Bappenas: Kebutuhan Dana untuk Ekonomi Hijau dan Rendah Karbon Rp306 T
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas memperkirakan kebutuhan pendanaan untuk transisi menuju ekonomi hijau dan rendah karbon mencapai Rp 306 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah idealnya harus mengalokasikan 24% atau sebesar Rp 72,2 triliun.
Namun, alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk transisi menuju ekonomi hijau hanya sekitar Rp 23,45 triliun hingga Rp 34,52 triliun. Artinya masih terdapat kekurangan pendanaan dari pemerintah sebesar 13%.
"Kebutuhan pendanaan yang cukup besar, masih ada gap yang besar antara kebutuhan dan pendanaan ini," ujar Menteri Bappenas Suharso Monoarfa dalam diskusi secara virtual Katadata SAFE 2021, Senin (23/8).
Suharso berharap keterlibatan dan partisipasi pihak lain, khususnya dari pihak swasta. Mengingat 76% kebutuhan pendanaan ekonomi hijau dan rendah karbon berasal dari nonpemerintah sebesar Rp 232,56 triliun.
Selain itu, ia juga mendorong adanya transfer teknologi untuk meningkatkan produktivitas sekaligus mendorong proses produksi yang berkelanjutan. Dari sisi bisnis, perlu ahli teknologi untuk mewujudkan industri yang berkelanjutan.
Misalnya, tenaga kerja perlu mendapat pelatihan membangun green building yang efisien secara energi. Untuk itu, ia pun mendorong adanya riset dan pengembangan dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi hijau.
Pemerintah juga perlu membangun kebijakan yang komprehensif dalam mendukung menuju transformasi ekonomi. Baik melalui kebijakan insentif dan stimulus bagi pelaku usaha dengan proses manajemen yang berkelanjutan.
"Dari sisi pembiayaan kita terus mendorong penanganan perubahan iklim terus ditingkatkan. Kita dorong transformasi ekonomi, kita harapkan dapat benefit," katanya.
President, IBCSD Shinta Kamdani menilai pelaku usaha sangat berperan penting dalam merealisasikan pembangunan rendah karbon. Mengingat dalam perjanjian paris, Indonesia memiliki target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia yakni 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.
"Ini tidak bisa tercapai jika pelaku usaha tak terlibat. Ini banyak sekali pelaku usaha. Bagaimana kita bawa pelaku usaha bagaimana pentingnya pencapaian ini," ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti menilai pembangunan rendah karbon di Indonesia sudah menjadi keharusan. Mengingat 95% daripada bencana alam yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan perubahan iklim.
Dengan adanya pandemi covid-19, menjadi momentum bagi Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi karbon yang ambisius. Apalagi berdasarkan prediksi Bappenas Indonesia di 2045 diproyeksi menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia.
"Di sini ada prediksi pertumbuhan ekonomi kita minimal 6% dengan proyeksi seperti itu ditambah kita bonus demografi 70% populasi di Indonesia dalam usia produktif ini sebuah momentum," katanya.