Daftar Pengutang BLBI, Ada 7 Debitur Masuk Prioritas Satgas

Sorta Tobing
19 September 2021, 19:00
BLBI, Satgas BLBI, Sri Mulyani, Bank Indonesia, daftar pengutang blbi, daftar debitur blbi
Katadata
Ilustrasi Satgas BLBI.

Penyelesaian kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia alias BLBI masuk babak baru. Perkara yang sudah berumur lebih 20 tahun ini ditaksir merugikan negara sebesar Rp 110 triliun. 

Penanganannya kini di tangan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Pembentukannya pada Juni lalu melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.

Satgas BLBI diberikan jangka waktu sampai dengan 31 Desember 2023 untuk menyelesaikan tugasnya. “Tim Satgas, kami harap, akan menggunakan seluruh instrumen yang ada di negara ini. Tentu masa tugas tiga tahun bisa dilaksanakan dengan kerja sama yang erat,” ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani pada, Jumat (04/06), dikutip dari situs Kementerian Keuangan.

Sri Mulyani sebelumnya menyebut utang BLBI senilai Rp 110,45 triliun berasal dari 22 obligor dan debitur. Berdasarkan data Satgas BLBI, setidaknya tujuh obligor/debitur sudah dipanggil untuk melunasi utang mereka. 

Pada 26 Agustus, Satgas memanggil Agus Anwar yang memiliki utang BLBI sebesar Rp 635,4 miliar untuk Bank Pita Istimart. Namun, ia mangkir dari pemanggil ini karena pergi ke Singapura. 

Satgas juga memanggil Pengurus PT Timor Putra Nasional, yaitu Tommy Soeharto beserta Ronny Hendrato. Utang perusahaan ini mencapai Rp 2,61 triliun. Keduanya mangkir hingga pemanggilan kedua. 

Pada 7 September, Satgas memanggil Kaharudin Ongko dari Bank Umum Nasional dan Bank Arya Panduarta. Ia memiliki utang BLBI sebesar Rp 8,19 triliun. Kaharudin tidak memenuhi pemanggilan ini hingga Satgas mempublikasikannya lewat media massa. 

Lalu, dua hari kemudian Satgas memanggil Setiawan Harjono (Steven Hui) dan Hendrawan Harjono (Xu Jing Nan) dari PT Bank Asia Pasific (Aspac). Mereka memiliki utang Rp 3,6 triliun.

Di hari yang sama, ada pula pemanggilan kepada Kwan Benny Ahadi. Obligor ini berutang Rp 157,72 miliar. Ia memenuhi panggilan secara virtual dari Kedutaan Besar RI di Singapura. 

Selain pemanggilan, pada 27 Agustus 2021 pemerintah telah menyita aset berupa 49 bidang tanah seluas 5,2 juta meter persegi. Aset ini milik obligor maupun debitur penerima BLBI yang berada di Medan, Pekanbaru, Bogor, dan Tangerang. 

Satgas juga berencana menyita lagi 1.672 bidang tanah dengan luas total sekitar 15,2 juta meter persegi. Kompas.com menuliskan, ada tujuh obligor atau debitur BLBI yang masuk dalam prioritas penanganan Satgas. Ketujuh obligor itu adalah:

  1. Trijono Gondokusumo dari Bank Putra Surya Perkasa, dengan utang Rp 4,89 triliun. Jaminan utang ada tapi tidak cukup. 
  2. Kaharudin Ongko dari Bank Umum Nasional dengan utang Rp 7,38 triliun. Jaminan utang ada tapi tidak cukup.
  3. Sjamsul Nurmasil dari Bank Dewa Rutji dengan utang Rp. 470,66 miliar. Tidak ada jaminan utang tapi Sjamsul diperkirakan memiliki kemampuan membayar. 
  4. Sujanto Gondokusumo dari Bank Dharmala dengan utang Rp 822,25 miliar. Tidak ada jaminan utang tapi Sujanto diperkirakan memiliki kemampuan membayar.
  5. Hindarto Tantular dan Anton Tantular dari Bank Central Dagang dengan utang Rp 1,47 triliun. Tidak ada jaminan utang tapi keduanya diperkirakan memiliki kemampuan membayar.
  6. Marimutu Sinivasan dari Grup Texmaco dengan utang Rp 31,72 triliun dan US$ 3,91 miliar. Jaminan utang ada tapi tidak cukup.
  7. Siti Hardianti Rukmana alias Tutut Soeharto. Anak pertama Presiden RI ke-2 Soeharto ini utangnya mencapai Rp 678,89 miliar dan US$ 6,52 juta. Jaminan utang tidak ada, hanya berupa surat keputusan (SK) proyek.
PELANTIKAN TIM SATGAS BLBI
Tim Satgas BLBI.  (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.)

Asal Muasal BLBI

Krisis Moneter 1997-1998, kerap disebut pula krismon, adalah sejarah kelam perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah yang ambruk di tangan dolar Amerika Serikat membuat perekonomian rakyat morat-marit. Kondisi ini menyebabkan situasi politik pemerintahan Soeharto tidak stabil.

Terjadinya kerusuhan pada Mei 1998 di berbagai wilayah berujung pada lengsernya Soeharto. Ketika itu rupiah kolaps hingga 50% dari Rp 8.000 per dolar AS pada awal Mei menjadi Rp 16.000 per dolar AS pada medio Juni.

Sebenarnya krisis tersebut tidak hanya menimpa Indonesia. Berbagai negara di Asia juga banyak yang sama merasakannya seperti Filipina, Thailand, dan Korea Selatan juga mengalami hal yang sama. Namun, krisis ekonomi yang terjadi di negara ini dinilai yang paling buruk. 

Bank Dunia mencatat pemulihan Indonesia berjalan paling lama dan sulit . Beberapa penyebabnya antara lain utang valas korporasi yang tinggi dan sistem perbankan yang lemah.

Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016) menyebutkan data terkait utang swasta tidak tersedia dengan akurat pada saat itu. Hal ini menyulitkan pemerintah untuk melakukan restrukturisasi. Setelah melakukan perhitungan nilai utang swasta mencapai  US$ 33 miliar dolar AS, angkanya ternyata jauh lebih besar dari jumlah devisa negara.

Kondisi tersebut diperparah ditambah dengan tata kelola perbankan yang buruk dan riskan. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan menurun. Akibatnya, terjadi penarikan dana besar-besaran yang memperparah keadaan. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...