Menyusuri Kerusakan Lingkungan Akibat Tumpahan Minyak ONWJ
Angin berembus kencang membawa aroma minyak saat menjejaki pantai Pisangan, Cemarajaya, Karawang, Jawa Barat, awal Agustus lalu. Pantai wisata di Karawang tersebut menjadi sepi pengunjung sejak minyak dan gas tumpah dari Blok ONWJ yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi pada 12 Juli lalu.
Untuk menghalau bau minyak, beberapa pedagang yang membuka warung mengenakan masker. “Belum ada keluhan penyakit, cuma bau saja,” kata seorang ibu penjaga warung. Dia mengeluhkan warungnya yang sepi pelanggan karena turis semakin jarang berkunjung ke pantai.
Terlihat juga beberapa anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) lalu-lalang membawa ratusan lembar kain kasa ke pinggir pantai. Mereka bagian dari tim yang membantu menangani pencemaran pantai dan air laut. Kain kasa untuk menyerap minyak di pasir pantai. Setelah terserap kain itu diangkat, pasir yang sudah tercemar digali dan dimasukan ke dalam karung.
Pada pekan lalu, Katadata.co.id menyisir laut Karawang untuk mengamati dampak tumpahan minyak di laut. Kami berangkat dari dermaga di Desa Pasir Putih, yang berjarak sekitar enam mil dari rig Pertamina.
(Baca: Reportase: Kisah Nelayan Jadi Kuli Limbah Minyak Blok ONWJ di Karawang)
Ditemani tiga orang Anak Buah Kapal (ABK), kami membelah laut Karawang dengan sebuah kapal nelayan pada Selasa (20/8) sekitar pukul 09.30 WIB. Setelah satu jam perjalanan, kami belum melihat ceceran tumpahan minyak di laut.
Seorang nelayan, Ahmad Fanani (39) mengatakan angin membawa tumpahan minyak itu ke arah barat. “Tumpahan minyak terbawa ke Karawang Barat, jadi tidak terlihat dampaknya secara fisik di sini,” kata Fani.
Kami terus melanjutkan perjalanan ke arah rig milik PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Tak lama kemudian, kami menemukan ceceran minyak sekitar 1-3 kilometer yang terbentang hingga ke arah barat.
Minyak yang tak bisa menyatu dengan air itu mengapung mengikuti arah arus laut. Dekat dari tumpahan minyak, terlihat seekor ikan belanak tak bernyawa. Tak bisa dipastikan sudah berapa ikan yang mati karena tragedi tumpahan minyak ini.
(Baca: Petugas Pemda Bersihkan Tumpahan Minyak Pertamina di Kepulauan Seribu)
Laut yang berseberangan dengan Desa Pasir Putih ini merupakan zona tangkap ikan Kabupaten Karawang. Bahkan banyak nelayan dari desa lain yang mulai berlayar dari Desa Pasir Putih.
Sejak tragedi tumpahan minyak, tak ada satu pun nelayan yang terlihat berlayar. Nelayan kapok karena hasil tangkapan turun drastis, tak sesuai dengan risiko dan jerih payah yang dikorbankan.
Rajungan yang merupakan salah satu hasil laut paling banyak di Desa Pasir Putih mendadak menghilang. Padahal biasanya dalam satu kapal nelayan dapat menangkap 10-50 kilogram rajungan. Setelah tumpahan minyak, nelayan hanya berhasil menangkap 1-2 ekor saja.
Dampak tumpahan minyak juga terlihat dari kerusakan tambak ikan di Desa Muara Baru. Di desa itu, kami menemukan ribuan hektare tambak yang terbengkalai. Tak satu pun ikan terlihat dari tambak yang berair dangkal tersebut.
Pemilik tambak seluas 3 hektare, Riqi Rianto (28), menyatakan ribuan ikan bandeng mati akibat air laut yang digunakan tercemar tumpahan minyak. Ikan mati sejak masa awal terjadinya tumpahan sumber energi fosil ini. “Tak ada satu pun ikan yang berhasil diselamatkan,” kata Riqi.
Dia menelan kerugian sekitar Rp 7 juta sebagai modal bibit 8 ribu ikan bandeng dan udang windu. Dari menabur benih itu, biasanya Riqi menjual ikan setiap empat bulan dengan pendapatan sekitar Rp 25 juta.
Nasib sial juga dialami Anas (31), pemilik tambak seluas 3 hektare. Ribuan bibit ikan bandeng, udang windu, dan udang api yang ditaburnya berangsur-angsur mati sejak terjadinya tragedi tumpahan minyak.
Anas memperkirakan kerugian dari modal bibit dan hilangnya potensi pendapatan dari gagal panen sekitar Rp 30 juta. Pria yang merantau dari Lampung ini sekitar setahun mengelola tambak, sebelumnya dia bekerja sebagai nelayan selama 10 tahun.
Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup masih menghitung dampak ekologis dari tumpahan minyak yang berasal dari Blok ONWJ. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti mengatakan tumpahan minyak ini mencemari tiga provinsi, 7 kabupaten, 22 kecamatan dan 57 desa.
Hingga akhir Agustus, korban pencemaran yang sebagian besarnya nelayan sebanyak 14.655 jiwa. Sebagai gambaran, pendapatan sektor perikanan di kawasan Karawang pada 2018 sekitar Rp 179 miliar.
Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) juga melakukan riset yang masih berlangsung mengenai dampak ekologis tragedi tumpahan minyak Blok ONWJ. Dari hasil penelitian di lapangan, tumpahan minyak kini sudah sampai ke Selat Sunda.
“Sekarang arah angina masih ke barat. Sebentar lagi kea rah timur, akan menyebar sampai Subang dan Indramayu,” kata Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung saat dihubungi Jumat (30/8).
Dwi mengatakan di sepanjang Karawang, Banten, Kepulauan Seribu, hingga Selat Sunda ditemukan tumpahan minyak yang mengapung. Dwi menilai, jumlah minyak yang mengapung hanya 20 %, sementara jumlah terbesarnya berada di bawah permukaan laut. “Karena jenis tumpahan minyaknya heavy oil,” kata Dwi.
Tumpahan minyak ini yang dinilai merusak biota laut seperti ikan, rajungan, udang, dan kerang mati. “Perlu waktu 1-2 tahun untuk memulihkan dampak kerusakan lingkungan lautnya,” kata Dwi.
Dwi menyarankan perlu ada penelitian independen untuk menghitung dampak kerusakan ekologis dari tumpahan minyak tersebut. “Lembaga seperti LIPI punya keahlian khusus seharusnya terlibat dalam proses penelitian dampak kerusakan lingkungan yang terjadi,” kata Dwi.