Pro-Kontra Masuknya Energi Nuklir dalam RUU Energi Terbarukan
Masuknya energi nuklir dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (RUU EBT) menjadi perdebatan. Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Mahawira Singh Dillon menyebutkan sejumlah alasan mengapa memasukkan hal itu tidak tepat.
Pertama, secara geografis Indonesia terletak di kawasan Cicin Api yang aktif sehingga rawan gempa dan tsunami. “Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu pembangkit listrik tenaga listrik (PLTN),” katanya dalam diskusi virtual, Rabu (23/9). Kasus kebocoran radioaktif PLTN Fukushima di Jepang merupakan dampak setelah gempa bumi dan tsunami pada 2011.
Penyimpanan limbah pembangkit listrik itu juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air. Kondisinya sangat sulit untuk Indonesia. Bila limbah nuklir bocor ke dalam air tanah, dampaknya sangat berbahaya.
Kedua, masuknya nuklir dalam rancangan undang-undang EBT merupakan langkah kontraproduktif dengan asas ketahanan, keberlanjutan, kedaulatan, dan kemandirian energi. Faktanya, pasokan uranium negara ini hanya dapat mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas seribu megawatt selama enam hingga tujuh tahun saja.
Kalau bersikeras menjadikan nuklir sebagai energi baru, Wira memprediksi Indonesia akan bergantung pada impor uranium dari luar negeri. Alih-alih memakai bahan bakar berisiko, lebih baik pemerintah memanfaatkan energi terbarukan, seperti surya, air, angina, biomassa, dan panas bumi.
Sumber energi tersebut melimpah dan pembangunan pembangkitnya dapat diterapkan dari skala kecil hingga besar. “Dari perkotaan hingga area terpencil,” ujar Wira.
Energy Project Lead Yayasan WWF Indonesia Indra Sari Wardhani pun sepakat agar nuklir keluar dari RUU EBT. “Dari draf yang kami lihat, dari pasal 6 sampai 22 spesifik membahas nuklir. Energi terbarukan sedikit disinggung. Ini aneh buat saya,” katanya. Padahal, revisi UU Ketenaganukliran juga masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2020-2024.
RUU EBT seharusnya menjadi payung hukum untuk dapat menggantikan peran energi fosil yang cadangannya semakin menipis serta berdampak buruk bagi lingkungan. “Pengembangan energi terbarukan juga untuk mengatasi krisis energi,” ucapnya.
Perumusannya juga harus menjadi komitmen untuk menjadikan energi terbarukan sebagai bagian ketahanan dan kedaulatan energi, penanggulangan krisis iklim serta pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Pro-Kontra Soal Nuklir
Pembahasan RUU itu telah masuk Prolegnas Prioritas 2020. Proses penyusunannya telah dimulai sejak Januari 2017 ketika Komisi II DPD RI mengadakan rapat dengar pendapat dengan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).
Draf aturan yang terbaru itu mengundang sejumlah kritik. Thorcon, pengusaha energi nuklir asal Amerika Serikat yang fokus mengembangkan PLTN di Indonesia, menyebut beberapa pasal RUU EBT berbeda dengan konsep sebelumnya.
Kepala Perwakilan ThorCon International, Pte Ltd, Bob S Effendi mengatakan perubahan itu berpotensi menghambat keran investasi. Misalnya, pasal 7 ayat 3 menyebutkan pembangunan PLTN hanya dikerjakan oleh badan usaha milik negara atau BUMN khusus. “Hal ini tentu menutup peluang swasta yang akan investasi, seperti Thorcon,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin lalu.
Tak hanya itu, pasal tersebut juga dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran dan undang-undang anti monopoli. Bob menilai keputusan itu juga tak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang membuka peluang investasi seluas-luasnya.
Dugaannya, ada yang menyelundupkan pasal tersebut. "Saya pun baru tahu Jumat kemarin karena dalam draf Juni 2020 tidak demikian bunyinya," ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat RUU EBT sebaiknya fokus pada pengembangan energi terbarukan, bukan nuklir. Pasalnya, penggunaan nuklir telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1999 tentang ketenaganukliran. "Jadi, kalau dirasa perlu untuk mengatur PLTN lebih lanjut, revisi saja UU ketenaganukliran," ujarnya.
Indonesia sebenarnya tetap dapat memenuhi kebutuhan energi di masa depan tanpa harus bergantung pada nuklir. Hal ini mengingat teknologi yang digunakan masih berisiko tinggi dan mahal. "Kalau ada yang bilang PLTN itu murah, itu tidak bertanggung jawab," kata Fabby.
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia atau METI mengusulkan agar UU EBT dinamai UU Energi Terbarukan (ET). Ketua METI Surya Dharma menyarankan semua kata yang mengandung energi baru untuk dihapus. "Selaras dengan tujuannya, UU ET untuk memberikan kepastian regulasi pengembangan dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia," kata dia.
Total produksi PLTN secara global mencapai 2.796 terawatt (triliun watt) per jam pada 2019. Amerika Serikat merupakan negara dengan PLTN terbesar di dunia. Tiongkok menyusul dengan memproduksi listrik bertenaga nuklir sebesar 348,7 triliun watt per jam, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Kamar Dagang Indonesia pun berharap dalam penyusunan RUU EBT kali ini, pemerintah dan DPR tetap fokus pada pengembangan energi terbarukan. Nuklir sebaiknya tidak masuk dalam aturan tersebut. "Kami berharap nuklir jadi badan lain dengan high technology," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi Terbarukan Halim Kalla
Namun, Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) mempunyai padangan yang berbeda. Ketua Umum MKI Wiluyo Kusdwiharto menilai penamaan UU EBT sudah tepat sehingga energi nuklir masih dapat terwadahi.
Persiapan pembangunan PLTN dapat dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan UU ketenagalistrikan dan peraturan turunannya. "Pelaksanaan penelitian dan pengembangan energi nuklir dan sumber daya nuklir dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan UU ketenaganukliran dan peraturan turunannya," uja Wiluyo.