Merger Bank Syariah BUMN, Bank Mandiri Jadi Pengendali 51% Saham BRIS
Rencana pemerintah menggabungkan bank syariah berstatus badan usaha milik negara, ditargetkan efektif pada 1 Februari 2021. Tapi, nama barunya belum ditentukan. Sebagai perusahaan penerima merger adalah PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), namun PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) yang akan menjadi pemegang saham pengendali.
Bank Mandiri akan memegang mayoritas saham BRI Syariah setelah merger. Sementara PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) yang saat ini memegang 73% BRI Syariah, akan terdilusi menjadi hanya 17,4%. Porsi saham publik di BRI Syariah pun nantinya hanya tinggal 4,4%.
Laporan mengenai nilai pasar wajar dari saham-saham bank peserta penggabungan, akan menjadi acuan dalam menghitung konversi menjadi saham BRI Syariah yang menerima penggabungan. Hal ini dijelaskan dalam prospektus terkait rencana penggabungan bank syariah, Rabu (21/10).
Dalam rencana penggabungan ini, dua bank syariah anak bank BUMN lainnya yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank BNI Syariah merupakan bank peserta penggabungan. Hampir 100% saham BSM dimiliki oleh Bank Mandiri. Sedangkan saham BNI Syariah 99,95% dimiliki oleh Bank Negara Indonesia (BNI) dan 0,05% dimiliki oleh BNI Life Insurance.
Sedangkan BRI Syariah saat ini dimiliki oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar 73% saham. Selain itu, ada DPLK BRI - Saham Syariah yang memegang saham BRI Syariah sebesar 8,53%. Lalu, sebagai bank BUMN syariah satu-satunya yang melantai di Bursa Efek Indonesia, masyarakat memiliki 18,47% saham BRI Syariah.
Per tanggal 30 Juni 2020, jumlah saham yang diterbitkan BRI Syariah adalah 9,71 miliar unit saham. Sementara, jumlah saham yang diterbitkan BSM adalah 597,80 juta unit saham. Lalu, jumlah saham yang diterbitkan BNI Syariah adalah 2,92 juta saham.
Sesuai dengan nilai saham per lembar dari masing-masing bank peserta penggabungan dan sehubungan dengan konversi untuk merger ini, setiap saham BSM setara dengan 34,97 saham dari bank hasil merger. Sementara, setiap saham BNI Syariah setara dengan 3.500,27 saham dari bank hasil merger.
Dengan demikian, jumlah saham yang diterbitkan oleh bank hasil merger pada tanggal efektif penggabungan adalah sebesar 40,84 miliar saham. Akan ada penerbitan saham baru sebanyak 31,13 miliar saham.
Dijelaskan, setiap saham yang dimiliki pemegang saham BSM berhak atas saham yang mencakup total penambahan 20,90 miliar unit saham di BRI Syariah. Jumlah saham tersebut merepresentasikan 51,2% peningkatan modal di bank hasil merger. Sehingga, Bank Mandiri bakal menjadi pemegang saham mayoritas dari bank hasil merger.
Sementara, setiap saham yang dimiliki pemegang saham BNI Syariah, berhak atas saham sebanyak 10,22 miliar unit saham di BRI Syariah. Kepemilikan tersebut, merepresentasikan 25% peningkatan modal di bank hasil merger.
Selanjutnya, BRI akan memiliki saham sebanyak 7,09 miliar saham bank hasil merger tersebut atau setara dengan 17,4% dari total seluruh saham. Lebih lanjut, DPLK BRI - Saham Syariah yang sebelumnya juga memiliki saham BRI Syariah, kini memegang 828,94 juta unit saham atau setara 2%.
Adapun, bank hasil merger ini bakal tetap melantai di bursa sebagai emiten, karena masih mempertahankan kepemilikan publik dan sahamnya masih bisa diperdagangkan. Porsi kepemilikan masyarakat yang sebelumnya sebanyak 1,79 miliar unit saham di BRI Syariah, persentasenya berubah dari 18,47% menjadi hanya 4,4%.
Latar belakang dimergernya bank syariah milik negara ini karena Indonesia merupakan negara dengan komposisi penduduk muslim yang cukup tinggi. Meskipun demikian, tingkat penetrasi aset syariah dibandingkan dengan aset perbankan secara umum di Indonesia pada 2019 masih tergolong rendah, yaitu dibawah 8%.
Jika dibandingkan dengan penetrasi aset syariah pada 2019 di negara-negara dengan jumlah penduduk muslim yang tinggi seperti Malaysia, Kuwait, Bahrain, Brunei, dan Saudi Arabia yang rata-rata di atas 20% dan bahkan ada yang mencapai diatas 50%, penetrasi di Indonesia tergolong rendah.
Kemampuan bank syariah di Indonesia saat ini, khususnya ketiga bank syariah BUMN, untuk mendapatkan pendanaan melalui sukuk juga terbatas. Penerbitan sukuk dibandingkan surat utang konvensional di Malaysia, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab rata-rata di atas 20% per April 2020.
"Sedangkan penerbitan sukuk dibandingkan surat utang konvensional di Indonesia masih di bawah 5% per April 2020," seperti dikutip dari prospektus ringkas tersebut.
Saat ini di Indonesia belum terdapat bank syariah yang memiliki kemampuan, baik dari sisi finansial maupun teknologi, untuk dapat memenuhi kebutuhan nasabah dan meraih pangsa pasar syariah yang saat ini belum terjamah. Khususnya pangsa pasar yang dapat diraih hanya oleh bank yang memiliki skala besar.
Dengan adanya rencana merger ini, diharapkan bank syariah BUMN memiliki modal dan aset yang cukup, dari segi finansial, sumber daya manusia, sistem teknologi informasi maupun produk-produk untuk dapat memenuhi kebutuhan nasabah sesuai dengan prinsip syariah.
Dengan lebih dari 200 juta populasi muslim di Indonesia dan penetrasi keuangan syariah yang masih rendah pada saat ini yaitu kurang dari 7%, menunjukkan potensi bank syariah kedepannya masih sangat besar dan dengan adanya merger ini.
"Maka diharapkan bank hasil penggabungan akan memiliki permodalan dan kapasitas yang memadai untuk mengoptimalkan potensi tersebut," dikutip dari prospektus tersebut.
Indonesia Peringkat 1 Dunia dalam Pengembangan Keuangan Syariah
Fokus Bisnis Bank Syariah BUMN Hasil Merger
Bank hasil penggabungan akan memiliki modal dan aset yang kuat dari segi finansial, sumber daya manusia, sistem teknologi informasi, maupun produk dan layanan keuangan untuk dapat memenuhi kebutuhan nasabah sesuai dengan prinsip syariah.
Hal ini diharapkan mampu meningkatkan penetrasi aset syariah serta meningkatkan daya saing untuk mencapai visi untuk menjadi salah satu dari 10 bank syariah terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar secara global dalam waktu 5 tahun.
Total aset dari bank hasil penggabungan akan mencapai Rp 214,6 triliun dengan modal inti lebih dari Rp20,4 triliun. Dengan demikian bank ini masuk ke dalam 10 bank terbesar di Indonesia dari sisi aset dan 10 bank syariah terbesar di dunia dari sisi kapitalisasi pasar. Bank hasil penggabungan akan tetap menjadi perusahaan terbuka dan tercatat di Bursa Efek Indonesia dengan ticker code BRIS.
Berdasarkan prospektusnya, bank syariah hasil merger ini akan fokus pada beberapa segmen bisnis pembiayaan. Di segmen ritel, bank hasil penggabungan bakal menyalurkan pembiayaan untuk keperluan ibadah haji dan umrah, ZISWAF, pendidikan, kesehatan, dan remitansi internasional.
Di segmen korporasi dan wholesale, syariah hasil merger ini akan memiliki kemampuan untuk masuk ke dalam sektor-sektor industri yang belum terpenetrasi maksimal oleh perbankan Syariah. Selain itu, bank ini juga dapat membiayai proyek-proyek infrastruktur yang berskala besar dan sejalan dengan rencana Pemerintah dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.
"Di samping itu, bank hasil penggabungan akan menyasar investor global lewat produk-produk syariah yang kompetitif dan inovatif," seperti dikutip dari prospektus.
Sementara, di segmen UKM dan Mikro, bank hasil merger ini tetap terus memberikan pembiayaan melalui produk dan layanan keuangan Syariah, baik secara langsung maupun melalui sinergi dengan bank-bank Himbara dan Pemerintah Indonesia.