- GoTo Financial meluncurkan aplikasi GoPay dengan empat terobosan baru.
- Nilai transaksi dompet digital alias e-wallet di Indonesia bisa mencapai US$ 70,1 miliar pada 2025.
- Fokus dompet digital harus beralih kepada masyarakat yang lebih tua dengan volume transaksi yang lebih besar.
Cahya Putri ingin pulang kantor sore itu kala aplikasi Gojek miliknya mengharuskan pembaruan ke versi terbaru. Sembari memperbarui aplikasi, matanya menangkap ada aplikasi baru di AppStore bernama GoPay. Perempuan 25 tahun tersebut lalu mengunduhnya atas dasar penasaran.
“Mau lihat saja, apa sih bedanya dengan yang ada di aplikasi Gojek?” katanya saat berbincang dengan Katadata.co.id, Kamis (26/7).
Sudah dua minggu Cahya menggunakan aplikasi tersebut secara terpisah dari Gojek. Menurut dia, tampilan aplikasinya cukup sederhana. Semua pilihan transaksi sudah ada di halaman pertama sehingga ia tidak perlu pindah halaman lain untuk bertransaksi.
Beberapa fitur yang paling sering Cahya gunakan adalah pembelian token listrik, biaya berlangganan layanan streaming Spotify, dan transaksi QRIS.
Ada satu fitur yang menarik perhatiannya dan belum ada di aplikasi Gojek dan Tokopedia, yaitu catatan pengeluaran. Di sana, ia bisa melihat jumlah GoPay yang ia keluarkan serta tujuan penggunannya: transportasi, belanja, transfer, hingga donasi.
“Tapi harapannya bakal ada fitur mengatur transaksi favorit, supaya enggak harus pindah-pindah halaman lagi,” kata Cahya.
Inovasi Terlambat Tiga Tahun
Pekan ini membuka babak baru bagi GoTo Financial. Dompet digital GoPay akhirnya spin off atau memisahkan diri dari aplikasi induknya, Gojek.
Sebenarnya, aplikasi GoPay versi perdana di Google Play Store sudah hadir sejak 21 Maret lalu. Namun, pemakaiannya hanya tersedia di beberapa kota.
“Aplikasi ini dibuat agar GoPay dapat merambah masyarakat Indonesia yang lebih luas, terutama mereka yang belum menjadi pengguna layanan Gojek dan Tokopedia,” kata CEO GoTo Group Patrick Walujo dalam peluncuran aplikasi GoPay, Rabu (26/7), di Jakarta.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ada empat terobosan yang muncul dalam aplikasi GoPay terbaru. Pertama, aplikasi ini berukuran ringan sehingga bisa digunakan di berbagai jenis gawai. Dalam informasi AppStore, GoPay berukuran 91,6 megabyte (MB).
Kedua, fitur unggulan GoPay adalah transfer, baik ke sesama GoPay hingga ke akun bank. Pada tahap awal, GoPay membebaskan biaya transaksi hingga 100 kali per bulan.
Ketiga, aplikasi GoPay melayani transaksi pulsa, listrik, hingga aplikasi berlangganan. Terakhir, GoPay juga menghadirkan fitur expense tracking, semua pengeluaran GoPay tercatat dalam satu grafik.
Menurut President of Financial Technology GoTo, Hans Patuwo, fitur terakhir ini adalah langkah pertama menuju literasi finansial. Nantinya GoPay akan memberikan fitur lain untuk mencapai inklusi finansial. “Untuk fitur lainnya akan kami tambahkan nanti berdasarkan kebutuhan pelanggan,” kata Hans.
Bila ditarik secara sejarah, GoPay adalah pemain lama industri dompet digital di Indonesia. Dompet digital ini sudah hadir pada 2016 untuk mengatasi masalah pembayaran dengan uang kartal antara pengemudi dan penumpang Gojek.
Pesaingnya, OVO, baru meluncur pada 2017 dan bermitra dengan Grab setahun kemudian. Di tahun yang sama, dompet digital DANA meluncur.
OVO dan DANA sudah lebih dulu hadir dalam bentuk aplikasinya. Sedangkan GoPay baru muncul terpisah dari Gojek sekitar tujuh tahun sejak peluncuran perdana.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut kehadiran GoPay dalam bentuk aplikasi sebagai langkah yang telat.. “Iya, sudah terlambat. Karena aplikasi yang lebih cepat melakukan spin-off lebih bisa mengembangkan berbagai inovasi layanan keuangan,” katanya kemarin.
Peneliti ekonomi digital INDEF, Nailul Huda, sepakat dengan pernyataan Bhima. Namun, ia menawarkan sudut pandang baru.
Menurut dia, persaingan dompet digital tidak seketat dua tahun belakangan. Kondisi ini berubah sejak kemunculan layanan Quick Response Code Indonesian Standard alias QRIS dari Bank Indonesia. Perbankan lantas masuk dalam pengembangan sistem pembayaran instan yang awalnya menjadi keunggulan dompet digital.
“Saya rasa dari sisi waktu cukup telat memang, harusnya sudah dari dua atau tiga tahun lalu aplikasinya diluncurkan,” kata Nailul, “Tapi kini GoPay memberi pangsa pasar baru bagi Gojek dan Tokopedia.”
GoPay Mengejar Ketinggalan?
Ekosistem dompet digital Tanah Air diprediksi akan meningkat hingga 2025, berdasar riset lembaga konsultan pemasaran berbasis di India, RedSeer.
Dalam laporan itu, proyeksinya nilai transaksi dompet digital alias e-wallet di Indonesia bisa mencapai US$ 70,1 miliar pada 2025. Angka ini setara dengan 55% dari total nilai transaksi e-wallet di kawasan Asia Pasifik, dan terus meningkat dari 2021–2025 seperti dirangkum dalam Databoks berikut:
Masih di proyeksi yang sama, tingkat pertumbuhan tahunan majemuk alias CAGR e-wallet Indonesia bisa mencapai 31,5% pada 2025. Pertumbuhan ini tidak lepas dari adanya pandemi Covid-19 yang mempercepat adopsi pembayaran digital.
Hadirnya e-commerce dan usaha mikro kecil dan menengah alias UMKM yang berpindah ke penjualan daring juga memompa pertumbuhan dompet digital Tanah Air.
Karena itu, untuk mengimbangi peluang dan keterlambatan tersebut, Bhima merumuskan ada tiga cara yang bisa dilakukan GoPay. Mulai dari menggandeng pedagang luring untuk menggunakan dompet digital.
Dua pesaing GoPay, yakni OVO dan DANA, masih belum terlalu agresif masuk ke segmen pasar tersebut. “Ceruknya masih besar,” ujar Bhima.
Selain itu, ia menyarankan pengembangan produk keuangan yang lebih cepat sehingga memenangkan ekosistem dompet digital. Beberapa fitur yang ia rekomendasikan adalah asuransi, reksadana, hingga masuk dalam bursa kripto dan karbon dalam jangka waktu panjang.
“Ketiga, inovasi itu butuh modal besar, apakah dengan spin-off bisa menarik pendanaan baru?” kata Bhima.
Pernyataan tersebut sekata dengan laporan Asosiasi Fintech Indonesia dan Katadata Insight Center. Survei ini melibatkan seluruh anggota AFTECH dan ada 75 anggota yang berpartisipasi. Dari survei tersebut diketahui modal ventura masih menjadi sumber pendanaan utama startup fintech Tanah Air.
Bhima menyebut kini dompet digital sudah harus mempertimbangkan persaingan dengan perbankan karena ada fitur QRIS. Belum lagi segmentasi pengguna dompet digital biasanya didominasi millennial dan Gen Z yang volume transaksinya lebih kecil.
Fokus dompet digital harus beralih kepada masyarakat yang lebih tua dengan volume transaksi yang lebih besar. Maish mengutip AFTECH Annual Member Survey 2022/2023, pengguna teknologi finansial alias fintech memang didominasi kelompok usia muda. Pengguna di atas 50 tahun hanya berkisar 11,7%.
Soal potensi pengguna setelah spin-off, menurut dia, sangat bergantung dengan bagaimana GoPay bisa memberi promo yang lebih besar dari pesaing. "Selama banjir promo masih tinggi, pengguna akan loyal ke GoPay,” ujar Bhima.