Rupiah Melemah di Tengah Kekhawatiran Naiknya Inflasi Amerika Serikat
Nilai tukar rupiah melemah 0,02% ke level Rp 14.200 per dolar Amerika Serikat pada pembukaan pasar spot pagi ini, Selasa (11/5). Penyebab melemahnya rupiah karena kekhawatiran naiknya inflasi AS.
Analis Pasar Uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah kemungkinan bisa terus melemah hari ini mengikuti keresahan pelaku pasar global yang terlihat dari penurunan indeks saham AS Nasdaq. Indeks saham Asia juga bergerak melemah pagi ini.
"Pelaku pasar mengkhawatirkan kenaikan inflasi AS yang bisa mengubah pendirian Bank Sentral, The Fed terhadap kebijakan moneternya," ujar Ariston kepada Katadata.co.id, Selasa (11/5).
Dia menjelaskan bahwa data inflasi Negeri Paman Sam akan dirilis Rabu malam (12/5). Imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun juga sempat kembali naik ke atas 1,6% karena kekhawatiran inflasi tersebut.
Di sisi lain, Ariston mengatakan, rupiah juga tertekan karena kekhawatiran terhadap kenaikan laju penularan covid-19 dunia. Beberapa negara telah menetapkan lockdown seperti negara tetangga Malaysia dan Singapura.
Pagi ini, akan dirilis data penjualan ritel Indonesia pada Maret 2021. Ariston menilai jika hasilnya kembali minus, ini bisa menjadi tambahan tekanan untuk rupiah. "Potensi tekanan untuk rupiah ke kisaran Rp 14.250, dengan potensi support di kisaran Rp 14.180 per dolar AS," katanya.
Reuters melaporkan, ekspektasi inflasi AS telah melonjak ke level tertinggi dalam satu dekade setelah ekonomi dibuka kembali dari penutupan terkait Covid-19. Hal tersebut membuat investor berselisih dengan The Fed yang melihat tekanan harga masih jauh dari targetnya.
Ekspektasi inflasi yang diukur oleh breakevens pada Treasury Inflation-Protected Securities (TIPS) selama lima tahun mendatang melonjak ke level tertinggi 10 tahun di 2,73% pada Senin (10/5) waktu setempat. Lonjakan itu terjadi pada saat yang sama ketika pembuat kebijakan Fed berbicara tentang ekspektasi inflasi, mengatakan inflasi jangka pendek akan sementar. Selain itu, ada tantangan dalam mencapai target rata-rata mereka sebesar 2% secara berkelanjutan.
Harga komoditas, rumah, barang, serta jasa lainnya melonjak karena pemerintah meningkatkan pengeluaran fiskal. Sedangkan The Fed mempertahankan suku bunga rendah dan pembelian obligasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ketika ekonomi dibuka kembali, investor juga mempertimbangkan apakah Fed akan terlalu lambat dalam bereaksi terhadap kenaikan harga, atau jika pasar terlalu cepat dalam menentukan harga.
"Pada titik tertentu jika inflasi cukup tinggi untuk waktu yang cukup lama, itu tidak benar-benar sementara lagi dan pasar mengambilnya sehingga ada perasaan umum kami menunggu Fed untuk mempertimbangkannya juga," kata Ekonom Pasar Uang Jefferies Tom Simons di New York.
Analis BlackRock Investment Institute mengatakan, perbedaan pandangan kemungkinan berasal dari harga pasar untuk pertumbuhan yang lebih cepat akan lebih lama daripada kemungkinan akan dipertahankan. "Investor mungkin melakukan ekstrapolasi berlebihan dari data pertumbuhan jangka pendek di tengah pemulihan ekonomi yang kuat," kata mereka dalam sebuah laporan pada hari Senin.