Privatisasi Syarat Transformasi Garuda Indonesia

Ridha Aditya Nugraha
Oleh Ridha Aditya Nugraha
11 September 2021, 11:00
Ridha Aditya Nugraha
Katadata/Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo
Pesawat Garuda Indonesia Airbus A330-900neo bercorak khusus yang menampilkan visual masker pada bagian moncong pesawat berada di Hanggar GMF AeroAsia Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (1/10/2020). Pemberian gambar masker pada pesawat merupakan dukungan Garuda Indonesia terhadap program edukasi pemerintah melalui kampanye 'Ayo Pakai Masker'.

Garuda Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Maskapai plat merah tersebut mencatat kerugian US$ 713,73 juta medio semester pertama 2020. Hal ini akibat penurunan pendapatan drastis, dari US$ 2,19 miliar pada 2019 menjadi hanya US$ 917,28 juta per 30 Juni 2020, berbasis perhitungan year-on-year.

Maskapai penerbangan nasional itu juga terlilit utang yang tidak kecil. Per 31 Desember 2020, total asetnya tercatat US$ 7,5 miliar dengan kewajiban (liabilitas) mencapai US$ 9,57 miliar.

Fakta ini turut menunjukkan selama 2020, Garuda hanya memperoleh pendapatan US$ 1,01 juta. Angka ini kurang dari sepertiga pendapatan pada tahun sebelumnya yang senilai US$ 3,3 miliar.

Layaknya berbagai sektor usaha lain yang terdampak pandemi corona, sektor penerbangan ibarat setali tiga uang. Industri penerbangan global dihajar hebat pagebluk Covid-19.

Khusus Garuda, maskapai ini sempat harus membayar sewa 101 pesawat yang tak beroperasi selama pandemi. Biaya sewa tentu tidak murah, sekitar Rp 1 triliun per bulan. Angkanya akan meningkat secara eksponensial setiap bulan apabila tidak segera dilunasi.

Berbagai upaya penyelamatan Garuda Indonesia telah digodok. Direksi telah meminta izin kepada DPR untuk menegosiasikan utangnya kepada sejumlah kreditur.

Selain itu, pada Desember 2020, Kementerian Keuangan telah memberikan lampu hijau untuk menginjeksi Garuda sebesar Rp 8,5 triliun sebagai paket ‘penyelamatan’ sejumlah badan usaha milik negara atau BUMN bermasalah. Hanya saja, hingga saat ini, maskapai plat merah baru menerima Rp 1 triliun.

Dalam jangka pendek, paket penyelamatan tersebut mungkin salah satu yang terbaik. Namun, ketika berbicara jangka panjang, momentum ini layak menjadi pemicu diskursus sesuatu lebih besar, yakni apakah Garuda Indonesia masih tetap layak dipertahankan sebagai flag carrier berlandaskan konsep tradisional.

Umumnya negara lain, pemerintah Indonesia (melalui BUMN) menjadi pemegang saham mayoritas flag carrier dengan minimal 51%. Di tengah defisit keuangan akibat pandemi, opsi liberalisasi kepemilikan saham layak dibuka lebih lanjut bagi swasta selama total pemegang saham bernasionalitas Indonesia tetap menjadi mayoritas.

Angka 51% penting guna menjamin Garuda sebagai maskapai Indonesia di mata rezim hukum udara. Perjanjian pengangkutan udara (air service agreements), baik bilateral maupun multilateral, umumnya mengunci kepemilikan saham (ownership) dengan kontrol efektif (effective control) sehubungan nasionalitas. Kegagalan mempertahankan nasionalitas akan mengakibatkan maskapai kehilangan hak untuk menerbangi rute internasional, termasuk skema penerbangan code-share

Sebagai gambaran, merger Air France-KLM harus melalui struktur yang rumit perihal ownership and effective control dengan berujung masing-masing 50% saham dimiliki Belanda dan Prancis agar kedua maskapai tidak kehilangan hak rute penerbangan internasional.

Sejak 2011, Garuda telah diprivatisasi secara parsial. Privatisasi tersebut dilakukan dengan ditawarkannya sejumlah saham kepada publik dengan valuasi Rp 4,75 triliun pada Bursa Efek Indonesia (IDX). Hasilnya, saat ini masyarakat memiliki 13,36% saham, Trans Airways 25,81%, dan pemerintah Indonesia tetap menjadi pemegang saham mayoritas dengan 60,54% jumlah saham.

Dalam menimbang sebuah perusahaan tetap layak berstatus BUMN atau tidak, the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menetapkan beberapa hal sebagai standar sejak 2018.

Pertama, idealnya suatu perusahaan pelat merah didirikan atau tetap berdiri karena fungsinya dalam menyediakan pelayanan dan barang publik di tengah gagalnya pasar bebas untuk menyediakan. Apabila tidak disediakan pemerintah lewat BUMN, dikhawatirkan pelayanan dan barang publik dimaksud menjadi langka di tengah masyarakat.

Halaman:
Ridha Aditya Nugraha
Ridha Aditya Nugraha
Ketua Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya
Editor: Sorta Tobing

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...