- KCIC diterpa masalah pendanaan dan memilih fokus mengejar konstruksi jalur kereta cepat Jakarta Bandung. Pengembangan kawasan transit-oriented development ditunda.
- Pemerintah berencana melakukan renegosiasi dengan Cina untuk menyelesaikan problem pendanaan.
- Belum ada regulasi yang mengatur soal pengelola kawasan TOD sehingga memicu kemunculan para spekulan tanah.
Tidak jauh dari pusat kota Purwakarta, proyek konstruksi kereta cepat Jakarta-Bandung menemui jalan buntu. Para pekerja yang menggali terowongan sepanjang satu kilometer selalu tersandung masalah. Setiap kali mereka menggali, tanah itu langsung longsor. Terowongan yang sedianya ditargetkan selesai dalam satu tahun, kini sudah molor hingga tiga tahun.
Pangkal persoalannya terkait aspek geologi. Lokasi terowongan ini berjenis tanah clay shale. Tanah jenis ini sangat keras saat masih tertutup. Namun ketika terekspos udara dan air, durabilitasnya merosot drastis.
“Terowongan ini memang salah satu yang paling sulit,” kata Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi, saat berbincang dengan Katadata.co.id, Rabu (19/1).
Para pekerja proyek harus memutar otak menyelesaikan tantangan ini. Petinggi KCIC lantas meminta bantuan para ahli dari Institut Teknologi Bandung dan Cina. Mereka memilih metode grouting, teknik mencampur air dan semen untuk disuntikkan ke permukaan terowongan.
Strategi ini menemui titik terang. Dwiyana mengklaim pengerjaan terowongan sudah bisa dikebut dan ditargetkan April 2022 ini bisa ditembus. Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengapresiasinya. “Inilah yang saya sebut sebagai menembus ketidakmungkinan,” ujarnya melalui laman Instagramnya, Senin (12/1).
Presiden Joko Widodo juga tak kalah antusias. Saat meninjau terowongan itu pada 12 Januari 2022, Presiden mematok target proyek kereta cepat bisa diuji coba di akhir tahun ini. “Kemudian di bulan Juni 2023 kita bisa operasikan,” kata Kepala Negara.
Konsorsium KCIC kini cuma punya waktu 11 bulan untuk mewujudkan pernyataan Presiden Jokowi. Menurut Dwiyana, saat ini perkembangan aktivitas konstruksi sudah mencapai 79,9%. Namun konsorsium masih menghadapi tantangan besar untuk menyelesaikan proyek ini.
Selain masalah teknis konstruksi, KCIC terbebani anggaran. Biaya investasi membengkak dari Rp 86,52 triliun kini diperkirakan mencapai Rp 114,24 triliun. Konsorsium terpaksa mengubah strategi. Salah satunya mengalihkan titik pemberhentian dari Stasiun Walini ke Stasiun Padalarang. Namun, bahkan dengan keputusan ini, KCIC masih kekurangan duit.
Menurut hitung-hitungan internal, KCIC masih kekurangan Rp 27 triliun. Uang ini sebagian besar akan dipakai untuk pembebasan lahan. Selain itu, pandemi Covid-19 juga membuat kinerja keuangan BUMN anggota KCIC –PT Kereta Api Indonesia, PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PT Perkebunan Nusantara VIII– macet. Bahkan untuk sekadar memenuhi ekuitas dasar saja empat BUMN ini kelimpungan.
Merasa buntu dengan persoalan ini, KCIC lantas mengadu ke Kementerian BUMN. Presiden akhirnya menerbitkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Lewat beleid ini, Presiden Joko Widodo terpaksa mengingkari janjinya untuk tidak melibatkan duit negara dalam mega proyek ini.
Pemerintah berbaik hati memberikan penyertaan modal lewat PT Kereta Api Indonesia senilai Rp 4,3 triliun. Ini tentu akan mengubah komposisi saham. Tampuk pimpinan konsorsium yang sebelumnya dipegang oleh WIKA akan dialihkan ke KAI.
Kendati demikian, penyertaan modal ini masih jauh dari perkiraan kekurangan dana yang mencapai Rp 27 triliun. Lantas bagaimana memenuhinya?
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan pemerintah akan negosiasi ulang dengan pihak Cina. Dalam perjanjian sebelumnya, struktur modal proyek ini akan dibiayai oleh ekuitas KCIC sebanyak 25 % dan 75 % lainnya didapatkan dari pinjaman China Development Bank (CDB). Khusus untuk ekuitas, porsi konsorsium Indonesia 15 %, sedangkan konsorsium Tiongkok 10 %.
Jika negosiasi berhasil, kemungkinan terjadi perubahan dari aspek porsi pinjaman maupun ekuitas konsorsium. Sayangnya, Seto masih enggan membeberkan detail negosiasi yang sedang diupayakan.
Sementara itu, ketika ditanya apakah ada peluang untuk menambah jumlah penyertaan modal negara (PMN), Seto menegaskan opsi itu bukan pilihan. “Kemungkinan besar tidak ada lagi,” katanya saat dihubungi Katadata.co.id, Senin (26/1).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri meragukan pernyataan Seto. Ia memprediksikan pemerintah kembali menyuntikkan modal kepada konsorsium KCIC menggunakan dana APBN. “Kalau soal negosiasi ulang saya rasa kemungkinan besar memang akan dilakukan,” katanya, Senin (26/1).
Menurut perkiraan Faisal, porsi pinjaman CDB kemungkinan naik jadi 85 % sehingga setoran ekuitas KCIC cuma 15 % saja. Dari jumlah itu, kewajiban ekuitas konsorsium Indonesia diprediksi hanya 5 % sedangkan 10 % lainnya menjadi tanggung jawab konsorsium Cina.
Sejak pertama kali diluncurkan pada 2016, asumsi proyek kereta cepat memang sudah berubah drastis. Mulai dari soal pendanaan yang kini bisa menggunakan APBN hingga perubahan rencana stasiun kereta. Hal lain yang signifikan adalah pengembangan transit oriented development (TOD). Kawasan TOD merupakan perencanaan urban terpadu yang terintegrasi dengan sistem transportasi.
Menurut Gubernur Jawa Barat sekaligus pakar urban planning Ridwan Kamil, kawasan TOD harus memiliki aspek 3D: density (kepadatan), design (desain), dan diversity (keberagaman). Secara sederhana, TOD bisa disebut kawasan yang terdiri dari pemukiman, ritel, perkantoran, dan sistem transportasi yang membuat penghuninya beraktivitas hanya di sekitar wilayah itu.
Pengembangan TOD sedianya tidak terpisahkan dengan pembangunan jalur kereta cepat. Apalagi KCIC juga akan mengandalkan pendapatan non-tiket untuk mengejar balik modal. “Harus diakui, cuan dari TOD memang menarik,” kata Dwiyana.
Namun malang tak dapat ditolak. Masalah pendanaan membuat KCIC terpaksa menunda pengembangan TOD.
Dari TOD Kereta Cepat ke Sekadar Properti
Sepetak sawah yang digarap Firdaus itu letaknya tepat di seberang calon Stasiun Tegalluar, Desa Cibiru Hilir, Kabupaten Bandung. Firdaus (40), lahir dan besar di desa itu. Sehari-hari ia menggantungkan hidup dari lahan padi yang hasilnya tidak seberapa.
Garapan itu pun bukan miliknya. “Tanah-tanah di sini sudah dimiliki orang Bandung. Ada juga yang punya perusahan properti,” katanya saat berbincang dengan Katadata, Senin (12/1).
Firdaus adalah satu dari sekian ratus orang yang menanti pengembangan Stasiun Tegalluar. Sebagai stasiun pemberhentian terakhir kereta cepat, Tegalluar diproyeksikan sebagai salah satu TOD unggulan. Mengacu pada rencana awal, luas TOD kawasan ini bisa mencapai 340 hektare.
Sejak pembangunan stasiun dimulai, penduduk di sekitar stasiun merosot drastis. Proyek ini menggusur ratusan kepala keluarga (KK) di Desa Cibiru Hilir. Jumlah rukun tetangga (RT) juga berkurang dari tiga menjadi tinggal satu RT saja. Kini, sekitar 50 KK yang tersisa harap-harap cemas menanti pengembangan lanjutan kawasan Tegalluar.
“Katanya mau digusur juga untuk perumahan,” kata Qodariyah, salah satu warga Cibiru Hilir yang tersisa.
Kawasan Tegalluar sudah lama jadi incaran favorit para pengembang. Tepat di seberang stasiun, dipisahkan oleh jalan tol Purbaleunyi, berdiri megah Stadion Bandung Lautan Api yang diresmikan sejak 2013. Sementara tepat di sisi Barat stadion, Summarecon Bandung mengembangkan kawasan hunian tapak. Menurut penuturan warga sekitar, Summarecon kabarnya juga punya lahan terbengkalai tak jauh dari lokasi Stasiun Tegalluar.
Pengembang lokal juga punya bank tanah di sekitar lokasi. Lahan itu masih berupa sawah-sawah hijau sejauh mata memandang. Sebuah plang peringatan bertuliskan ‘TANAH MILIK MAJU LESTARI PROPERTI GROUP’ terpancang di atas sawah itu.
Firdaus menceritakan Maju Lestari kini memiliki sebagian besar tanah di Cibiru Hilir. “Warga sekitar sudah jarang yang punya tanah di sini,” tuturnya.
Euforia pengembangan Tegalluar juga sempat dirasakan Firdaus. Ia mengaku pernah didatangi beberapa orang yang ingin memiliki tanah di kawasan itu. “Saya mah udah enggak punya tanah lagi di sini,” ceritanya sambil tertawa.
Willy Djanga jadi penanggung jawab tanah milik Maju Lestari Properti (MLP) Group di Tegalluar. Nama dan nomor kontaknya terpampang jelas di plang peringatan di Cibiru Hilir. Willy mengatakan MLP Group punya banyak bidang tanah di Tegalluar. Khusus di Cibiru Hilir saja, perusahaan menguasai sekitar delapan hektar.
“Dulu belinya dari warga sekitar sekitar tahun 2011. Kalau dipasang plang baru tahun kemarin,” katanya saat dihubungi Katadata, Minggu (30/1).
Willy bercerita lahan berupa sawah itu kini digarap oleh warga sekitar. Saat pembangunan Stasiun Tegalluar hendak dimulai, sejumlah perwakilan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI)--konsorsium Indonesia di KCIC–mendatanginya. Ia pun menjadi perantara perusahaan untuk melepaskan sejumlah tanah yang terkena proyek jalur kereta cepat.
Sementara itu, terkait pengembangan lanjutan untuk properti lainnya Willy mengaku belum ada yang pasti. “Kalau dengar-dengar gosip saja sudah banyak,” ujarnya.
Geliat Tegalluar nampaknya harus ditunda sejenak. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memastikan pembangunan TOD di titik akhir kereta cepat itu tidak lagi jadi prioritas.
“Gambar TOD-nya sudah saya review dan saya setujui. Tapi memang tidak ada rencana jangka pendek pembangunan TOD di sana,” kata pria yang akrab disapa Kang Emil ini kepada Katadata.co.id, Sabtu (15/1).
Pernyataan ini juga diamini oleh pihak KCIC. Menurut Dwiyana, TOD tidak lagi menjadi prioritas perusahaan. Ia menegaskan KCIC merupakan perusahaan kereta api sehingga fokus saat ini adalah konstruksi jalur kereta cepat. Sebagai gantinya, KCIC akan berfokus mengembangkan properti skala kecil di atas lahan yang sudah diakuisisi.
Dwiyana menjelaskan KCIC sudah menyewa 2,6 hektare lahan di sekitar Stasiun Halim. Selain itu, ada juga tiga hektare di Karawang, dan 7,2 hektare di Tegalluar. Jadi alih-alih menggarap ratusan hektare untuk TOD, perusahaan justru berfokus pada lahan-lahan yang lebih kecil untuk membangun apartemen, perkantoran, dan pusat ritel. “Kalau desain gambar [TOD] sudah jadi semua. Tinggal dijual,” ujarnya.
Nasib Kawasan Walini
Sementara itu, sejumlah perubahan besar di proyek ini membuat kawasan Walini terkatung-katung. Wilayah ini dikuasai oleh PTPN VIII yang dibudidayakan sebagai perkebunan teh. Inilah lahan yang sedianya akan dipakai PTPN VIII sebagai setoran modal. Namun, menurut Dwiyana, KCIC saat ini lebih membutuhkan setoran uang untuk membiayai proyek.
Pemprov Jabar juga punya ambisi besar membangun kawasan Walini. Menurut rencana, Walini akan dikembangkan jadi kota mandiri juga sebagai ibukota baru provinsi. Namun, kereta cepat kini tak lagi berhenti di Walini.
“Karena stasiun sudah dipindah ke Padalarang, maka tidak ada alasan lagi membangun TOD di Walini dalam waktu dekat,” kata Gubernur Jabar Ridwan Kamil.
Kendati demikian, Emil menegaskan akan tetap melanjutkan pengembangan Walini. Ia berencana mengajak PTPN VIII mencari investor ke luar negeri. Guna mendorong pengembangan kawasan, ia meminta pengelola tol membuka akses tidak jauh di kawasan ini. “Walini nantinya berkembang bukan dalam konteks kereta cepat tetapi karena akses tol,” katanya.
Kendala modal jadi alasan utama KCIC menunda pengembangan TOD. Menurut Dwiyana, investasi untuk mengembangkan properti di atas lahan seluas 2,6 hektare di Halim saja membutuhkan Rp 2 triliun. Perusahaan masih mempertimbangkan berbagai opsi untuk memenuhi kebutuhan investasi. Salah satunya adalah dengan menggandeng mitra strategis. “Perusahaan yang tertarik sudah banyak,” klaim Dwiyana.
Kerikil Regulasi di Pengelolaan TOD
Sementara KCIC sedang sibuk membenahi urusan teknis dan pendanaan, anggota DPRD Provinsi Jawa Barat juga tengah sibuk mengejar tenggat Raperda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) 2022-2042. Aturan ini akan jadi tulang punggung konstruksi jalur kereta api dan pengembangan TOD.
Sebelumnya, Presiden memang sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 45 tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung. Beleid ini memberikan landasan hukum pemanfaatan wilayah di Jawa Barat, termasuk kawasan yang dilalui kereta cepat.
Namun Pemprov Jawa Barat tetap harus menyesuaikan rencana pengembangan itu lewat RTRW. “Karena ini sudah masuk proyek strategis nasional, tanggung jawab kami soal regulasi terbatas di RTRW saja,” kata Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Sumber Katadata menyebut saat ini proyek kereta cepat masih kekurangan satu regulasi. Ini terkait dengan pengelola kawasan TOD.
Regulasi semacam ini pernah diterbitkan Gubernur DKI Jakarta melalui Pergub nomor 140 tahun 2017. Isinya berupa penunjukkan PT MRT Jakarta sebagai operator TOD di ibu kota. Saat ini regulasi soal TOD baru diatur lewat Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang nomor 16 tahun 2017 tentang Pedoman Kawasan Berorientasi Transit.
Sementara itu, regulasi soal siapa yang akan mengelola TOD di sekitar jalur kereta cepat belum dibuat. Ini berdampak besar pada status tanah di sekitar lokasi calon TOD. Beberapa warga yang tinggal di sekitar stasiun kereta cepat menuturkan spekulan tanah sudah banyak memborong lahan-lahan di area lokasi. “Memang tidak bisa kita pungkiri pasti selalu ada permainan spekulan,” kata Dwiyana.
Kendati demikian, ia menegaskan izin lokasi saat ini sudah dipegang oleh KCIC. Sehingga siapapun yang nantinya ingin membangun di kawasan tersebut harus bekerja sama dengan perusahaan. “Tentu kita maunya win-win solution,” kata Dwiyana.