Ini Cara AFPI Gaet Masyarakat Pilih Platform Pinjaman Online Legal
Kasus platform pinjaman online (fintech lending) ilegal tercatat masih banyak ditemukan. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengatakan punya empat cara agar masyarakat lebih memilih fintech lending berizin, agar tidak terjerat pinjaman online ilegal.
Cara pertama, adalah dengan membuat kode etik penagihan. "Kami atur, bagaimana etika yang benar dalam penagihan," kata Ketua Klaster Fintech Pendanaan Multiguna AFPI Rina Apriana dalam konferensi pers virtual pada Jumat (21/5).
Dalam kode etik tersebut, platform fintech lending anggota AFPI tidak boleh menggunakan ancaman kekerasan dan mempermalukan peminjam dalam penagihan. Mereka dilarang menggunakan kekerasan fisik maupun verbal ataupun menyebarkan data pribadi peminjam.
"Kalau ada praktik ini, kami ada situs resmi untuk melaporkannya," kata Rina. Situs AFPI menjelaskan laporan tersebut bisa melalui ke email pengaduan@afpi.or.id atau telepon bebas pulsa di nomor 150-505.
Cara kedua, melakukan sertifikasi tenaga penagihan. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi adanya pelanggaran-pelanggaran yang tidak diinginkan oleh tenaga penagihan.
Ketiga, mendiversifikasi pinjaman. AFPI mendorong platform fintech lending anggotanya agar tidak hanya memberikan pinjaman konsumtif saja, akan tetapi juga produktif.
Menurutnya diversifikasi produk pinjaman perlu dilakukan, sebab saat ini porsi pinjaman untuk sektor konsumtif dan multiguna masih mendominasi penyaluran pinjaman fintech lending. Hingga akhir 2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, porsi pinjaman produktif baru sebesar 35,7%.
Cara keempat, dengan melakukan inovasi. "Kami mengandalkan credit scoring serta e-kyc. Tidak semua pinjaman disetujui, tapi dilihat, layak atau tidak. Keputusan persetujuan pun cepat," kata Ketua Harian AFPI Kuseryansyah.
Menurutnya, dengan cara-cara ini, secara tidak langsung platform fintech lending telah melindungi calon peminjamnya dari beban pinjaman. Sebab, pinjaman yang disetujui tanpa memperhatikan kemampuan bayar akan menjadi beban bagi peminjam.
AFPI juga mengandalkan pusat data atau Fintech Data Center (FDC) yang bisa memberikan gambaran terkait calon peminjam. Data yang dibagikan oleh fintech lending melalui pusat data bukan berupa nama pengguna, melainkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Menurutnya, pusat data bisa mengantisipasi adanya peminjam nakal yang meminjam dana ke banyak platform.
Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam L Tobing mengatakan, masih banyak masyarakat yang meminjam dana ke platform fintech lending ilegal.
"Ini sangat membahayakan masyarakat," katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (20/5). Sebab, kegiatan penagihan utang pada platform fintech lending ilegal dilakukan secara tidak beretika. Bahkan, disertai dengan teror, intimidasi atau pelecehan.
Dia pun meminta agar masyarakat lebih jeli dan tidak mengakses platform ilegal. SWI mencatat, pada April kemarin, terdapat 86 platform fintech lending ilegal baru dan 26 kegiatan usaha tanpa izin yang berpotensi merugikan masyarakat.
Sejak 2018, SWI telah memblokir 3.198 fintech lending ilegal. Padahal, hingga saat ini OJK hanya memberikan izin usaha kepada 148 fintech lending yang terdaftar.
Maraknya fintech ilegal sejalan dengan meningkatnya jumlah pengaduan ke OJK. Pada Desember 2020, terdapat 6.787 aduan. Sementara pada Maret 2021, total pengaduan ke OJK mencapai 5.421 aduan.
Di luar OJK, tak sedikit nasabah fintech yang mengadukan masalahnya ke lembaga lain. Misalnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang pada Desember 2018 menerima 1.330 aduan. Jumlah aduan tersebut meningkat lebih tiga kali lipat menjadi 4.500 aduan pada Juni 2019.