Jumat, 15 November 2019

Selarik ayat suci Al Quran melantun indah. Seorang siswa berpeci khas Uighur membawakannya dengan khusyuk di sebuah kelas di Xinjiang Islamic Institute. Di tempat inilah, mereka dididik untuk menjadi imam dan khatib untuk mengajarkan agama Islam di seluruh Tiongkok.

Siang itu, saya dan sejumlah pemimpin media massa lainnya bersama Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk. Garibaldi Thohir berkunjung ke sana. Turut hadir Ustaz Omar Othman Shihab, da'i dan tokoh agama dari Indonesia lulusan Universitas Al Azhar Mesir.

Rektor Xinjiang Islamic Institute, Abdurekep Tumniyaz, dengan ramah menerima kedatangan kami. Sederet cangkir teh tradisional hangat ikut menyambut, membasahi kerongkongan yang dingin di luar sana.

"Fahri Hamzah pernah berkunjung ke sini," kata lelaki bertubuh besar dan berjenggot ini menyebut nama mantan Wakil Ketua DPR RI itu.

Xinjiang Islamic Institute
Abdurekep Tumniyaz, Rektor Xinjiang Islamic Institute. (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Di hadapan para mahasiswa, Tumniyaz yang juga Wakil Ketua Asosiasi Islam Tiongkok, lantas menjelaskan tentang Institut yang dipimpinnya. Terletak di Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang, kampus baru ini menempati lahan seluas 10 hektare atau 6,3 kali kampus lama yang dibangun sejak 32 tahun silam.

Total bangunannya mencapai 50 ribu meter persegi atau lima kali lebih besar dari kampus lama. Rupa-rupa fasilitas di dalamnya: asrama, ruang olahraga, kantin, kantor, dan masjid. Dibangun sejak 2014, areal ini baru selesai tiga tahun kemudian.

Sebanyak 1.100 mahasiswa kini menimba ilmu di sana—6,7 kali lebih banyak dari kampus lama. Mereka terbagi dalam dua program, yakni program sarjana (lima dan tiga tahun masa studi) dan vokasi (dua tahun). “Mahasiswa di sini rekrutan tahun 2015,” kata Tumniyaz. “Juni tahun depan lulus.”

Yang menarik, untuk jenjang S1 dengan masa studi tiga tahun, mahasiswanya rata-rata berumur 40-50 tahun. "Mereka dulunya pengajar agama atau imam dan sudah punya pengalaman,” Tumniyaz menambahkan, “Karena itu, tiga tahun saja kuliahnya.”

Mata kuliah yang diajarkan beragam, mulai dari soal kontitusi negara, hukum agama, hingga sejarah dan kebudayaan Tiongkok. Pengajaran dilakukan dengan menggunakan tiga bahasa, yakni Mandarin, Uighur, dan Arab.

Areal kampus ini boleh dibilang cukup mentereng. Pembangunannya menelan biaya 279 juta yuan (sekitar Rp 560 miliar). Berasal dari pemerintah pusat 250 juta yuan, sisanya dari pemerintah lokal. Sebanyak 60% murid juga mendapat beasiswa Rp 8-16 juta per tahun.

Xinjiang Islamic Institute
Para mahasiswa makan siang di kantin Xinjiang Islamic Institute. (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Tanpa terasa, waktu untuk salat Jumat hampir tiba. Pertemuan segera diakhiri, dan semua bergegas menuju kantin. Setelah melewati halaman yang jembar, kami tiba di sebuah ruangan yang luas dan resik. Ratusan siswa sudah asyik bersantap siang di sana, sambil beberapa di antaranya menyimak pidato Presiden Xi Jinping di layar televisi.

Tak lama kemudian, ruangan pun kembali sepi. Para siswa menuju masjid untuk menunaikan ibadah salat Jumat pada sekitar pukul 15.00 waktu Urumqi, dipimpin oleh Tumniyaz selaku imam dan khatib.

(Baca: Catatan dari Xinjiang (1): Kembalinya Kejayaan di Jalur Sutra)

Sabtu, 16 November 2019

Terpisah 10.430 km dari Urumqi, sebuah kabar meletup di New York. Pagi itu, surat kabar ternama the New York Times memuat berita panas tentang bocoran 400 lembar dokumen internal pemerintah Tiongkok.

Dituliskan bahwa Presiden Tiongkok Xi Jinping telah mengeluarkan instruksi untuk melawan aksi terorisme dan separatisme tanpa belas kasihan. Dokumen ini juga mengungkap soal adanya kamp tahanan massal bagi kaum Muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang.

Lebih dari 1 juta orang diberitakan telah dikirim ke kamp tersebut untuk diindoktrinasi. Menurut laporan itu, aksi brutal ini pertama kali diperintahkan Xi Jinping setelah berkunjung ke Xinjiang pada 2014—beberapa pekan setelah kelompok militan Uighur melakukan aksi teror di stasiun kereta, dengan menikam dan menewaskan 31 orang.

"Kita harus sekeras mereka, dan sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan,” ujar Xi.

Kabar ini langsung menyebar cepat. Berbagai media massa dunia sontak memberitakannya. Di layar penumpang pesawat Cathay Pacific yang membawa saya dan rombongan ketika kembali bertolak ke Hong Kong dan Jakarta pun memuat berita ini.

Tak hanya itu, sebuah organisasi wartawan investigasi dunia, International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ), ikut mewartakannya. Dalam laporan khusus bertajuk “China Cables” (24/11) dituliskan tentang panduan operasi rahasia untuk kamp pengasingan di Xinjiang.

Kamp ini digambarkan menyerupai penjara, tempat di mana para tahanan diinterogasi dan diindoktrinasi. Disebutkan pula bahwa pengumpulan data terhadap para tahanan massal ini dilakukan melalui teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Bisnis bunga di Xinjiang
Ibu-ibu dari keluarga miskin yang dilatih untuk berbisnis bunga di Xinjiang. (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Di akhir Januari lalu, sebuah laporan khusus Al-Jazeera dalam program 101 East mengungkap tentang keraguan akurasi data AI tersebut. Temuan itu didapatkannya dari pengakuan sejumlah eks tahanan yang kini bermukim di Turki.

Abduweli Ayup salah satunya. Ia mempertanyakan penahanannya selama 15 bulan. Ia juga mengaku telah dianiaya dan diperkosa selama di tahanan. “Pertama-tama mereka meminta saya membuka pakaian....Mereka menempatkan saya di penjara bersama pengguna obat-obatan dan pembunuh, dan mereka memukuli saya,” ujarnya.

Ia tak habis pikir dituduh sebagai teroris. Padahal, menurut pengakuannya, dia hanyalah seorang akademisi dan penulis. Adik perempuannya yang seorang guru geografi pun ikut ditahan hingga kini.

Testimoni lain datang dari seorang perempuan berkebangsaan Kazakhstan. Dia tiba-tiba ditangkap karena dikira warga Tiongkok Uighur. Dia baru kembali menghirup udara bebas setelah 15 bulan mendekam di tahanan, dan kini hidup di Turki—negeri yang mendapat dana bantuan dari Tiongkok $28 miliar per tahun—bersama eks tahanan lainnya.

Kian derasnya pemberitaan soal kamp ini, membuat para legislator di Negeri Abang Sam ikut meradang. Hanya selang sepekan setelah laporan ICIJ dirilis, sebuah Undang-Undang bernama Uighur Act 2019 ditetapkan DPR AS.

Mereka meminta Pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi kepada para pejabat Tiongkok yang bertanggungjawab atas kamp tahanan dan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Aksi ini sontak memicu kian panasnya perang dagang AS-Tiongkok.

Pemerintah Tiongkok dalam berbagai kesempatan membantah tudingan ini. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, dalam konferensi pers pada 18 November lalu menegaskan bahwa yang dilakukan di Xinjiang bukanlah terkait soal etnis, agama atau HAM. “Melainkan tentang perang melawan kekerasan, terorisme, dan separatisme.”

Sejak 1990 hingga 2016, ribuan aksi kekerasan dan terorisme telah terjadi di Xinjiang. Karena itu, yang dilakukan pemerintah Tiongkok merupakan upaya deradikalisasi melalui pendidikan vokasi dan pelatihan kerja. Bukan kamp tahanan seperti dituduhkan.

“The New York Times tuli dan buta atas semua fakta ini,” kata Shuang sengit.

(Baca: Catatan dari Xinjiang (2): Era Kejayaan Ekonomi Asia)

Adegan brutal itu bikin mual. Tanpa belas kasihan, seorang teroris menggorok leher korbannya tanpa ampun. Darah muncrat seketika. Ada pula seorang lelaki tiba-tiba dihantam martil batok kepalanya di tengah keramaian pasar. Pria nahas itu langsung roboh. Pengunjung pameran menjerit melihat rekaman video itu.

Halaman:
Editor: Redaksi
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement