Shell Akan Hapus Emisi Karbon Kegiatan Operasionalnya di Jerman
Royal Dutch Shell akan menjadikan wilayah operasinya di Jerman menjadi bebas emisi karbon. Rencana ini sejalan dengan target perusahaan asal Belanda itu untuk mencapai 0% emisi pada 2050.
Kapasitas produksi hidrogen hijau di kilang Cologne Rheinland bakal naik sepuluh kali lipat pada 2030. Rencana meningkatkan produksi kilang terbesar di Jerman ini merupakan upaya jangka panjang untuk mengganti pemrosesan minyak mentah di sana.
“Kami mendukung Jerman menjadi negara dengan bebas emisi. Transformasi Shell ini telah dimulai dan akan dipercepat,” kata pemimpin perusahaan di negara itu Fabien Ziegler dalam pernyataannya, dikutip dari Reuters, Rabu (30/9).
Perusahaan akan menyiapkan ladang angin lepas pantai yang sebagian listriknya untuk menghasilkan hidrogen hijau. Hidrogen dianggap sebagai bahan bakar ramah lingkungan karena memakai listrik dari sumber energi terbarukan. Shell juga akan melengkapi seribu unit stasiun pengisian bahan bakar di Jerman agar dapat dipakai kendaraan elektronik pada 2030.
Sehari sebelumnya, pembuat baterai surya milik Shell di negara itu, sonnen, mengatakan akan memperluas kapasitas produksinya. Permintaan untuk sistem penyimpanan energi di dalam rumah diperkirakan akan tumbuh tinggi. Hal ini seiring dengan berakhirnya program subsidi untuk memasok daya terbarukan ke jaringan listrik rumah tangga.
Shell Pangkas Ongkos Produksi Migasnya
Persaingan perusahaan minyak menuju bisnis hijau terbilang cukup ketat di Eropa. Selain Shell, Total dan BP telah memulai langkah serupa. “Ini bukan hanya tentang struktur tetapi budaya dan tentang jenis perusahaan yang kami inginkan,” kata seorang sumber senior Shell kepada Reuters pekan lalu.
Tahun lalu, keseluruhan biaya operasi Shell mencapai US$ 38 miliar dan belanja modalnya US$ 24 miliar. Perusahaan tengah menjajaki cara untuk mengurangi ongkos produksi minyak dan gas di divisi hulu sebesar 30% hingga 40%.
Termasuk di dalamnya, pemotongan biaya operasi dan belanja modal untuk proyek-proyek baru. Shell ingin memfokuskan produksi migasnya di beberapa hub utama, termasuk Teluk Meksiko, Nigeria dan Laut Utara.
Untuk divisi gas terintegrasi, yang menjalankan operasi gas alam cair (LNG) serta beberapa produksi gas, perusahaan tengah mempertimbangkan pemotongan besar-besaran. Bahkan di sektor hilir, Shell juga akan memangkas biaya 45 ribu stasiun layanan Shell, yang merupakan terbesar di dunia.
Dalam pernyataan tertulisnya, Shell mengakui sedang melakukan tinjauan strategis organisasi. “Untuk memastikan kami siap berkembang selama transisi energi dan menjadi organisasi yang lebih sederhana dan kompetitif,” tulisnya.
Perusahaan Migas Tiongkok Bertransisi ke Energi Hijau
Perusahaan migas milik pemerintah Tiongkok juga berinisiatif untuk mengembangkan proyek energi hijau. Petrochina, Sinopec, dan CNOOC siap menghabiskan dana besar untuk aset energi hijau.
Sinopec bahkan ingin memimpin proyek hidrogen Tiongkok. Perusahaan berencana membangun stasiun pengisian bahan bakar hidrogen di Pantai Timur Tingkok.
Lalu, PetroChina beberapa waktu lalu mengklaim sebagai perusahaan pelat merah pertama yang menargetkan near-zero emissions pada 2050. Kemudian, perusahaan eksplorasi CNOOC bakal memulai pengembangan proyek tenaga angin lepas pantai pada akhir 2020.
Namun, target itu sebenarnya masih tertinggal dari perusahaan energi raksasa asal Eropa. Pasalnya, kebijakan energi Tiongkok masih berkutat pada transisi energi yang berpatokan pada gas alam dan batu bara rendah emisi dibandingkan mendorong energi baru terbarukan atau EBT secara komprehensif.