Kepala daerah menjalankan aneka strategi ala Chief Executive Officer (CEO) untuk menggali potensi daerah dan menyelesaikan problem masyarakat. Upaya ini perlu dilakukan dalam mengoptimalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) demi mencapai sasaran pembangunan di wilayahnya. Sebab, anggaran daerah yang tidak besar harus digunakan untuk banyak keperluan.

Walikota Sungai Penuh, Jambi, Asafri Jaya Bakri mengatakan minimnya APBD ini membuat kepala daerah harus menggali potensi dengan berlaku layaknya CEO di daerah. Mereka harus fokus membenahi masalah satu per satu dan menonjolkan kelebihan daerah.

"Itu saya coba, karena APBD kami terkecil di Jambi," kata Asafri di acara Malam Penghargaan Indeks Kelola 2018, yang diselenggarakan Katadata bersama JariUngu, di Jakarta, Rabu (28/11) malam.

Dalam APBD Sungai Penuh pada awal 2018, pendapatan kota tersebut hanya Rp 714 miliar sedangkan belanjanya dipatok Rp 796,1 miliar. Perlu ada perubahan belanja ke hal yang lebih dibutuhkan. Asafri mengatakan awalnya dia fokus menggunakan APBD untuk membenahi hulu ekonomi, seperti infrastruktur jalan hingga irigasi. Setelah itu, ia fokus pada pembangunan hilir ekonomi, seperti pasar untuk menstimulasi kegiatan ekonomi warga.

Langkah ini dilakukan agar Kota Sungai Penuh fokus pada perdagangan dan jasa saja. Berbeda dengan wilayah lain di Jambi, kota berpenduduk 103 ribu jiwa ini tidak memiliki sumber daya alam seperti minyak, kelapa sawit, dan batu bara. "Saya beri pengertian ke masyarakat, potensi Sungai Penuh hanya ini, jangan mimpi yang lain," ujarnya.

Dengan fokus tersebut, pemerintah daerah menuai hasil yang manis. Dia mengklaim rasio pengusaha terhadap jumlah penduduk di Sungai Penuh mencapai 8,1% atau di atas rata-rata nasional sebesar 3%. Selain itu, jumlah angka orang miskin di Sungai Penuh hanya 2,7% dari total penduduk. "Itu paling kecil se-provinsi Jambi," ujar dia.

Daerah lain kondisinya berbeda. Angka kemiskinan di Kabupaten Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat) masih mencapai 15,7%. Namun, Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid tidak patah arang. Dia lantas mengintervensi masyarakat miskin yang 70% adalah petani untuk membuat kelompok. Biasanya, kelompok tersebut terdiri dari para istri petani dan bertujuan membuat industri kecil pendukung pariwisata daerah itu. "Setiap rapat (pemda) kami juga tidak boleh jajan di luar tapi konsumsi dari (kelompok) istri-istri petani tersebut," katanya.

Meski begitu, Fauzan juga membanggakan penurunan signifikan angka anak stunting (tumbuh kerdil) di daerahnya sepanjang 10 tahun belakangan. Ini disebutnya karena Kabupaten Lombok Barat memang fokus membenahi sektor kesehatan dengan keroyokan mengatasi hal yang menjadi akar masalah, yakni pernikahan usia dini. "Tahun 2018 ini angka stunting 28%, di bawah rata-rata nasional. Padahal 2008 masih 49%," kata Fauzan.

Dalam aksi tersebut, Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan daerah dibantu oleh Dinas Kesehatan untuk mensosialisasikan dampak pernikahan usia dini ini. "Anggaran penting, tapi pelibatan semua masyarakat juga berpengaruh," ujarnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement