Perusahaan teknologi finansial (fintech) penyedia layanan pembayaran asal Tiongkok, yakni WeChat dan Alipay masuk ke Indonesia. Mereka bekerja sama dengan perbankan pelat merah PT Bank Negara Indonesia (BNI) yang targetnya bisa terealisasi akhir bulan ini. Kehadiran dua perusahaan yang sudah menguasai pasar Tiongkok ini diyakini bisa mempercepat adopsi fintech di Indonesia.
Berkaca dari kepopuleran di Tiongkok, WeChat Pay dan Alipay diharapkan bisa mempercepat pemerataan adopsi fintech dari 9% saat ini menjadi kisaran 69% pada 2021. Merujuk pada data Ernst & Young (EY), rerata penduduk dunia mengadopsi fintech 33% pada Juli 2017.
Negara yang mengaadopsi fintech tertinggi di dunia adalah Tiongkok, sebesar 69%, diikuti oleh India 52% dan Inggris 42%. Fintech yang dimaksud adalah keseluruhan, mulai dari pembayaran, pinjam meminjam (lending), market aggregator (pengumpul data pasar finansial), Insurtech (teknologi asuransi), ataupun crowdfunding (urun dana).
Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Kuseryansyah mengatakan fintech pembayaran nasional sudah menjangkau banyak lini kehidupan masyarakat Indonesia. Kehadiran WeChat Pay dan Alipay akan menambah dinamika bisnis fintech pembayaran di Tanah Air.
Apalagi, kedua perusahaan ini juga bergerak di bidang fintech lending. "Kehadiran mereka akan menambah dinamis dan coverage (cakupan) layanan keuangan terutama payment (transaksi pembayaran),” ujarnya, akhir pekan lalu (22/11).
(Baca: WeChat dan Alipay Masuk, Sri Mulyani Minta Keandalan Sistem Pembayaran)
Percepatan pemerataan adopsi fintech di Indonesia tak hanya didukung kehadiran kedua perusahaan asal Tiongkok tersebut. Yang paling utama adalah infrastruktur akses internet. Harapan ini bertumpu pada proyek strategis pemerintah. Kalau Palapa Ring sudah jalan, seluruh Indonesia akan terkoneksi internet. “Saya kira, Indonesia bisa seperti Tiongkok ataupun India pada 2-3 tahun mendatang," kata Kuseryansyah.
(Baca: Perlu 3 Tahun bagi Fintech Indonesia Susul Tiongkok)
Menurutnya, hal utama yang membuat adopsi fintech di Tiongkok dan India sangat tinggi, karena infrastruktur internet yang tersedia. Selama akses tersebut ada dan bisa diakses seluruh masyarakat, fintech akan diadopsi. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menargetkan Palapa Ring sudah bisa digunakan sepenuhnya pada 2019.
Laporan Forbes juga mengungkapkan infrastruktur merupakan faktor pendorong tumbuh kembang WeChat Pay dan Alipay di Tiongkok. Penetrasi internet di Tiongkok mencapai 53,2%. Sebanyak 95% pengguna internet berselancar di dunia maya menggunakan ponsel pintar (smartphone). Kedua faktor ini membuat layanan kedua perusahaan fintech tersebut begitu populer di Tiongkok.
Memang, penetrasi internet di Tiongkok lebih rendah dibanding Amerika Serikat (AS) yang mencapai 83,7%. Namun Forrester mencatat, transaksi secara non-tunai di Tiongkok mencapai US$ 9 triliun, jauh lebih tinggi ketimbang AS sebesar US$ 112 miliar pada 2016.
“Alipay dan WeChat Pay sangat dominan (di Tiongkok). Hal ini memungkinkan model bisnis seperti berbagi tumpangan (ride-hailing), toko serba ada otomatis, dan hadiah virtual berkembang di sana,” demikian dikutip dari Forbes, beberapa waktu lalu (13/6).
Ponsel menjadi barang wajib bagi penduduk di Negeri Tirai Bambu tersebut. New York Times melaporkan warga di beberapa kota di Tiongkok memberikan tip kepada pemusik jalanan menggunakan kode Quick Response (QR) lewat aplikasi pembayaran. Bertransaksi di warung pinggir jalan hingga menyewa kamar di hotel bintang lima pun sudah menggunakan kode QR. Bahkan, angpau atau hadiah pun diberikan secara virtual melalui platform pembayaran.
Analysys International menyebutkan pasar fintech pembayaran di Tiongkok mencapai US$ 4,7 triliun per Kuartal I-2017. Fintech pembayaran besutan Grup Alibaba, Alipay menguasai pasar yakni 54%. Sementara pasar WeChat Pay milik Tencent Holdings sebesar 40%. Pasar yang digaet WeChat Pay naik drastis dibanding Kuartal III-2014 yang sebesar 10%.
Sementara di Indonesia, data Statista menunjukkan nilai transaksi pembayaran digital mencapai US$ 18,6 miliar pada 2017. Jumlah tersebut hanya 2% dibanding nilai transaksi pembayaran digital di dunia. Meski begitu, pertumbuhan penggunaan uang elektronik di Indonesia terus meningkat dari Rp 981 triliun pada 2011 menjadi Rp 12.375,5 triliun di 2017.
Tidak heran memang, sebab fintech pembayaran nasional seperti PT Dompet Anak Bangsa (Go-Pay), aplikasi mobile layanan keuangan dari Telkomsel atau TCash, hingga PT Visionet Internasional (OVO), sudah menyasar pengguna di banyak sektor. Selain ketiganya, Indonesia juga memiliki layanan pembayaran seperti DANA, Doku, Yap! dan lain sebagainya.
Go-Pay misalnya, sudah menggaet 200 ribu mitra yang 20 ribu di antaranya merupakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Alhasil, pedagang kecil di kota-kota besar sudah menggunakan layanan Go-Pay. Selain itu, berdonasi, membeli bahan bakar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU), hingga membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) Surat Izin Mengemudi (SIM) pun bisa menggunakan Go-Pay.
(Baca: Perbanas Hitung Untung Rugi Kerja Sama dengan WeChat dan Alipay)
TCash memperluas layanannya mulai dari transportasi seperti Trans Semarang, retribusi sampah, PNBP SIM, membayar tagihan air, hingga membayar denda tilang. TCash pun menargetkan jumlah mitra yang bergabung naik dari 42 ribu per Juli menjadi 80-100 ribu pada penghujung 2018. Sementara OVO sudah menggandeng 300 ribu mitra, salah satunya Warung Pintar.
Berkaca dari kondisi ini, Managing Director Amar Bank-Tunaiku Vishal Tulsian memperkirakan platform pembayaran bakal diadopsi di seluruh sektor pada 2022. “Tetapi, untuk menjangkau seluruh masyarakat Indonesia, butuh waktu 10 tahun. Sekalipun dengan kehadiran WeChat Pay dan Alipay,” ujar dia kepada Katadata, beberapa waktu lalu (15/11).
CEO Go-Pay Aldi Haryopratomo tak heran bila raksasa layanan pembayaran asal Tiongkok juga masuk ke Indonesia yang pasarnya sangat besar. Senada dengannya, CEO TCash Danu Wicaksana mengatakan kehadiran WeChat Pay dan Alipay semestinya akan menambah pengalaman konsumen dalam bertransaksi. “Akan menjadi open ekosistem,” ujar dia.
CEO DANA Vincent Henry Iswaratioso juga menyadari kehadiran kedua perusahaan asal Tirai Bambu itu akan meningkatkan transaksi non-tunai di Indonesia. Apalagi, BI rencananya bakal menerbitkan standardisasi kode QR tahun depan. “Kalau regulasi kode QR (sudah dirilis), tentu kami sangat antusias karena sudah sesuai regulasi,” ujar dia.
Adapun WeChat Ppay dan Alipay dikabarkan masuk Indonesia melalui BNI. Direktur Perencanaan dan Operasional BNI Bob Tyasika Ananta menyampaikan, perusahaannya ingin mengambil peluang bisnis dari transaksi wisatawan asing melalui kolaborasi ini. “Harapannya kalau di November ini, bisa semuanya reviewoke, dan utamanya kami harus align (sejalan) dengan regulator,” ujar Bob.
Dalam hal ini, penyedia platform pembayaran asing memang wajib bekerja sama dengan perbankan nasional sesuai Peraturan BI (PBI) 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Bank yang yang harus digandeng adalah bank BUKU IV alias bank bermodal inti di atas Rp 30 triliun. Transaksinya pun harus diproses dalam rupiah sesuai PBI Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Sugeng menyampaikan instansinya tidak mempermasalahkan ekspansi penyedia platform pembayaran asing ke Tanah Air, asalkan sesuai ketentuan. "WeChat dan Alipay sangat penting dalam rangka mendorong turis sehingga terdapat penumpukan devisa yang sangat kita perlukan," ujar dia.
(Baca: BNI Proses Izin Kerja Sama dengan Alipay, WeChat dan Liquid Pay)