Proyek Sampah Jadi Listrik dalam Sorotan KPK

Image title
23 November 2020, 17:03
pltsa, kpk, pembangkit listrik tenaga sampah, sampah
123RF.com/besputin
KPK menemukan adanya pemborosan uang negara dari proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa.

Sampah menjadi persoalan serius di Indonesia. Negara ini merupakan penghasil sampah plastik terbanyak di dunia setelah Tiongkok. Pemerintah berusaha meminimalkan masalah ini, salah satunya melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa.

Pengembangan pembangkit itu telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018. Sesuai Perpres Nomor 56 Tahun 2018, PLTSa pun masuk daftar proyek strategis nasional alias PSN. Pemerintah akan menambah proyek itu dari delapan kota menjadi 12 kota.

Advertisement

Ke-12 kota adalah DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menemukan adanya pemborosan uang negara dari proyek tersebut.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyebut nilai infesiensi proyek itu mencapai Rp 3,6 triliun. Hal ini terjadi karena program PLTSa dibebankan ke pemerintah daerah. Skema take or pay untuk membeli listrik dari pihak swasta cukup memberatkan PLN.

Pahala menyebut salah satu kepala daerah sempat keberatan dengan proyek pembangkit itu. Pasalnya, setiap satu ton sampah yang disetor ke swasta, pemerintah daerah merogoh kocek sekitar Rp 310 ribu. Sementara jumlah yang dihasilkan mencapai 1.400 ton per hari. “Kalikan saja itu, sepanjang 25 tahun tidak dapat apa-apa lagi,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin (23/11).

PLN pun wajib membayar listrik yang berasal dari PLTSa. Padahal, belum tentu tegangannya sesuai ketentuan. “Lagi-lagi proyek ini hanya menguntungkan swasta,” ujar Pahala.

Dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2016, PLN disebut menjadi pembeli listrik PLTSa dengan harga US$ 18 sen per kilowatt hour (kWh). Tapi pembangunan pembangkitnya tidak terealisasi.

Pemerintah kemudian merevisi aturan itu melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2018. Sebanyak 12 kota ditunjuk untuk percepatan pembangunannya. Tarif pembelian listriknya turun menjadi US$ 13,35 sen per kilowatt hour. Sampai akhir 2019, PLN tidak melakukan realisasi pembelian listrik tersebut.

Pahala berpendapat koordinasi pemerintah sangat buruk dalam merealisasikan proyek PLTSa. Kementerian teknis harus bergerak cepat mencari solusi. Pasalnya, pemerintah daerah terus membayar sampah yang dikumpulkan sekalipun tidak sesuai kuota.

Biaya mengumpulkan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah atau tipping fee dapat memberatkan anggaran daerah (APBD). KPK menyarankan pemerintah dapat mengganti program tersebut agar dapat lebih efisien. "Surat kami mengatakan, sudah enggak usah sampah jadi listrik. Sampah jadi energi saja," kata dia.

Caranya, sampah-sampah itu diolah menjadi pellet refuse derived fuel atau RDF. Bahan bakar ini kemudian dapat mengganti batu bara di pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. Kebutuhan batu bara PLN sekarang mencapai 110 juta ton per tahun.

Dengan mencampur bahan bakar ke PLTU alias co-firing setidaknya 3% hingga 5%, PLN mampu membayar sekitar Rp 500 ribu per ton. "Kalau ikut mekanisme proyek PLTSa, pemda membayar Rp 310 ribu. Kalau pakai mekanisme co-firing, pemda dibayar Rp 510 ribu per ton pelet," kata Pahala.

Berdasarkan kajian itu, KPK menyarankan metode waste to energy dibandingkan waste to electricity untuk mengatasi isu sampah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan PLN sudah melakukan penelitian pengolahan sampah substitusi bahan bakar PLTU. Namun, pelaksanaanya belum maksimal.

Pada skema co-firing maksimal 5% dari volume batubara, pemda mengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir. Lalu, sampah diolah menjadi RDF atau solid recovered fuel (SDF). Hasil pengolahannya kemudian dijual ke pabrik semen atau PLTU dengan harga di bawah batu bara.

Dengan skema ini, beban anggaran pemda tidak sebesar tipping fee karena biaya pengolahan dikurangi dengan hasil penjualan RDF. PLN juga tidak perlu membeli listrik mahal dari PLTSa, jadi tidak membebani keuangan perusahaan.

Saat dikonfirmasi mengenai progress kelanjutan proyek PLTSa, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana belum memberikan respon. Hingga berita ini tayang, yang bersangkutan masih belum membalas pesan Katadata.co.id.

RENCANA PEMBANGUNAN PLTSA PALEMBANG
Rencana pembangungan PLTSa di Palembang, Sumatera Selatan yang tertunda. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Proyek PLTSa Dinilai Tak Signifikan Dongkrak Bauran Energi

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, total kapatas pembangkit PLTSa di 12 kota sesuai dengan Perpres 35/2018 hanya 234 megawatt (MW). Hal ini tak akan signifikan mendongkrak target bauran energi terbarukan (EBT) di Indonesia.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement