Kontroversi Kebijakan Anies, Revisi Upah Buruh Lalu Kalah di PTUN
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan menyelesaikan jabatannya pada Minggu (16/10). Masa jabatan Anies selama lima tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta tersebut sempat diwarnai oleh kontroversi penetapan upah buruh.
Polemik upah minimum provinsi atau UMP DKI Jakarta ini bermula ketika Anies merevisi kenaikan besaran UMP DKI Jakarta 2022 menjadi Rp4.641.854 per bulan atau naik 5,1% dari tahun sebelumnya. Putusan itu tertuang dalam Kepgub DKI Jakarta Nomor 1517 Tahun 2021 yang diterbitkan pada 16 Desember 2021.
Padahal pada 21 November 2021, Anies telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2022 sebesar Rp4.453.935,536 . Angka tersebut hanya naik 0,85% atau Rp 37.749 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp 4.416.186,548.
Anies mengatakan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan kajian ulang dan pembahasan semua pihak. Kenaikan Rp 225 ribu per bulan, menurut dia, sangat membantu para perkerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Tahun ini ekonomi sudah bergerak, masa kita masih mengatakan 0,8% itu sebagai angka yang pas. Ini akal sehat saja,” katanya, Senin (20/12).
Revisi upah ditentang pengusaha
Menurut Anies, persentase kenaikannya masih lebih rendah dibandingkan UMP Jakarta dalam enam tahun terakhir. Rata-rata angkanya dalam periode tersebut adalah 8,6%. Hanya pada 2021 saja kenaikan UMP Jakarta hanya 3,3%.
Anies mengatakan, dunia usaha sudah terbiasa dengan kenaikan sekitar 8,6% tersebut. “Dalam kondisi amat berat seperti tahun lalu saja naiknya 3,3%,” ucap Anies.
Langkah Anies tersebut langsung mendapat penolakan dari pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bahkan menggugat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengatakan bahwa revisi aturan tersebut dilakukan secara sepihak tanpa meminta persetujuan dari pihak pengusaha.