Siasat Agresif Grup Salim Kembali ke Bisnis Perbankan
Perusahaan konglomerasi Grup Salim kembali agresif di bisnis perbankan Tanah Air. Terbaru, ketiga entitas perusahaan Grup Salim menguasai 21,53% saham PT Bank Mega Tbk (MEGA), milik konglomerat Chairul Tanjung.
Tiga entitas perusahaan itu yakni PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan Indolife Pensiontama. Ketiganya masuk Bank Mega berdasarkan laporan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada 23 Maret 2022.
Selain menjadi pemegang saham Bank Mega, Grup Salim juga tercatat menjadi pemegang saham sebesar 6% di perusahaan bank digital PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) melalui Indolife Pensiontama. Allo ini pun dimiliki Chairul Tanjung.
Jejak Grup Salim masuk ke bisnis perbankan terlihat sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2017, Grup Salim mengakuisisi 29,02% saham PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA). Setelah melakukan penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD), kini kepemilikan saham Grup Salim di BINA terdilusi menjadi 22,47%.
Direktur Utama Bank Ina, Daniel Budirahayu dan Direktur Kepatuhan Bank Ina, Wardoyo Januari 2020 lalu mengumumumkan Salim Group bertindak sebagai ultimate shareholder atau pemegang saham pengendali Bank Ina Perdana lewat Indolife Pensiontama.
Tak hanya itu, Grup Salim juga tercatat sebagai pemegang saham di perusahaan induk PT Bank Fama, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK). Tercatat, Anthoni Salim menguasai 9% saham Emtek.
Pengamat perbankan, Paul Sutaryono menilai, langkah bisnis Grup Salim itu merupakan sinyal bahwa industri perbankan nasional masih cukup menarik dari sisi bisnis, terlebih pada era bank digital seperti saat ini.
Indikatornya terlihat dari kinerja pasar modal yang kinclong berkat saham perbankan terutama bank digital dan saham perusahaan teknologi sepanjang 2021. Data BEI menunjukkan, secara sektoral, indeks yang menaungi sektor keuangan (IDXFINANCE) menguat 21,14% di tahun 2021. Sedangkan, indeks yang menaungi sektor teknologi di BEI (IDXTECHNO), melaju kencang 707,56% sepanjang tahun 2021.
Paul menduga, Grup Salim bakal mengembangkan bank digital. Perkembangan teknologi informasi yang melaju pesat selama pandemi membuat banyak perusahaan tertarik mengembangkan bisnis bank digital.
"Bisa jadi sebentar lagi Grup Salim akan mengakuisisi bank kecil untuk dijadikan bank digital," kata Paul, kepada Katadata.
Sementara itu, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menilai, kembalinya Grup Salim ke bisnis perbankan Tanah Air tak lain karena dari sisi perolehan profitabilitas, terutama dari sisi marjin bunga bersih (net interest margin/NIM) yang masih lebih besar dibandingkan dengan bank-bank lainnya di luar negeri.
"Bisnis perbankan di Indonesia secara marjin jauh lebih menguntungkan dibandingkan bank luar negeri. Tidak sedikit yang berminat, saya kira dari Salim juga sama saja," kata Panin, saat dihubungi Katadata.
Jejak Salim di Bisnis Perbankan
Grup Salim memiliki sejarah yang panjang di bisnis keuangan Tanah Air, jauh sebelum dikenal sekarang lewat merek dagang Indomie.
Pendiri Grup Salim, konglomerat Liem Sioe Liong alias Sudono Salim pada 1957 silam membangun bisnis jasa pemberian kredit Bernama Central Bank Asia, bersama rekannya Mochtar Riady.
Tiga tahun kemudian pada 1960 nama perusahaan resmi berubah menjadi Bank Central Asia atau yang sekarang dikenal sebagai BCA. Tak hanya besar dari bisnis perbankan, Grup Salim juga dikenal dengan bisnis makanan dan minuman lewat merek Indofood, ada juga bisnis penjualan mobil, semen, hingga swalayan. Kini, semua bisnis yang masuk dalam Grup Salim tersebut diwarisi Anthony Salim, anak ketiga Liem.
Rekan Sudono Salim, yakni Li Wen Cheng atau yang akrab disapa Mochtar Riady mulai masuk ke BCA pada 1975, usai mundur dari Bank Panin. Mochtar bergabung dengan BCA saat kondisi perbankan tersebut tidak terlalu baik.
Saat itu, bisnis perbankan Liem lebih dari satu, di antaranya Bank Windu Kencana dan Bank Asia alias BCA, ada pula Bank Dewa Ruci. Windu Kencana dikelola adik Soedono, yakni Liem Sioe Kong. Sementara itu, Dewa Ruci dipegang sepupunya, yaitu Liem Ban Tiong.
Hingga badai krisis ekonomi melanda Tanah Air pada tahun 1997-1998. Grup Salim harus menjual saham BCA karena menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Singkatnya, BCA kemudian masuk dalam Bank Take Over (BTO), di mana melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN, 92,8 % saham BCA dikuasai pemerintah dan lepas dari genggaman Salim Group.