Omnibus Law Adalah: Pengertian dan Pasal Kontroversinya

Image title
27 Agustus 2021, 13:36
Omnibus Law adalah paket hukum yang sempat mendapat penolakan keras dari para buruh.
ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.
Omnibus Law adalah paket hukum yang sempat mendapat penolakan keras dari para buruh.

Belum lama ini, polemik Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) kembali memanas. Ribuan buruh dari berbagai perusahaan kembali menyoroti UU ini terkait Sidang Uji Formil UU Ciptaker yang dilaksanakan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 25 Agustus 2021.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan para buruh menuntut tiga hal yang berfokus pada pembatalan Omnibus Law UU Ciptaker oleh MK, penurunan angka penularan kematian buruh akibat Covid-19, meningkatkan vaksinasi untuk buruh, bendung ledakan PHK, dan pemberlakuan upah minimum sektoral kabupetan/kota (UMSK) 2021.

Sejak masih tahap rancangan, undang-undang ini memang sudah menuai kontroversi, utamanya penolakan dari para buruh. Lalu apa itu Omnibus Law UU Cipta Kerja?

Pengertian Omnibus Law

Secara terminologi, omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti “untuk semuanya”. Sementara, dari segi hukum, omnibus law adalah satu undang-undang yang mengatur banyak hal atau mencakup banyak aturan di dalamnya.

Omnibus law juga bisa disebut sebagai metode pembuatan regulasi yang menghimpun sejumlah aturan di mana esensi setiap aturan berbeda-beda, namun tergabung dalam satu paket hukum.

Sementara itu, Omnibus Law Ciptaker merupakan salah satu regulasi yang dibukukan dalam Omnibus Law. Terdapat tiga aturan yang tercantum dalam metode hukum ini, selain Ciptaker, ada juga regulasi terkait Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, serta Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Namun, dari ketiganya, UU Ciptaker paling banyak menuai sorotan publik lantaran dinilai banyak memuat pasal-pasal kontroversial yang merugikan para buruh dan hanya mementingkan kepentingan investor.

Mengutip Naskah Akademik Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat 11 klaster yang terkandung dalam peraturan, yaitu:

  • Perizinan dan Kegiatan Usaha Sektor
  • Koperasi dan UMKM serta Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
  • Investasi
  • Ketenagakerjaan
  • Fasilitas Fiskal
  • Penataan Ruang
  • Lahan dan Hak Atas Tanah
  • Lingkungan Hidup
  • Konstruksi dan Perumahan
  • Kawasan Ekonomi
  • Barang dan Jasa Pemerintah

Pasal Kontroversial

Dalam perjalanannya, Omnibus Law Ciptaker mendapat penolakan dari ribuan buruh, beberapa dari mereka menolak sejumlah pasal yang terkait dalam undang-undang tersebut yang dinilai merugikan dan mengabaikan kepentingan buruh di Indonesia. Adapun penolakan tersebut, di antaranya:

1. Upah minimum bersyarat

Dalam RUU Ciptaker, Upah Minimum Sektoral (UMSK) dihapuskan dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memerhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi.

Menurut Said Iqbal, UMSK harus tetap ada dan UMK seharusnya tidak dibuat bersyarat. Ia juga menampik anggapan yang menyebut UMK Indonesia lebih besar dari negara-negara ASEAN lainnya.

Ia menyebut solusi yang tepat dalam pemecahan masalah tersebut, ialah dengan penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang memperoleh UMSK bisa dieksekusi di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis indsutri tertentu saja.

2. Pesangon berkurang

Selain upah minimum, buruh juga menolak pemangkasan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah. Dalam UU Ciptaker, 19 bulan dilunasi oleh pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Sebagian besar buruh kebigungan dan mempertanyakan dari mana BPJS bisa memperoleh dana untuk membayar pesangon buruh.

3. Penghapusan batas waktu PKWT

Skema penghapusan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mendapat penolakan keras dari para buruh. Mereka beranggap, dengan adanya pasal tersebut buruh bisa saja bekerja seumur hidup tanpa jaminan diangkat menjadi karyawan tetap perusahaan.

4. Waktu kerja berlebihan

Buruh menilai waktu kerja yang tertuang dalam UU Ciptaker terlalu berlebihan dan cenderung eksploitatif terhadap buruh. Durasi pekerjaan paruh waktu menjadi paling  lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sementara, untuk buruh di sektor migas, perkebunan, pertambangan, dan sejenisnya, durasi jam kerja bisa melebihi 8 jam per hari.

5. Outsourcing seumur hidup

Buruh beranggapan, lewat UU Ciptaker kontrak outsourcing bisa saja seumur hidup dan diterapkan tanpa batas jenis pekerjaan.

6. Hilangnya hak upah cuti

UU Ciptaker dinilai memangkas hak buruh perempuan. Pasalnya, walaupun cuti haid dan melahirkan tidak dihapuskan, namun selama cuti tersebut para buruh tidak akan menerima bayaran.

"Yang hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar, no work no pay. Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya," ujar Iqbal.

KSPI menununtut agar buruh perempuan yang mengambil cuti haid dan melahirkan tetap menerima haknya dan mendapat bayaran sebagai pekerja. Apabila hak tersebut dilanggar, maka akan bertentangan dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

7. Kompensasi minimal 1 tahun

UU ini mengatur kompensasi bagi buruh yang akan diberikan apabila masa kerja telah mencapai minimal satu tahun. Di lain sisi, kontrak kerja sudah tidak memiliki batasan waktu. Pihak buruh khawatir, pekerja yang dikontrak di bawah satu tahun tidak akan bisa merasakan manfaat kompensasi kerja.

Dengan aturan seperti itu, para buruh menganggap pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing perlu dipertanyakan lantaran tidak memiliki kejelasan. Selain itu, pengusaha juga bisa mengontrak buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi.

"Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70% sampai 80% dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, apakah mau dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap?” kata Iqbal.

8. Pemangkasan hari libur

Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, para pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Selain itu, Pasal ini juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan istirahat panjang dua bulan kepada pekerja yang telah berbakti selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun. Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan penuh. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja antar pihak yang melakukan kesepakatan kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Disahkan DPR dan Diteken Jokowi

Melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 5 Oktober 2020, UU Cipta Kerja resmi disahkan. Dalam rapat tersebut turut hadir beberapa pihak terkait, di antaranya Menaker Ida Fauziah, Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, Menkeu Sri Mulyani, dan masih banyak lagi.

Terdapat 7 UU yang dikeluarkan dari pembahasan UU Cipta Kerja, khususnya UU tentang pendidikan, serta 4 UU yang dimasukkan ke pembahasan. Selain itu, ada juga perubahan terkait jumlah bab dan pasal dalam RUU Ciptaker. Saat disahkan oleh DPR, aturan itu setebal 905 halaman.

Omnibus UU Cipta Kerja resmi diundangkan pada 2 November 2020 dengan jumlah halaman final 1.187 lembar. Dokumen terkait UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bisa diakses melalui situs resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Sekretariat Negara (JDIH Setneg).

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...