Warganet Rawan Dipidana, SAFEnet Sebut Situasi Hak Digital Memburuk
Southeast Asia Freedom of Expression Netwrok (SAFEnet) menyebut situasi hak-hak digital di Indonesia semakin memburuk. Mengadopsi sistem kebencanaan, SAFEnet menyebut kondisi ini dengan istilah ‘siaga dua’.
“Selama tiga tahun terakhir memperlihatkan situasi yang semakin memburuk. Tahun ini kita semakin mendekati bahaya digital,” kata Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto dalam Peluncuran Laporan Situasi Hak-hak Digital di Indonesia secara virtual, Rabu (21/4).
Menurut laporan SAFEnet, kriminalisasi terhadap pengguna internet semakin marak selama pandemi Covid-19. Isu yang dinilai rawan kriminalisasi adalah terkait penyebaran hoaks atau bermuatan suku, agama dan ras (SARA).
“Labelisasi hoaks terhadap informasi yang tidak sesuai dengan tindakan pemerintah dalam menangani Covid-19 juga menjadi salah satu penyebab banyaknya warganet yang dituntut dengan UU ITE,” kata Damar.
Simak Databoks berikut:
Sepanjang tahun 2020, SAFEnet mencatat setidaknya terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan tahun 2019 yang hanya 24 kasus.
Relawan SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan, pasal yang paling banyak digunakan untuk memidanakan warganet adalah Pasal 28 ayat 2 tentang Ujaran Kebencian dan Pasal 27 ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik.
“Di tahun ini ada penggunaan pasal lain yang cukup banyak, yaitu Pasal 14-15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang keonaran dan ‘pasal karet’ UU ITE yaitu Pasal 28 ayat 1 juga sudah banyak digunakan untuk mengkriminalisasi warganet,” kata Nenden.
Nenden menyampaikan, jika dilihat dari latar belakang korban, warganet menjadi mayoritas yang paling banyak dilaporkan, kemudian diikuti oleh aktivis, buruh, pelajar, dan mahasiswa. Jumlah warga dan aktivis yang dilaporkan pada 2020 jauh lebih tinggi dibandingkan 2019.
“Kriminalisasi selama 2020 tidak bisa terlepas dari dua hal, yaitu mengenai kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 dan pengesahan UU Cipta Kerja. Hal ini juga bisa disebabkan oleh terbitnya dua telegram dari Kapolri,” katanya.
Telegram pertama terbit pada 4 April 2020, di mana Kapolri menginstruksikan agar jajarannya melaksanakan patrol siber untuk memantau situasi berita opini, dengan sasaran hoaks Covid-19. Polisi juga menargetkan hoaks terkait kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi, serta penghinaan terhadap Presiden dan pejabat pemerintah.
Adapun telegram yang kedua terbit pada 2 Oktober 2020, yang merupakan respons terhadap penolakan pengesahan UU Cipta Kerja yang sangat ditentang oleh masyarakat.
Nenden menjelaskan, Pemerintah juga mengesahkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, pada 16 November 2020. Aturan ini menjadi kerangka hukum yang bisa digunakan untuk memaksa platform media sosial, aplikasi dan penyedia layanan online untuk menerima yuridiksi lokal atas konten dan kebijakan serta praktik data pengguna mereka.
“Ini berpotensi untuk membuat represi negara terhadap kebebasan berekspresi masyarakat semakin tak terkendali,” katanya.