Daftar Pengutang BLBI, Ada 7 Debitur Masuk Prioritas Satgas
Penyelesaian kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia alias BLBI masuk babak baru. Perkara yang sudah berumur lebih 20 tahun ini ditaksir merugikan negara sebesar Rp 110 triliun.
Penanganannya kini di tangan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Pembentukannya pada Juni lalu melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
Satgas BLBI diberikan jangka waktu sampai dengan 31 Desember 2023 untuk menyelesaikan tugasnya. “Tim Satgas, kami harap, akan menggunakan seluruh instrumen yang ada di negara ini. Tentu masa tugas tiga tahun bisa dilaksanakan dengan kerja sama yang erat,” ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani pada, Jumat (04/06), dikutip dari situs Kementerian Keuangan.
Sri Mulyani sebelumnya menyebut utang BLBI senilai Rp 110,45 triliun berasal dari 22 obligor dan debitur. Berdasarkan data Satgas BLBI, setidaknya tujuh obligor/debitur sudah dipanggil untuk melunasi utang mereka.
Pada 26 Agustus, Satgas memanggil Agus Anwar yang memiliki utang BLBI sebesar Rp 635,4 miliar untuk Bank Pita Istimart. Namun, ia mangkir dari pemanggil ini karena pergi ke Singapura.
Satgas juga memanggil Pengurus PT Timor Putra Nasional, yaitu Tommy Soeharto beserta Ronny Hendrato. Utang perusahaan ini mencapai Rp 2,61 triliun. Keduanya mangkir hingga pemanggilan kedua.
Pada 7 September, Satgas memanggil Kaharudin Ongko dari Bank Umum Nasional dan Bank Arya Panduarta. Ia memiliki utang BLBI sebesar Rp 8,19 triliun. Kaharudin tidak memenuhi pemanggilan ini hingga Satgas mempublikasikannya lewat media massa.
Lalu, dua hari kemudian Satgas memanggil Setiawan Harjono (Steven Hui) dan Hendrawan Harjono (Xu Jing Nan) dari PT Bank Asia Pasific (Aspac). Mereka memiliki utang Rp 3,6 triliun.
Di hari yang sama, ada pula pemanggilan kepada Kwan Benny Ahadi. Obligor ini berutang Rp 157,72 miliar. Ia memenuhi panggilan secara virtual dari Kedutaan Besar RI di Singapura.
Selain pemanggilan, pada 27 Agustus 2021 pemerintah telah menyita aset berupa 49 bidang tanah seluas 5,2 juta meter persegi. Aset ini milik obligor maupun debitur penerima BLBI yang berada di Medan, Pekanbaru, Bogor, dan Tangerang.
Satgas juga berencana menyita lagi 1.672 bidang tanah dengan luas total sekitar 15,2 juta meter persegi. Kompas.com menuliskan, ada tujuh obligor atau debitur BLBI yang masuk dalam prioritas penanganan Satgas. Ketujuh obligor itu adalah:
- Trijono Gondokusumo dari Bank Putra Surya Perkasa, dengan utang Rp 4,89 triliun. Jaminan utang ada tapi tidak cukup.
- Kaharudin Ongko dari Bank Umum Nasional dengan utang Rp 7,38 triliun. Jaminan utang ada tapi tidak cukup.
- Sjamsul Nurmasil dari Bank Dewa Rutji dengan utang Rp. 470,66 miliar. Tidak ada jaminan utang tapi Sjamsul diperkirakan memiliki kemampuan membayar.
- Sujanto Gondokusumo dari Bank Dharmala dengan utang Rp 822,25 miliar. Tidak ada jaminan utang tapi Sujanto diperkirakan memiliki kemampuan membayar.
- Hindarto Tantular dan Anton Tantular dari Bank Central Dagang dengan utang Rp 1,47 triliun. Tidak ada jaminan utang tapi keduanya diperkirakan memiliki kemampuan membayar.
- Marimutu Sinivasan dari Grup Texmaco dengan utang Rp 31,72 triliun dan US$ 3,91 miliar. Jaminan utang ada tapi tidak cukup.
- Siti Hardianti Rukmana alias Tutut Soeharto. Anak pertama Presiden RI ke-2 Soeharto ini utangnya mencapai Rp 678,89 miliar dan US$ 6,52 juta. Jaminan utang tidak ada, hanya berupa surat keputusan (SK) proyek.
Asal Muasal BLBI
Krisis Moneter 1997-1998, kerap disebut pula krismon, adalah sejarah kelam perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah yang ambruk di tangan dolar Amerika Serikat membuat perekonomian rakyat morat-marit. Kondisi ini menyebabkan situasi politik pemerintahan Soeharto tidak stabil.
Terjadinya kerusuhan pada Mei 1998 di berbagai wilayah berujung pada lengsernya Soeharto. Ketika itu rupiah kolaps hingga 50% dari Rp 8.000 per dolar AS pada awal Mei menjadi Rp 16.000 per dolar AS pada medio Juni.
Sebenarnya krisis tersebut tidak hanya menimpa Indonesia. Berbagai negara di Asia juga banyak yang sama merasakannya seperti Filipina, Thailand, dan Korea Selatan juga mengalami hal yang sama. Namun, krisis ekonomi yang terjadi di negara ini dinilai yang paling buruk.
Bank Dunia mencatat pemulihan Indonesia berjalan paling lama dan sulit . Beberapa penyebabnya antara lain utang valas korporasi yang tinggi dan sistem perbankan yang lemah.
Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016) menyebutkan data terkait utang swasta tidak tersedia dengan akurat pada saat itu. Hal ini menyulitkan pemerintah untuk melakukan restrukturisasi. Setelah melakukan perhitungan nilai utang swasta mencapai US$ 33 miliar dolar AS, angkanya ternyata jauh lebih besar dari jumlah devisa negara.
Kondisi tersebut diperparah ditambah dengan tata kelola perbankan yang buruk dan riskan. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan menurun. Akibatnya, terjadi penarikan dana besar-besaran yang memperparah keadaan.
Apa Itu BLBI?
Untuk memperbaiki keadaan perbankan, pemerintah kala itu terpaksa melakukan blanket guarantee. Hal ini diceritakan Sri Mulyani dalam satu tayangan Youtube Kemenkeu pada 27 Agustus lalu.
“Krisis keuangan tersebut menyebabkan banyak bank-bank mengalami kesulitan dan pemerintah dipaksa untuk melakukan apa yang disebut penjamin blanket guarantee kepada seluruh perbankan Indonesia saat itu, dan dalam situasi itu banyak bank yang mengalami penutupan atau merger atau akuisisi,” katanya.
Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, maka Bank Indonesia memberikan bantuan likuiditas kepada bank yang mengalami kesulitan. Bantuan likuiditas itu dibiayai dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah dan sampai sekarang masih dipegang Bank Indonesia.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) talangan dana ini diberikan pemerintah kepada 48 bank komersial yang bermasalah saat itu. Di antaranya adalah Bank Central Asia (BCA) milik Sudono Salim, Bank Umum Nasional milik Mohamad ‘Bob’ Hasan, Bank Surya milik Sudwikatmono, Bank Yasin Makmur milik Siti Hardiyanti Rukmana, Bank Papan Sejahtera milik Hasjim Djojohadikusumo, Bank Nusa Nasional milik Nirwan Bakrie, Bank Risjad Salim Internasional milik Ibrahim Risjad.
Total dana talangan BLB yang dikeluarkan sebesar R. 144,5 triliun. Namun 95% dana tersebut atau Rp 138,442 triliun ternyata diselewengkan, skandal ini dinilai sebagai korupsi paling besar sepanjang sejarah Indonesia.
Siapa Saja yang Terlibat?
Proses penegakan hukum pun berjalan sangat lambat bahkan belum selesai sampai sekarang. Hal ini terjadi karena skala korupsi yang sangat masif dan melibatkan tidak hanya para taipan tapi juga banyak pejabat negara yang turut bermain tangan.
Pada 2003 vonis perdana bagi para terdakwa skandal BLBI dijatuhkan bagi para oknum pejabat BI yang bersekongkol dengan pemilik bank. Sederet nama pejabat BI seperti Hendro Budiyanto, Heru Supratomo, hingga Paul Sutopo Tjokronegoro dijebloskan ke penjara.
Untuk para taipan beberapa sudah ditetapkan bersalah oleh pengadilan, yaitu mantan Presiden Direktur Bank Ficorinvest Supari Dhirdjoprawiro dan S. Soemeri yang dihukum satu tahun enam bulan penjara. Keduanya harus membayar uang pengganti sebesar Rp 16,9 miliar oleh PN Jakart Selatan pada tanggal 13 Agustus 2003.
Walau begitu banyak para terpidana kasus korupsi BLBI yang kabur ke luar negeri. Misalnya, Sherny Kojongian yang telah buron selama 10 tahun dan akhirnya tertangkap pada 2012 bersembunyi di Amerika Serikat.
Ada beberapa nama yang juga berhasil diekstradisi ke Indonesia seperti Dirut Bank Surya Adrian Kiki Ariawan pada 2014. Dan Samadikun Hartono pemilik Bank Modern pada 2016.
Namun, kasus BLB jauh dari kata selesai bahkan bagaikan benang yang semrawut. Konsistensi para penegak hukum juga dipertanyakan.
Terutama ketika KPK mengeluarkan SP3 alias Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan untuk kasus korupsi BLBI yang menyeret nama Sjamsul Nursalim. Ia adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Mantan pimpinan KPK Busyro Muqqodas mengkritik keputusan tersebut. “Ucapan ‘sukses besar’ bagi pemerintah Jokowi yang mengusulkan revisi Undang-Undang KPK yang disetujui DPR juga parpol-parpol yang bersangkutan. Itulah penerapan kewenangan menerbitkan SP3 oleh KPK Wajah Baru,” kata Busyro pada awal April 2021.
Penyumbang bahan: Dhia Al Fajr (magang)