Pro-Kontra Masuknya Energi Nuklir dalam RUU Energi Terbarukan

Sorta Tobing
23 September 2020, 19:18
nuklir, pltn, ruu ebt, energi baru terbarukan, pembangkit listrik tenaga nuklir
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama.
Ilustrasi. Masuknya energi nuklir dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (RUU EBT) mengundang perdebatan.

Masuknya energi nuklir dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (RUU EBT) menjadi perdebatan. Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Mahawira Singh Dillon menyebutkan sejumlah alasan mengapa memasukkan hal itu tidak tepat.

Pertama, secara geografis Indonesia terletak di kawasan Cicin Api yang aktif sehingga rawan gempa dan tsunami. “Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu pembangkit listrik tenaga listrik (PLTN),” katanya dalam diskusi virtual, Rabu (23/9). Kasus kebocoran radioaktif PLTN Fukushima di Jepang merupakan dampak setelah gempa bumi dan tsunami pada 2011.

Advertisement

Penyimpanan limbah pembangkit listrik itu juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air. Kondisinya sangat sulit untuk Indonesia. Bila limbah nuklir bocor ke dalam air tanah, dampaknya sangat berbahaya.

Kedua, masuknya nuklir dalam rancangan undang-undang EBT merupakan langkah kontraproduktif dengan asas ketahanan, keberlanjutan, kedaulatan, dan kemandirian energi. Faktanya, pasokan uranium negara ini hanya dapat mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas seribu megawatt selama enam hingga tujuh tahun saja.

Kalau bersikeras menjadikan nuklir sebagai energi baru, Wira memprediksi Indonesia akan bergantung pada impor uranium dari luar negeri. Alih-alih memakai bahan bakar berisiko, lebih baik pemerintah memanfaatkan energi terbarukan, seperti surya, air, angina, biomassa, dan panas bumi.

Sumber energi tersebut melimpah dan pembangunan pembangkitnya dapat diterapkan dari skala kecil hingga besar. “Dari perkotaan hingga area terpencil,” ujar Wira.

Energy Project Lead Yayasan WWF Indonesia Indra Sari Wardhani pun sepakat agar nuklir keluar dari RUU EBT. “Dari draf yang kami lihat, dari pasal 6 sampai 22 spesifik membahas nuklir. Energi terbarukan sedikit disinggung. Ini aneh buat saya,” katanya. Padahal, revisi UU Ketenaganukliran juga masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2020-2024.

RUU EBT seharusnya menjadi payung hukum untuk dapat menggantikan peran energi fosil yang cadangannya semakin menipis serta berdampak buruk bagi lingkungan. “Pengembangan energi terbarukan juga untuk mengatasi krisis energi,” ucapnya.

Perumusannya juga harus menjadi komitmen untuk menjadikan energi terbarukan sebagai bagian ketahanan dan kedaulatan energi, penanggulangan krisis iklim serta pencapaian pembangunan berkelanjutan. 

Pro-Kontra Soal Nuklir

Pembahasan RUU itu telah masuk Prolegnas Prioritas 2020. Proses penyusunannya telah dimulai sejak Januari 2017 ketika Komisi II DPD RI mengadakan rapat dengar pendapat dengan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).

Draf aturan yang terbaru itu mengundang sejumlah kritik. Thorcon, pengusaha energi nuklir asal Amerika Serikat yang fokus mengembangkan PLTN di Indonesia, menyebut beberapa pasal RUU EBT berbeda dengan konsep sebelumnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement