Tarif Cukai Naik 10%, Siap-siap Rokok Ilegal Bakal Marak
Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia atau AMTI menilai kebijakan pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau atau CHT rata-rata sebesar 10% pada 2023 akan memberikan efek domino terhadap maraknya peredaran rokok ilegal.
Sekretaris Jenderal AMTI, Hananto Wibisono, menuturkan, kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok menyebabkan konsumen beralih ke segmen rokok murah.
“Alhasil jumlah masyarakat yang mengkonsumsi rokok pun tidak akan berkurang lantaran beralih ke rokok ilegal,” ujar Hananto kepada Katadata.co.id, pada Kamis (22/12).
Hananto juga menambahkan, kenaikan tarif CHT juga tidak serta merta langsung berdampak pada penurunan jumlah perokok. Pemerintah beralasan, kenaikan tarif cukai rokok untuk mengendalikan konsumsi rokok, terutama perokok anak-anak.
Tak hanya itu, kebijakan ini dinilai akan berdampak pada ekosistem pertembakauan dari hulu hingga hilir. “Di hulu, ada petani tembakau dan petani cengkeh yang sepanjang tahun ini dan proyeksi di tahun mendatang, masih akan dihadapkan pada tantangan perubahan kondisi iklim," ujar Hananto.
"Sepanjang 2022, di sentra-sentra pertembakauan, hasil panen baik secara kuantitas dan kualitas, tidak maksimal."
Selain itu, dia menuturkan, petani juga dibebankan akibat kebijakan pencabutan pupuk subsidi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022, serta Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.
Dengan demikian, hal ini berdampak pada penambahan operasional di tingkat petani dikarenakan ongkos membeli pupuk ZA yang non subsidi harganya hampir empat kali lipat.
Di sisi hilir, ada industri hasil tembakau atau IHT yang menunjukkan penurunan produksi. Sebagai catatan, untuk produksi rokok pada Oktober 2022 tercatat sebanyak 27,09 miliar batang. Angka tersebut turun 0,53% dibandingkan pada bulan sebelumnya.
Artinya, produksi rokok secara bulanan sudah turun selama dua bulan beruntun karena pada September 2022 juga tercatat melandai 0,92%.
“Pabrikan atau industri tentu akan berstrategi demi menjaga kestabilan produksi. Bila pabrikan, mengambil langkah mengurangi biaya produksi, kesepakatan harga jual tembakau dan cengkeh dengan para petani dapat turun dari harga kesepakatan sebelum adanya kenaikan cukai,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, biaya produksi juga dapat dikurangi dengan menurunkan biaya tenaga kerja, dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK ataupun mengurangi upah para buruh pabrik. Imbasnya tentu akan timbul semakin banyak pengangguran dan berkurangnya lapangan pekerjaan dari sektor IHT.
Oleh karena itu, Hananto menilai, kebijakan menaikkan tarif CHT 2023 menunjukkan bahwa pemerintah kurang memiliki sense of crisis atau rasa krisis. Ekosistem pertembakauan menjadi salah satu penyangga penerimaan negara yang ditarget menjadi Rp 245 triliun.
“Seharusnya ekosistem pertembakauan diberikan kesempatan untuk pulih dan tumbuh, apalagi mengingat di tahun mendatang telah muncul berbagai warning terkait kontraksi ekonomi seperti kondisi stagflasi,” ujarnya.
Seperti diketahui, saat ini berbagai sektor industri telah melakukan PHK. Oleh sebab itu, Hananto mengatakan, tentunya keputusan pemerintah terkait CHT adalah keputusan yang kurang bijak.
Sejak 2015, pemerintah menaikkan rata-rata tarif cukai sebesar 8-13% per tahun, kecuali pada 2020 yang mencapai 23%. Sementara pada 2019, pemerintah memutuskan tidak ada kenaikan tarif cukai.
Namun demikian, kenaikan tarif cukai tidak serta merta mempengaruhi tingkat prevalensi perokok. Memang ada penurunan prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas, tetapi tidak terlalu signifikan.
Pada 2022, prevalensi perokok dewasa hanya turun 0,7 poin menjadi 28,26% dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan ketika pemerintah menaikkan tarif cukai sebesar 23% pada 2020, prevalensi hanya turun 0,34 poin.
Demikian pula dengan prevalensi perokok anak usia di bawah 18 tahun. Penurunannya tidak terlalu berarti, yakni hanya 0,25 poin.