Flygskam, Ketimpangan Emisi, dan Peran Penting Para Pesohor

Marlistya Citraningrum
Oleh Marlistya Citraningrum
17 Januari 2023, 12:37
Marlistya Citraningrum
Katadata

Desember lalu, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, mendapatkan sorotan karena menggunakan jet pribadi. Kala itu, pasangan selebriti itu bertolak dari Yogyakarta ke Surakarta untuk menghadiri pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono. 

Kritik dilontarkan karena keduanya memilih moda transportasi penerbangan yang tinggi emisi gas rumah kaca. Padahal, rute tersebut dapat ditempuh hanya sekitar 60-90 menit melalui jalan darat. Tak hanya Raffi dan Nagita, Katadata (12/12) menyebut PT Angkasa Pura Bandara Internasional Adi Sumarmo memastikan 59 pesawat pribadi para tamu resepsi mendarat dan terbang di Solo.

Advertisement

Di Indonesia, penggunaan pesawat pribadi memang belum terlalu banyak menjadi sorotan. Namun di Swedia, ada istilah ‘flygskam’ yang berarti ‘flight shame’. Secara harfiah, istilah ini merujuk pada perasaan malu karena terbang. Istilah ini bahkan menjadi gerakan sosial yang mengajak publik untuk mengganti moda transportasi penerbangan, dengan moda lain yang lebih rendah emisi. Ini khususnya untuk mobilitas jarak dekat. 

Flygskam’ menjadi tren di Benua Eropa. Bahkan di 2019 gerakan ini berkontribusi pada penurunan penumpang penerbangan di Swedia dan kenaikan penumpang kereta api, seperti dilaporkan BBC.

Kelompok kaya dan superkaya, yang sering diberitakan atau aktif di media sosial, memang terlihat menonjol. Mereka sering berhadapan dengan ‘penghakiman’ publik. Apa yang diperlihatkan kini tak lagi diperbincangkan dari tren gaya hidup saja, melainkan juga ke arah isu-isu iklim dan lingkungan. 

Emisi dan ketimpangan

Geopolitik krisis iklim umumnya menyoroti ketimpangan antara negara-negara Utara (Global North) dan negara-negara Selatan (Global South). Tanggung jawab penurunan emisi dititikberatkan pada negara-negara Utara yang menyumbang porsi emisi jauh lebih tinggi dalam periode lebih lama. Harapannya, ini bisa membantu negara-negara Selatan yang berupaya meningkatkan kesejahteraan sekaligus rentan dampak krisis iklim untuk melakukan dekarbonisasi dan adaptasi iklim.

Di samping ketimpangan antar negara, dalam beberapa tahun terakhir penelitian mencatat bukti-bukti bahwa ketimpangan emisi lebih nyata terlihat antara kelompok kaya dan miskin. Lab Ketimpangan Dunia (World Inequality Lab), dipimpin oleh Sekolah Ekonomi Paris dan Universitas California di Berkeley, mengumpulkan data terkait gaya hidup individu: pola makan, kepemilikan kendaraan, hingga jenis investasi. 

Data ini digunakan untuk menghitung jejak karbon mereka. Hasilnya: kelompok terkaya 1% di dunia adalah kelompok penyumbang emisi dengan pertumbuhan paling besar. Emisi mereka 70 kali lipat lebih tinggi dibanding kelompok 50% terbawah. Jika dijumlahkan, kelompok 10% terkaya di dunia (setara 771 juta orang), berkontribusi pada hampir separuh total emisi global (48%), yang secara geografis tersebar di banyak negara.

Pada tahun 2020, peneliti di Universitas Leeds juga menerbitkan analisis yang menggarisbawahi perbedaan proporsi emisi kelompok kaya dan miskin. Dengan semakin bertambahnya penghasilan, orang kaya mengeluarkan lebih banyak uang untuk liburan atau kendaraan. Porsi energi untuk moda transportasi yang dikonsumsi kelompok 10% terkaya mencapai 187 kali lebih tinggi dibanding kelompok 10% terbawah. Ketimpangan emisi ini lebih rendah dan terdistribusi untuk penggunaan energi di tingkat rumah tangga. 

Analisis serupa pada kelompok superkaya oleh Barros dan Wilk (2021) menunjukkan kesimpulan yang sama. Para milyarder merupakan super-emitters. Lagi, moda transportasi memakan porsi besar emisi yang mereka hasilkan. Pasalnya, mereka tidak hanya menggunakan mobil tetapi juga jet pribadi dan kapal pesiar. 

Bahkan untuk rute pendek, kelompok super kaya ini sering menggunakan pesawat pribadi. Sementara untuk kapal pesiar, fungsinya lebih sering dipakai untuk liburan ketimbang transportasi. Lima belas dari 20 sampel milyader yang menjadi subjek penelitian ini memiliki superyacht.   

Halaman:
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement