance' di Jakarta, Jumat (10/8).
Dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2015 tentang produk dan pemasaran produk asuransi, polis asuransi memang bisa disampaikan secara digital. Hanya, ikhtisar polis tetap wajib disampaikan dalam bentuk cetak. Padahal, "Dengan teknologi kami yakin mempermudah masyarakat mendapat asuransi baik di kota besar atau kecil," kata Christian.
(Baca juga: Perbankan dan Asuransi Adaptasi Perilaku Millenial di Era Digital)
Selain itu, sementara prosedur Know Your Customer (KYC) pada perbankan bisa dilakukan secara elektronik, perjanjian antara perusahaan dengan pemegang polis masih harusmenggunakan tanda tangan basah dan materai. Memang, harga materai relatif murah. Hanya, untuk asuransi yang sifatnya mikro dalam jumlah banyak, hal ini bisa memakan biaya besar. Hal-hal seperti ini lah yang ia harapkan menjadi pertimbangan OJK untuk merevisi aturan.
Saat ini, AAUI pun memiliki tim tersendiri yang fokus mengkaji digitalisasi di industri asuransi. Tim ini juga berdiskusi dengan OJK, guna membahas perkembangan terkini industri asuransi. "OJK paham kendalanya, tetapi mereka perlu kaji dulu," kata dia.
Sementara, Chief Operating Officer (COO) PasarPolis.com Christopher Kustono menyampaikan, perusahaannya cenderung menghindari penjualan produk asuransi yang masih terkendala aturan, seperti asuransi jiwa. "Itu susah didigitalisasi, karena banyak aturan dari OJK yang mewajibkan nasabah paham risikonya," kata dia.
Untuk menyiasati kendala itu, PasarPolis fokus mengembangkan produk asuransi yang sesuai kebutuhan (trial-made) mitranya, seperti untuk keperluan perjalanan, perlindungan barang yang dibeli lewat e-commerce, dan lain sebagainya. Produk-produk seperti ini lebih mudah didigitalisasi, termasuk dengan instant claim atau digital claim. "Ini banyak peminatnya," ujarnya.
(Baca juga: Era Digital, Industri Asuransi Masih Butuh Banyak Tenaga Pemasaran)
Saat ini, OJK menyiapkan aturan khusus mengenai bisnis asuransi berbasis digital alias insurance technology. Semula, aturan itu ditargetkan terbit pada Maret 2018. Namun hingga saat ini aturannya belum juga dirilis. Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Riswinandi menjelaskan, aturan itu mencakup ketentuan sistem bisnis hingga mekanisme pembayaran klaim dan pengaduan.
Adapun proses penyusunan aturan melibatkan pelaku industri asuransi digital. OJK pun mendata perusahaan-perusahaan asuransi digital yang beroperasi di Tanah Air. "Masukan ini bagian penting untuk mengembangkan aturannya," kata dia. Secara umum, ia menegaskan bahwa perlindungan konsumen adalah hal utama dalam kajian aturan ini.