Sinyal Kuat Perpanjangan Izin Pertambangan Batu Bara Kakap
Pemerintah masih menggodok tiga rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai turunan dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batu bara. Ketiga aturan ini masing-masing tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan, wilayah pertambangan, serta pengawasan reklamasi dan pascatambang.
Dari ketiga aturan itu, PP terkait pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba akan diterbitkan dalam waktu dekat. Pasalnya, perjanjian karya pertambangan batu bara (PKP2B) PT Arutmin Indonesia akan habis kontraknya pada 1 November 2020. Perusahaan berharap pemerintah segera memberi kepastian agar statusnya dapat berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif menyebut pemerintah tengah mengebut untuk merampungkan PP tersebut Harapannya, salah satu perusahaan batu bara yang habis kontraknya dalam waktu dekat mendapat kepastian usaha. "PP pengusahaan minerba akan dirilis bulan Oktober. Saat ini masih sosialisasi ke stakeholder," ujar Irwandy kepada Katadata.co.id, Rabu (30/9).
Irwandy menyebut poin-poin dalam RPP yang saat ini tengah dirancang pemerintah cukup krusial. Termasuk di dalamnya soal penerimaan negara, pendelegasian wewenang ke pemerintah provinsi, perpanjangan PKP2B ke IUPK, ketahanan cadangan, nilai tambah minerba, jaminan ketahanan cadangan, nilai tambah minerba, perlindungan lingkungan, pemberdayaan, pengembangan masyarakat dan lain-lain.
Direktur Jenderal Minerba Ridwan Djamaluddin mengatakan penyelesaian RPP turunan UU Minerba sangat penting untuk kelanjutan kegiatan usaha perusahaan batu bara. Isi dalan draf memang mendapat kritik sejumlah pihak. Pemerintah saat ini dalam posisi siap menerima masukan. “Kami sadar tidak ada yang sempurna. Kalau ada yang perlu diubah, mari sama-sama mengubahnya,” ucapnya dalam acara Ulang Tahun ke-31 Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) secara virtual siang tadi.
Setidaknya ada tujuh PKP2B generasi pertama yang kontraknya akan berakhir mulai dari 2020 hingga 2025. Selain Arutmin, enam perusahaan lainnya adalah adalah PT Kendilo Coal Indonesia (habis kontrak pada 13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).
Dari ketujuh PKP2B itu, sudah ada tiga yang mengajukan perpanjangan izin untuk berubah status menjadi IUPK. Ketiganya adalah PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal (KPC), dan PT Multi Harapan Utama.
Berdasarkan paparan Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada saat rapat dengan Komisi VII DPR beberapa waktu lalu, pemerintah telah melakukan evaluasi dokumen permohonan dan kinerja Arutmin. Hasilnya, kinerja perusahaan dinilai baik. Untuk KPC dan Multi Harapan Utama, Ditjen Minerba sedang melakukan evaluasi dokumen permohonan.
Dalam draf RPP yang diperoleh Katadata.co.id, pasal 187 menyebutkan pemegang PKP2B yang telah mengajukan permohonan perpanjangan menjadi IUPK kepada Menteri ESDM sebelum peraturan pemerintah ini diundangkan harus menyesuaikan permohonan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak, kecuali terkait rencana pengembangan dan/atau pemanfaatan batu bara.
Dalam pasal tersebut juga tertulis Menteri ESDM memberikan persetujuan permohonan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sebelum berakhirnya PKP2B.
Persetujuan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian harus mempertimbangkan beberapa hal. Di antaranya adalah keberlanjutan operasi dan optimalisasi potensi cadangan batu bara dalam rangka konservasi dari WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi dan kepentingan nasional.
Menteri ESDM dapat menolak permohonan IUPK berdasarkan hasil evaluasi terhadap persyaratan perpanjangan dan evaluasi terhadap kinerja pengusahaan pertambangan. Penolakannya harus disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sebelum berakhirnya PKP2B disertai dengan alasan.
Nasib PKP2B Jelang Berakhirnya Kontrak
Lantas, bagaimana nasib PKP2B yang berakhir kontraknya pada 1 November nanti apabila aturan turunan UU Minerba tak kunjung terbit? Mengacu pada drat RPP itu, Menteri ESDM paling tidak harus memberikan persetujuan esok hari, yaitu 1 Oktober 2020.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava tidak berkomentar lebih jauh terkait proses perpanjangan yang telah diajukan dua anak usahanya, PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal (KPC). Pihaknya lebih memilih menunggu. "Kami menunggu keputusan resmi dan final dari pihak berwenang untuk mengubah status kami menjadi IUPK. Semoga segera," kata dia.
Dihubungi secara terpisah, General Manager Legal & External Affairs Arutmin Indonesia Ezra Sibarani menjelaskan draf RPP tersebut belum berlaku. Perusahaan meyakini pemerintah dalam melaksanakan evaluasi memperhatikan dan mempertimbangkan peraturan terkait. "Kami sudah menyampaikan syarat-syarat yang diminta. Semoga dapat memenuhi ketentuan dan arahan dari Ditjen Minerba," ujarnya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif pada Agustus lalu menyebut rencana penerbitan IUPK muncul menyusul akan habisnya PKP2B milik salah satu perusahan tambang. Pertimbangan utama pemerintah menerbitkan izin itu adalah agar perusahaan mendapatkan kepastian kelangsungan usaha. “Karena kalau tidak, negara akan kehilangan pendapatan,” katanya.
Produksi batu bara Indonesia cenderung stabil di angka lebih 400 juta ton per tahun. Sebagian besar produksinya untuk pasar ekspor. Ada pula prioritas untuk kebutuhan energi primer dalam negeri, yaitu bahan bakar pembangkit.
Hasil tambang itu kerap menjadi andalan ekspor nonmigas Indonesia. Data Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspornya pada 2018 mencapai US$ 20,63 miliar atau setara Rp 289 triliun. Jumlah tersebut meningkat 15,42% dari tahun sebelumnya, seperti tampak pada grafik Databoks di bawah ini.
Nah, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan sebesar 147,6 miliar ton yang tersebar di 21 provinsi. Dari jumlah tersebut, sumber daya paling banyak terdapat di Sumatera Selatan, yakni 50,2 miliar ton.
Protes Pengesahan RPP Pertambangan Bermunculan
Belum rampung urusan izin, berbagai protes bermunculan seiring penyusunan aturan turunan UU Minerba. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia mendesak pemerintah membatalkan pembahasan sejumlah RPP itu.
Ketua Divisi Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan menilai pembahasan aturan sebaiknya ditunda sampai proses judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi selesai. Gugatan undang-undang itu telah masuk ke MK pada pertengahan Juli lalu.
Pemerintah sebaiknya lebih cermat dalam proses penyusunan RPP karena proses hukum lain sedang berjalan. "Bisa dikatakan (RPP) itu akan mubazir apabila judicial review dikabulkan," ujar Arip dalam diksusi secara virtual, pada 15 September lalu.
Peneliti Publish What You Pay Indonesia, Aryanto Nugroho menilai RPP turunan yang saat ini tengah dibahas oleh pemerintah sarat dengan polemik. Salah satu pasal yang bermasalah adalah terkait permohonan izin dan perubahan perpanjangan kontrak dari PKP2B menjadi IUPK.
Dia menduga pembahasan RPP tersebut dikebut guna memfasilitasi PKP2B yang akan habis kontraknya dalam waktu dekat. "Menteri ESDM punya beberapa staf khusus termasuk percepatan perbaikan tata kelola minerba," ujarnya.
Pemerintah sebaiknya menunggu hasil putusan MK atas UU Minerba sebelum membahas dan menetapkan PP turunannya. "Alangkah lebih bijak pemerintah tidak buru-buru mengeluarkan PP ini," kata dia.
UU Minerba telah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 10 Juli lalu. Permohonan uji materi diajukan pimpinan kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) karena menganggap aturan itu meniadakan kewenangan daerah dan DPD.
Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan mengatakan UU Minerba menegasikan kewenangan pemeritahan daerah. Dalam aturan yang baru, seluruh kewenangan pertambangan ditarik ke pemerintah pusat. Karena itu, UU Minerba dianggap bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18A Undang-Undang Dasar 1945 serta semangat otonomi daerah.
"Kami mengajukan uji formil ini semata-mata ingin daerah dilibatkan dalam kewenangan pertambangan, apalagi urusan sumber daya alam ini sangat sensitif di masyarakat," ujar Erzaldi.
Pasal yang digugat yakni Pasal 35 ayat (1) berbunyi, "Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat", sementara ayat (5) berbunyi, "Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
UU Minerba juga dianggap melanggar ketentuan UUD 1945 karena tak melibatkan DPD. Hal ini bertentangan Pasal 22D UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 92/PUU-X/2012.