Perusahaan Raksasa Batu Bara Mulai Konversi ke Bisnis EBT, Siapa Saja?
Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) terus berupaya memastikan implementasi transisi energi di sisi penambang dapat berjalan konsisten. Hal itu dilakukan melalui manuver sejumlah pelaku usaha yang secara bertahap mengambil langkah untuk mendiversifikasikan bisnis di sektor pengadaan energi.
Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia, mengatakan sejumlah pelaku usaha pertambangan batu bara telah merambah bisnis pengembangan energi baru dan terbarukan atau EBT. Langkah tersebut merupakan upaya mengurangi emisi karbon di sektor pertambangan dan energi.
"Ini adalah sesuatu yang menjadi prioritas bagi anggota kami, mereka sudah melakukan transformasi. Jadi mereka bergerak maju untuk mengubah bisnisnya," kata Hendra dalam diskusi virtual bertajuk 'Financing Indonesia's Energy Transition & the 20 billion dollar JETP deal' pada Jumat (25/11).
Hendra menyadari, permintaan terhadap batu bara akan merosot seiring dengan mulai berkembangnya sumber energi bersih. Sejumlah perusahaan besar, menurut dia, juga mulai beradaptasi mengikuti tren transisi energi.
Menurut Hendra, beberapa di antaranya melakukan diversifikasi produk turunan batu bara, berinvestasi kepada ekosistem kendaran listrik, serta mendirikan smelter untuk pengolahan nikel sebagai bahan baku baterai.
"Kami tentu saja mendukung pemerintah untuk memaksimalkan cadangan kas dari harga-harga komoditas yang sedang booming yang waktunya mungkin terbatas sehingga kami harus memaksimalkan dalam waktu yang cukup singkat dan untuk mendapatkan cadangan kas," ujar Hendra.
Tidak semua pengusaha mampu konversi
Kendati demikian, menurut Hendra, tidak semua perusahaan batu bara mampu untuk melakukan pergeseran corak bisnis. Hanya perusahaan-perusahaan raksasa yang mampu untuk beralih ke bisnis energi yang lebih bersih.
Pemain kecil yang hanya memiliki cadangan batu bara jangka pendek dan akan habis dalam 5-10 tahun ke depan, akan terus memaksimalkan penjualan mereka di saat momen tingginya permintaan dan harga barang.
"Beberapa anggota kami terutama yang memiliki cadangan jangka panjang dan kemampuan keuangan untuk melakukan transisi. Dalam melakukan transformasi, mendapatkan dukungan pembiayaan adalah sesuatu yang sangat mewah bagi kami," jelas Hendra.
Adapun perusahaan batu bara yang tengah berupaya berinvetasi di sektor energi terbarukan adalah PT Bukit Asam (PTBA). Perusahaan milik negara itu tengah menjajaki proyek pengembangan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) berkapasitas 1.300 mega watt (MW) di Cina Selatan.
Selain itu juga ada PT Adaro lewat Adaro Power yang bekerja sama dengan Total Eren untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tanah Laut, Kalimantan Selatan, berkapasitas 70 megawatt (MW).
Indika Energy melalui anak usahanya Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS) menargetkan pemasangan solar photovoltaic (PV) atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 80-100 MWp yang akan ditingkatkan menjadi 500 MWp pada 2025. Untuk mencapai target pengembangan solar PV tersebut, EMITS telah menyiapkan investasi dan belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,44 triliun.
Proses transisi energi memiliki beragam dampak sosial dan ekonomi, salah satunya dalam hal ketenagakerjaan.
"Transisi energi akan menciptakan 14 juta lapangan kerja baru di bidang energi terbarukan pada 2030, dan mendorong 5 juta pekerja untuk bergeser dari sektor energi fosil," kata International Energy Agency (IEA) dalam laporan World Energy Employment edisi September 2022.
Namun, pekerja di sektor pasokan batu bara dan pembangkit listrik bahan bakar fosil dinilai bakal sulit masuk ke energi terbarukan. Pasalnya, mayoritas pekerja sektor batu bara adalah penambang, sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap transisi energi.
"Kami memperkirakan sekitar 20% pekerja di pembangkit listrik batu bara global berisiko tidak terpakai dalam transisi energi bersih. Pekerjaan di pembangkit listrik berbasis migas juga berisiko," kata IEA.