• WHO mendesak isu ketimpangan vaksin Covid-19 segera diselesaikan.
  • Indonesia yang harus mengimpor vaksin dari berbagai negara mulai merasakan imbasnya.
  • Pemerintah mengandalkan Sinovac untuk menambah stok vaksin. 

Dunia sebenarnya dapat mengendalikan pandemi corona dalam hitungan bulan. Namun, langkah itu tampaknya sulit tercapai karena beberapa negara maju menerapkan "nasionalisme vaksin".

Aktivis perubahan iklim Greta Thunberg menyebut kondisi tersebut tidak etis. "Negara-negara kaya memprioritaskan warganya yang lebih muda untuk vaksinasi sebelum kelompok rentan di negara berkembang," katanya, dikutip dari Reuters, Senin (19/4).

Dalam akun Twitternya, ia menulis sekitar satu dari empat orang di negara maju telah menerima vaksin Covid-19. Sedangkan, negara berkembang dengan pendapatan rendah angkanya satu berbanding 500 orang. Thunberg pun menyerukan adanya keadilan untuk distribusi vaksin

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pun mengkritik kondisi tersebut. "Kita memiliki alat (vaksin) untuk mengendalikan pandemi ini dalam hitungan bulan, apabila menerapkannya secara konsisten dan adil," ucapnya. 

Isu ketimpangan vaksin, menurut dia, harus segera diselesaikan. Tingkat infeksi pada usia 25 hingga 59 tahun secara global sudah mengkhawatirkan karena munculnya varian baru virus corona yang lebih menular. "Butuh sembilan bulan untuk mencapai satu juta kematian, empat bulan untuk dua juta, dan tiga bulan untuk tiga juta kematian," kata Ghebreyesus.

VAKSINASI COVID-19 JEMAAH CALON HAJI DUMAI
Ilustrasi vaksin Covid-19. (ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/hp.)

Imbas Embargo Vaksin ke Indonesia

Di Indonesia, pemerintah menargetkan vaksinasi Covid-19 mencakup 70% penduduk dalam jangka 15 bulan. Artinya, ada 181,5 juta orang divaksinasi sejak Januari 2021 hingga Maret 2022. 

Dengan asumsi setiap orang mendapatkan dua suntikan, maka kebutuhan vaksin Covid-19 mencapai 363 juta dosis. Dengan memperhitungkan tingkat pemborosan (wastage rate) sebesar 15% sebagaimana petunjuk WHO, maka total kebutuhan vaksin Covid-19 di dalam negeri mencapai 426,8 juta dosis.

Bukan hal gampang untuk memenuhi kebutuhan vaksin di tengah pandemi. Indonesia harus mengimpor vaksin dari berbagai negara produsen vaksin. Tantangannya tambah berat, mengingat sejumlah negara mengembargo ekspor vaksin. Hal ini seiring makin merebaknya penularan virus corona. 

India misalnya, yang jumlah kasusnya kembali melonjak sejak Maret lalu. Negara itu kini memasuki gelombang kedua pandemi Covid-19. Bahkan jumlah kasus hariannya jauh di atas gelombang pertama. 

Padahal, India adalah salah satu produsen vaksin Covid-19 terbesar di dunia. Melalui Serum Institute of India (SII), India memasok 60% vaksin melalui skema COVAX. Berdasarkan perjanjian tahun lalu, SII akan memproduksi hingga 200 juta dosis vaksin ke 92 negara.

Data Airfinity mencatat, produksi vaksin di India telah mencapai 42,39 juta dosis per 3 Maret 2021. Jumlah tersebut menempatkan India di posisi keempat terbesar di dunia, di bawah Tiongkok (141,62 juta), Amerika Serikat (103 juta), dan Jerman/Belgia (70,5 juta).

Indonesia telah merasakan imbas embargo tersebut dari berkurangnya pengiriman vaksin Covax/GAVI pada Maret 2021. Dari rencana 3,7 juta dosis menjadi 1,1 juta dosis. Pada April 2021, Indonesia juga tidak menerima distribusi vaksin dari Covax/GAVI sama sekali.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan distribusi vaksin Covax/GAVI kembali dimulai pada Mei-Desember 2021. Sisa vaksin Covax/GAVI yang akan didistribusikan hingga akhir tahun mencapai 52,9 juta dosis.

Halaman:
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement