Rencana Pensiun Dini PLTU Butuh Dana Murah

Rezza Aji Pratama
26 September 2022, 17:41
Dadan Kusdiana
Katadata

Setahun lalu Menteri Eenergi dan Sumber Daya mineral menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap. Beleid ini dikeluarkan untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dan masyarakat memasang penel surya.

Pemerintah menargetkan 3,6 GW PLTS Atap terpasang hingga 2025. Namun, hingga Juli 2022 realisasinya baru mencapai 62 MW.

Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan dalam implementasinya PLTS Atap menghadapi banyak kendala. Salah satunya karena saat ini terjadi kelebihan kapasitas listrik sehingga PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) cenderung kurang mendukung.

“Memang banyak komplain dari masyarakat dan industri terkait total kapasitas yang bisa dipasang,” kata Dadan, saat berbincang dengan Katadata.co.id

Menurut Dadan, saat ini pihaknya sedang duduk bersama dengan PLN untuk menyelesaikan persoalan ini. Salah satu solusi yang akan diimplementasikan yakni penggunaan hitungan beban dasar untuk menentukan total kapasitas panel surya yang bisa dipasang.

Selain membicarakan soal PLTS, Dadan juga banyak bercerita soal regulasi-regulasi terkini di sektor EBT yang sedang dipersiapkan pemerintah. Salah satu yang signifikan adalah RUU EBT yang saat ini sedang menjadi pembahasan di DPR.

Seperti apa wawancara dengan Dirjen EBTKE Dadan Kusdiana? Berikut petikan wawancaranya. 

Saat ini ada beberapa peraturan di sektor energi terbarukan yang sedang digodog oleh pemerintah dan DPR, bagaimana status masing-masing regulasi tersebut?

Saya mulai dari yang sudah lama kita siapkan yakni Perpres tarif EBT yang sekarang namanya Perpres Percepatan EBT. Ada beberapa hal yang diatur beleid ini termasuk soal tarif dan proses transisi energi. Ini sudah kita finalkan dan para menteri juga sudah paraf. Sekarang dalam proses ke Presiden. 

[Catatan Redaksi: Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik, sudah diterbitkan pada 14 September 2022, setelah wawancara ini dilakukan].

Di situ kita harapkan nanti ada upaya-upaya percepatan bagaimana menggeser pembangkit berbasis fosil, khususnya batubara kepada EBT. Jadi intinya itu akan dilakukan bertahap. Itu yang ditargetkan selesai di 2060 atau lebih cepat kalau ada bantuan internasional.

Kemudian yang kedua adalah aturan soal konservasi energi. Kita sudah punya PP sebetulnya, tetapi ingin lebih mempercepat proses ini. Jadi selain menyediakan energi bersih, kita juga harus melakukannya dengan lebih efisien. PP Konservasi Energi sudah beberapa kali harmonisasi. Jadi ini dalam proses akhir. 

Di dalam konservasi tersebut, kita mendorong supaya penghematan energi bisa berjalan di seluruh level, baik di sisi penyediaan maupun penggunaan. Baik di rumah tangga maupun industri. Di situ beberapa mekanisme disusun termasuk penetapan pelaporan dan kewajiban untuk menunjuk yang kita sebut Manajer Energi. 

Jadi pelaksanaan prinsip-prinsip manajemen energi itu salah satunya ada manajernya, kemudian pelaporan. Kita atur berapa konsumsi minimum yang wajib dilaporkan. Kemudian di laporan itu disampaikan juga rencana tahun depan. 

Prinsipnya [konservasi energi] itu bukan bersifat pemaksaan. Tapi lebih mendorong supaya berhasil dari sisi teknis dan finansial. Kemudian beberapa hal juga kita dorong. Misalnya alat ini standarnya harus seperti ini dari sisi kinerja, tapi kita tidak memberi aturan bahwa produksi semen itu maksimum energinya sekian. Kita belum mengarah sampai situ ya, tapi alat-alatnya sudah diberikan standar kinerjanya.

Kemudian yang lebih besar dari itu, RUU tentang EBT. Ini inisiatif dari DPR sudah diserahkan kepada pemerintah. Ini saya terus berkoordinasi dengan Mensesneg memastikan seluruh menteri terkait sudah paraf. Namanya juga Undang-Undang, ini akan menjadi regulasi utama yang menjadi acuan dari sisi perusahaan, perizinan, teknikal, dan insentif. Sekarang sedang menyusun Daftar Inventarisir Masalah (DIM).

Ada berapa DIM RUU EBT yang dibahas?

Sekarang ada 600 DIM-nya.

Apakah Anda optimistis RUU EBT akan selesai tahun ini?

Kalau dari pernyataan DPR, semangatnya masih begitu ya.

Kembali ke Perpres, itu kan diubah dari Perpres Tarif EBT jadi Perpres Percepatan EBT, adakah ruang lingkup yang diperbesar?

Sebetulnya masih tentang tarif. Tapi karena ditambah dengan kebijakan terkait PLTU, makanya Perpres-nya jadi percepatan EBT. Yang PLTU-nya juga diberikan peraturan dalam sisi terms and conditions. Tidak boleh membangun PLTU baru kecuali untuk proyek strategis nasional yang belum siap dari sisi EBT-nya. 

Misalnya di Maluku itu baru ada tenaga surya tetapi tidak cukup untuk menopang industri. Nah, dalam konteks ini masih diperbolehkan untuk membangun PLTU, tapi juga ada syaratnya. Nanti setelah 10 tahun harus menurunkan emisinya. Selain itu PLTU itu hanya boleh beroperasi sampai 2050.

Kita juga mendorong untuk menggunakan teknologi yang bisa menangkap emisi karbon. Ini jadi cerita yang lain lagi nanti. 

Meskipun harga [teknologi penangkap karbon] masih mahal?

Ya, tapi kan teknologi itu kelihatannya akan semakin efisien. Efisiensinya meningkat, otomatis dari sisi biaya mungkin per unitnya akan turun. Memang sekarang itu dilihat menjadi sebuah alternatif, karena kita belum punya teknologinya. 

Mengapa PLTU untuk proyek strategis nasional dikecualikan dari moratorium PLTU?

Namanya proses transisi ya, tapi dari sekarang harus komitmen. Nanti kalau tidak diperbolehkan pakai PLTU produk kita juga tidak bisa bersaing. Komitmen kita terhadap dunia juga tidak akan tercapai. Jadi itu dua sisi, dari sisi ekonomi harus tetap berjalan, tapi dari sisi yang lain orang bilang ini jangka panjang, tapi menurut saya ini jangka pendek juga. 

Karena sekarang produk-produk industri itu sudah mulai dilihat dari sisi bagaimana sih cara produksi barang-barang tersebut? Malah negara Eropa mulai mengkaji penerapan pajak karbon tambahan dari luar. 

Jadi mereka akan melihat bagaimana seluruh dunia itu harus sama dengan Eropa. Kalau di sana tidak ada pajak karbon, masuk ke negara dia ditambahin. Sehingga kalau begitu nanti produk kita menjadi mahal, tidak bisa bersaing dengan produk lain. 

Itu yang selalu pak menteri ESDM sampaikan. Ini sebetulnya nih visi nasionalnya, supaya kita tetap bisa meningkatkan dari sisi daya saing, bukan terbalik. 

Terkait dengan pajak karbon, pemerintah sudah dua kali menuda implementasinya. Mengapa?

Kalau pajak karbon sebenarnya bukan di sini ya [Kementerian ESDM]. Kebijakannya di Kementerian Keuangan. Pasti akan berlaku menurut saya, tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

Seberapa krusial sebenarnya pajak karbon ini untuk PLTU?

Kita sebenarnya kalau melihat dari sektor energi ini, pajak karbon menjadi instrumen supaya para produsen energi yang mengemisikan CO2 itu berupaya untuk menurunkannya. Satu dari meningkatkan efisiensi. Kalau dulu satu ton bisa menghasilkan satu kWh, nanti satu ton bisa menghasilkan 1,2 - 1,3 kWh. Itu kan emisinya itu berbeda. Kemudian yang kedua kalau itu tidak bisa, mereka membangun penyediaan energi dari EBT atau offset

Kalau dari sisi pajak sebenarnya kita tidak terlalu ingin para emitor ini membayar pajak saja. Kalau begitu tujuan mengurangi emisi tidak tercapai. Kalau emisi diturunkan, pajak yang dibayar makin sedikit. 

Apalagi sekarang dengan tingkat harga yang kita dengar di angka seperti itu [Rp 30.000 per ton emisi karbon ekuivalen], barangkali akan memilih bayar pajak karena masih murah. Tapi Ibu Menkeu jauh lebih pintar untuk hal tersebut, kita lihat saja nanti.

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...